Menurut studi yang dipublikasi dalam jurnal PLoS ONE tersebut, orang dengan waktu reaksi yang cepat umumnya lebih panjang umur dibandingkan yang lambat. Para peneliti menganalisis data dari 5.134 orang dewasa yang dikumpulkan selama lebih dari 15 tahun.
Peneliti menguji kecepatan reaksi peserta yang berusia antara 20-59 tahun tersebut melalui sebuah program di komputer. Peserta diharuskan segera menekan tombol ketika mereka melihat lambang "o" pada layar. Peneliti melakukannya sebanyak 50 kali.
Setelah 15 tahun, peneliti mencatat 378 peserta atau 7,4 persen dari total peserta meninggal. Setelah dimasukkan faktor lain seperti usia, kelamin, status etnis, mereka menemukan, orang yang bereaksi lebih lambat dengan waktu reaksi yang lebih bervariasi cenderung memiliki risiko kematian lebih tinggi daripada peserta lebih cepat dan konstan.
"Semua kematian yang berhubungan disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Sementara, tidak ada kolerasi pada kematian yang disebabkan oleh kanker," jelas Gareth Hagger-Johnson, ketua studi dari Department of Epidemiology and Public Health, University College London (UCL), London, Inggris.
Setelah ditambahkan faktor status ekonomi, perilaku kesehatan, dan risiko penyakit kardiovaskuler, hubungan tersebut menjadi tidak begitu kuat, tetapi tidak hilang.
Para peneliti belum yakin dengan penjelasan di balik korelasi tersebut. Namun, kemungkinan yang paling kuat adalah reaksi yang lebih lambat dan bervariasi erat kaitannya dengan penurunan kemampuan sistem saraf pusat. Penurunan tersebut diketahui mungkin berkaitan juga dengan penurunan sistem tubuh lainnya pula.
Sayangnya, seperti faktor genetik, kecepatan reaksi adalah hal yang tidak dapat diubah. Namun menurut peneliti, selama seseorang menjalani pola hidup sehat seperti olahraga teratur, makan dengan baik, dan berbahagia, maka risiko kematian pun rendah. (ak27)
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.