[ArtikelKeren] CERPEN - Dalam rumah kami, tepatnya di ruang tamu, ada sebuah guci raksasa. Warnanya kuning kemerah-merahan. Punya dua telinga. Tingginya nyaris sepinggul orang dewasa. Semenjak aku kecil, guci itu sudah mengarca di sana. Guci dayak, begitu kami menyebutnya. Kata almarhum bapak, guci itu adalah barang berharga yang ia peroleh dari Kalimantan, ketika beliau didinastugaskan di sana. Konon, guci itu bukan guci biasa. Guci itu terbuat dari tanah liat yang dicampur dengan serbuk emas. Orang dayak menyebutnya balanga.
Menurut cerita dari almarhum bapak, orang dayak menggunakan guci itu sebagai barang adat pada acara peminangan sekaligus tempat untuk menyuguhkan makanan bagi para leluhur atau roh-roh yang mereka anggap suci.
Sekilas, guci itu tampak biasa. Tak ada yang istimewa. Bertahun-tahun guci itu terpampang di sana. Berdebu dan menua. Sesekali saja istriku mengelapnya agar pantas dilihat orang. Selebihnya, kami menganggap guci itu seperti tak ada. Biasa-biasa saja. Tak beda seperti ketika kami melihat tembok dan tiang-tiang, lemari dan kursi-kursi. Tak ada yang istimewa. Hingga suatu ketika, anakku yang usianya belum genap enam tahun menggamit jemariku dan menyeretku ke depan guci itu.
‘’Yah, Ayah, ada orang di dalam guci,’’ serunya sambil menunjuk-nunjuk guci itu.
Bagiku, anak kecil adalah makhluk yang hampir tidak pernah berbohong. Sehingga ketika anakku mengatakan itu, aku beranggapan, bahwa imajinasinya sudah melesat tidak karuan, bahkan cenderung berlebihan.
‘’Apa, ada orang? Di sini? Di dalam guci ini?’’ Aku mencoba menanggapinya.
‘’Iya, Yah. Ada orang di dalam guci,’’ sahutnya yakin sekali.
Selanjutnya, dengan runtun, lidah kidalnya mulai berceloteh, katanya, di dalam guci itu ada seorang kakek-kakek yang badanya kurus dan tidak memakai baju. Telinganya lebar mirip gajah. Ia memakai kalung yang terbuat dari kerikil dan mengenakan celana pendek seperti jerami. Katanya lagi, kakek-kakek itu suka keluar masuk dari dalam guci, mengajaknya bermain dan berbincang-bincang. Meski aku tidak memercayainya, tapi, tiba-tiba aku merinding mendengar celotehan anak itu.
‘’Iya, Yah, di dalam ada orangnya,’’ ia bersikeras meyakinkanku.
Entah siapa yang menyuruhku, serta merta aku pun membuka tutup guci raksasa itu dan melongokkan kepala ke dalamnya. Oh, betapa konyolnya aku. Seperti yang kulihat, tentu saja di dalam guci itu tidak ada apa-apa.
***
Di rumahku, di ruang tamu, ada sebuah guci besar sekali. Warnanya kuning agak merah-merah. Telinganya ada dua. Tingginya sepinggul ayah. Kata ayah, semenjak ayah masih kecil, guci itu sudah ada di sana. Kata ayah, guci itu namanya guci dayak. Guci itu adalah oleh-oleh dari kakek. Ketika kakek menjadi tentara di Kalimantan. Kata ayah, guci itu bukan guci biasa. Guci itu terbuat dari tanah liat yang dicampur dengan serbuk emas.
Kata ayah memang benar, guci itu memang bukan guci biasa. Karena, dalam guci itu ada sebuah dunia. Aku tahu itu dari seorang kakek tua yang keluar dari sana. Kakek tua itu sangat tua, tapi ia terlihat baik-baik saja. Badanya kurus dan rambutnya putih semua. Telinganya menggelambir seperti telinga gajah. Ia memakai kalung yang terbuat dari kerikil, ia juga mengenakan celana pendek yang merumbai seperti jerami. Kakek tua itu suka mengajakku bercanda dan bercakap-cakap. Ia ramah sekali.
Ketika aku menceritakan tentang kakek tua itu kepada ayah, alis ayah bertaut menjadi satu, kulit dahinya terlipat, lantas ia tersenyum datar. Beberapa saat kemudian, setelah mendengar ceritaku, ayah membuka tutup guci raksasa itu dan melongokkan kepala ke dalamnya. Ia tersenyum lagi. Senyum yang meledek. Barangkali, ayah menganggapku suka berhayal. Tapi aku benar. Memang ada kakek tua yang suka keluar masuk dari dalam guci itu. Aku melihatnya sendiri.
***
Beberapa hari berikutnya, menjelang maghrib atau terkadang selepas maghrib, acap kali kulihat anakku berdiri berlama-lama di depan guci itu. Ia mengelus-elus guci di hadapannya seperti mengelus-elus mainannya. Mulutnya komat-kamit sendiri. Seperti tengah bercakap dengan seseorang. Ketika kudekati, dan kutanyai sedang apa, lagi-lagi ia bercerita tentang si kakek tua yang badannya kurus dan tidak memakai baju, yang bersembunyi di dalam guci. Terlampau seringnya ia menceritakan itu, aku jadi berpikir, jangan-jangan yang dilihat dan diceritakan si kecil memang benar adanya, bukan isapan jempol belaka. Begitu polosnya ia, sehingga tampak mustahil jika mengada-ada.
‘’Apa kabarnya temanmu si kakek tua yang ada di dalam guci?’’ Iseng-iseng aku menggodanya.
‘’Kakeknya lapar,’’ jawabnya singkat.
‘’Kalau begitu adek kasih makan, dong!’’
Ia melongo, ‘’Sudah,’’ jawabnya.
‘’Ha? Memangnya si kakek, adek kasih makan apa?’’
‘’Telur rebus, kakek minta telur rebus, ia tak suka nugget,’’ jawabnya lugu.
‘’Si kakek adek ajak ke dapur, ke ruang makan?’’
Ia menggeleng.
‘’Terus?’’
Ia menunjuk-nunjuk ke arah guci.
‘’Telurnya adek taroh di dalem?’’ Ia mengangguk.
‘’Dalem guci?’’
Ia mengangguk lagi sambil tersenyum bangga.
Serta merta aku meraih tutup guci itu dan melonggokan kepala ke dalam. Dan benar saja, di dalam guci itu ada kulit telur rebus berserakkan.
‘’Lho, adek buang kulit telur di dalam guci, ya?’’ Aku masih belum yakin dengan apa yang kulihat.
‘’Bukan kulit telur, tapi telur,’’ jawabnya tegas.
Aku mengernyitkan dahi. Apakah itu berarti, si kakek yang ada di dalam guci mengupas telur itu sendiri dan memakannya. Haha, lucu sekali, tampaknya anak itu benar-benar ingin mengajak ayahnya bergurau. Perlahan aku mengangkat tubuhnya, dan memperlihatkannya apa yang kulihat di dalam guci.
‘’Tuh kan, itu kulit telur, Sayang,’’ aku meyakinkannya.
‘’Tapi kemarin telur, si kakek pasti sudah memakannya,’’ ia bersikeras.
Aku tak ingin lagi mendebatnya.
***
Aku tak terlalu peduli, apakah ayah percaya atau tidak pada ceritaku, yang penting aku tidak kesepian. Setelah ayah pergi ke tempat kerja dan pulang selepas maghrib, kemudian ibu sibuk dengan urusannya sendiri, aku terlalu sering kesepian, hingga kakek tua itu tiba-tiba muncul dari dalam guci dan menghiburku. Kakek tua itu biasanya muncul sebelum maghrib, terkadang setelah maghrib. Ia muncul diam-diam. Ia mengangkat tutup guci itu dari dalam dan menyungginya, hingga tutup guci itu tampak seperti topi yang ia kenakan. Ia terlihat lucu.
‘’Mau bermain?’’ tanya kakek tua itu.
Aku mengangguk girang.
‘’Tapi ada syaratnya?’’ katanya lagi.
‘’Syarat? Apa itu?’’ aku balik bertanya.
‘’Aku lapar,’’ balasnya.
‘’Oh, hari ini ibu menggoreng nugget. Kakek mau?’’
‘’Tapi aku hanya memakan telur rebus.’’
‘’Oh, telur rebus ya. Mmm... nanti aku bilang ibu dulu.’’
Kakek tua itu tersenyum dan mengangguk.
‘’Apa kakek mau makan di meja makan bersama kami?’’ aku bertanya lagi.
‘’O, tidak. Kalau sudah matang, telurnya langsung kamu masukkan saja ke sini, ke dalam guci.’’
Aku mengangguk dan berlari kegirangan, mencari ibu.
***
Lambat laun, ketertarikanku akan guci itu kian menjadi-jadi. Tiap hari aku mengawasinya. Mengelapnya. Sesekali membuka tutupnya dan melongokkan kepala ke dalamnya. Bukan apa-apa. Hanya berjaga-jaga. Karena, beberapa kali aku memergoki si kecil tengah menyeret-nyeret kursi plastik mendekati guci itu. Bahkan ia pernah menaiki kursi itu dan berusaha memanjat guci, hendak masuk ke dalamnya.
Suatu ketika, aku mendudukkan anak itu di pangkuanku dan mengintrogasinya. ‘’Adek, kenapa adek suka menyeret-nyeret kursi mendekati guci itu? Adik pingin masuk ke dalam guci?’’
Ia mengangguk bangga, seperti tak bersalah apa-apa.
‘’Masuk ke dalam guci?’’ aku menekan pertanyaanku.
‘’Iya,’’ tuturnya yang polosnya meluncur lagi.
Aku menahan geram dan hampir mengatakan jangan, itu tidak boleh, tapi kuurungkan. Aku lebih tertarik untuk mengetahui alasan mengapa ia bersikeras untuk masuk ke dalam guci itu.
‘’Di dalam guci ada banyak orang, Ayah,’’ ia memulai lagi celotehannya, ‘’kata kakek yang ada di dalam guci, di dalam guci itu ada rumah-rumahnya, ada binatang ternaknya, ada gunung-gunung, ada hutan, ada sungai, ada ladang, ada lautan, dan masih banyak lagi.’’
Aku masih mengunci mulut rapat-rapat, menyimak kelanjutan ceritanya. ‘’Kakek yang ada dalam guci iyu mengajakku main ke sana, katanya, di sana aku akan punya banyak teman. Kakek yang ada dalam guci juga berjanji, kalau aku mau ikut dengannya, ia akan mengajakku naik perahu rakit berkeliling telaga yang penuh dengan angsa.’’
Aku melongo, ‘’begitu, ya.’’ Suaraku seperti tercekat di tenggorokkan.
***
Kakek tua itu muncul lagi dari dalam guci. Ia mengucapkan terima kasih untuk telur rebus yang telah kumasukkan ke dalam guci. Sebagai gantinya, kalau aku bersedia, kakek tua itu hendak mengajakku masuk ke dalam guci, katanya, di dalam guci yang ia tempati ada sebuah dunia yang sangat luas. Di dalam guci, ia punya sebuah rumah yang sangat indah. Ia juga memelihara angsa dan beberapa rusa. Kalau aku mau ikut dengannya, ia berjanji akan mengajakku berkeliling ke telaga di depan rumahnya, telaga yang penuh angsa. Selanjutnya ia akan menunjukkan padaku gunung-gunung yang indah, yang di punggungnya ditumbuhi pohon-pohon berbunga. Juga pantai-pantai yang pasirnya berkilauan seperti serbuk madu.
Aku girang sekali mendengar kakek tua itu bercerita. Aku benar-benar ingin masuk ke dalam guci itu dan melihat dunia yang indah di dalam sana.
***
Menjelang pulang kantor istriku menelpon sambil menangis. Katanya si kecil hilang. Tidak ada di rumah. Ia sudah mengelilingi seantero rumah, dari ujung depan sampai ujung belakang, dan ia tidak menemukan si kecil. Dengan perasaan tak karuan aku pun segera meluncur ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, kepalaku dipenuhi oleh kecemasan-kecemasan, juga pertanyaan-pertannyaan. Satu-satunya hal yang kemudian bersinar dalam kepalaku adalah guci itu. Aku menghela napas lega, sedikit. Pasti si kecil bersembunyi di sana.
Segera aku menelpon kembali istriku. Aku memintanya untuk memeriksa guci raksasa di ruang tamu. Setelah beberapa jenak, dengan suara cemas dan napas tersengal, masih melalui telpon, istriku berkata, ‘’Tidak ada, Yah, hanya ada kursi plastik ambruk di sebelah guci.’’ Kepalaku seperti dihantam pendulum puluhan ton.
***
Tanpa sepengetahuan ibu, aku berjingkat dan menyeret kursi plastik itu pelan-pelan. Aku harus segera masuk ke dalam guci itu, sebelum ayah pulang. Kakek tua itu sudah menungguku. Aku meletakkan kursi plastik bersisian dengan guci, hampir menempel. Ketika aku mulai memanjat, kaki kursi itu berderit beradu lantai sebelum akhirnya ambruk berdebruk. Hampir saja aku terjerembab ke lantai kalau saja kakek tua itu tidak mengulurkan tangannya dan segera meraihku.
Aku tak percaya ketika aku telah memasuki guci itu. Dinding-dinding guci yang semula gelap dan sempit tiba-tiba melebar menjadi langit luas yang tak berbatas. Seperti yang telah ia janjikan, kakek tua itu mengajakku singgah di rumahnya. Rumah yang sangat luas dan penuh bunga. Di belakang rumahnya ada sebuah kandang dengan angsa dan rusa yang berkejar-kejaran di sana. Rupanya, kakek tua itu tinggal seorang. Ia tak punya anak ataupun istri. Maka dari itu, ia mengajakku ke sini, supaya ia bisa berbagi kebahagiaan yang ia miliki.
Seharian suntuk kakek tua itu mengajakku berkeliling. Semua yang ia ceritakan tak satupun meleset. Bahkan dunia yang ada dalam guci ini lebih indah dari yang kubayangkan sebelumnya. Aku bahagia sekali.
***
Beberapa hari berlalu dan anak itu tidak kami temukan, kami pun akhirnya melapor ke polisi sekaligus menyebarkan berita kehilangan sampai ke kota kecamatan. Akan tetapi nihil, tak ada hasil. Anak itu tak ada kabarnya. Seperti hilang ditelan bumi. Berbulan-bulan kami dirundung kepedihan. Sangat menyiksa, tahun-tahun pun berlalu dengan lamban. Sampai adiknya, anak kami yang kedua lahir, anak itu masih belum ada kabar beritanya. Hinga pelan-pelan aku dan istriku mengubur nama anak itu dalam-dalam, di hati kami yang sempat memar.
Waktu berjalan seperti serbuk obat yang pelan-pelan mengeringkan luka di dalam ingatan kami. Berpuluh-puluh tahun berlalu. Anak kami yang keduayang menjadi anak satu-satunyatelah tumbuh menjadi remaja, menjadi dewasa, ia menikah dan menghadiahi kami cucu. Berangsung-angsur kehidupan kami pun kembali sempurna.
***
Ketika aku bertanya pada kakek tua itu, apakah ayah dan ibuku boleh kuajak kemari, ia berkata tidak mungkin, karena ayah dan ibuku mungkin sudah tiada. Aku tak paham dengan yang ia maksudkan. Sepertinya aku sudah bermain terlalu lama, aku tak mau ayah dan ibu cemas, aku harus cepat pulang, kataku. Kakek tua tua itu tersenyum, ‘’Tahukan kau, bahkan kau pergi jauh lebih lama dari yang kau kira.’’
Aku berpikir keras untuk mencerna maksudnya.
‘’Naiklah, dan kau akan tahu,’’ ucapnya, ‘’berdirilah dari tempat dudukmu, dan kau akan sampai di rumahmu yang dulu.’’
Aku melakukan apa yang ia katakan, berdiri. Tiba-tiba tubuhku terasa sangat rapuh. Sendi dan tulang-tulangku seperti terolor. Rambutku yang lembut berubah menggumpal dan berwarna putih. Seuntai kalung yang seperti terbuat dari batu kerikil sudah mengalung di leherku. Pakaian yang kukenakan tiba-tiba menjadi lusuh seperti jerami. Telingkaku pun terasa melebar. Aku seperti terkekang dalam sebuah tempat dalam waktu yang lama dan tiba-tiba menjadi sangat tua.
Ketika aku berdiri, sempurna, tutup guci itu sudah berada di atas kepalaku. Di sebelah guci, seorang anak kecil tengah memperhatikanku dengan mata takjub. Kuperkirakan usianya belum genap enam tahun. Setelah memelototiku agak lama, anak kecil itu berlari dan kembali dengan seorang lelaki paruh baya.
‘’Yah, Ayah, ada orang di dalam guci,’’ serunya.***
Malang, 2012
Darwanto
Dengan nama pena Mashdar Zainal lahir di Madiun, 5 Juni 1984. Bermastautin di Merjosari, Lowokwaru, Malang, Jawa Timur. Aktif menulis dan karyanya dimuat diberbagai media.
Menurut cerita dari almarhum bapak, orang dayak menggunakan guci itu sebagai barang adat pada acara peminangan sekaligus tempat untuk menyuguhkan makanan bagi para leluhur atau roh-roh yang mereka anggap suci.
Sekilas, guci itu tampak biasa. Tak ada yang istimewa. Bertahun-tahun guci itu terpampang di sana. Berdebu dan menua. Sesekali saja istriku mengelapnya agar pantas dilihat orang. Selebihnya, kami menganggap guci itu seperti tak ada. Biasa-biasa saja. Tak beda seperti ketika kami melihat tembok dan tiang-tiang, lemari dan kursi-kursi. Tak ada yang istimewa. Hingga suatu ketika, anakku yang usianya belum genap enam tahun menggamit jemariku dan menyeretku ke depan guci itu.
‘’Yah, Ayah, ada orang di dalam guci,’’ serunya sambil menunjuk-nunjuk guci itu.
Bagiku, anak kecil adalah makhluk yang hampir tidak pernah berbohong. Sehingga ketika anakku mengatakan itu, aku beranggapan, bahwa imajinasinya sudah melesat tidak karuan, bahkan cenderung berlebihan.
‘’Apa, ada orang? Di sini? Di dalam guci ini?’’ Aku mencoba menanggapinya.
‘’Iya, Yah. Ada orang di dalam guci,’’ sahutnya yakin sekali.
Selanjutnya, dengan runtun, lidah kidalnya mulai berceloteh, katanya, di dalam guci itu ada seorang kakek-kakek yang badanya kurus dan tidak memakai baju. Telinganya lebar mirip gajah. Ia memakai kalung yang terbuat dari kerikil dan mengenakan celana pendek seperti jerami. Katanya lagi, kakek-kakek itu suka keluar masuk dari dalam guci, mengajaknya bermain dan berbincang-bincang. Meski aku tidak memercayainya, tapi, tiba-tiba aku merinding mendengar celotehan anak itu.
‘’Iya, Yah, di dalam ada orangnya,’’ ia bersikeras meyakinkanku.
Entah siapa yang menyuruhku, serta merta aku pun membuka tutup guci raksasa itu dan melongokkan kepala ke dalamnya. Oh, betapa konyolnya aku. Seperti yang kulihat, tentu saja di dalam guci itu tidak ada apa-apa.
***
Di rumahku, di ruang tamu, ada sebuah guci besar sekali. Warnanya kuning agak merah-merah. Telinganya ada dua. Tingginya sepinggul ayah. Kata ayah, semenjak ayah masih kecil, guci itu sudah ada di sana. Kata ayah, guci itu namanya guci dayak. Guci itu adalah oleh-oleh dari kakek. Ketika kakek menjadi tentara di Kalimantan. Kata ayah, guci itu bukan guci biasa. Guci itu terbuat dari tanah liat yang dicampur dengan serbuk emas.
Kata ayah memang benar, guci itu memang bukan guci biasa. Karena, dalam guci itu ada sebuah dunia. Aku tahu itu dari seorang kakek tua yang keluar dari sana. Kakek tua itu sangat tua, tapi ia terlihat baik-baik saja. Badanya kurus dan rambutnya putih semua. Telinganya menggelambir seperti telinga gajah. Ia memakai kalung yang terbuat dari kerikil, ia juga mengenakan celana pendek yang merumbai seperti jerami. Kakek tua itu suka mengajakku bercanda dan bercakap-cakap. Ia ramah sekali.
Ketika aku menceritakan tentang kakek tua itu kepada ayah, alis ayah bertaut menjadi satu, kulit dahinya terlipat, lantas ia tersenyum datar. Beberapa saat kemudian, setelah mendengar ceritaku, ayah membuka tutup guci raksasa itu dan melongokkan kepala ke dalamnya. Ia tersenyum lagi. Senyum yang meledek. Barangkali, ayah menganggapku suka berhayal. Tapi aku benar. Memang ada kakek tua yang suka keluar masuk dari dalam guci itu. Aku melihatnya sendiri.
***
Beberapa hari berikutnya, menjelang maghrib atau terkadang selepas maghrib, acap kali kulihat anakku berdiri berlama-lama di depan guci itu. Ia mengelus-elus guci di hadapannya seperti mengelus-elus mainannya. Mulutnya komat-kamit sendiri. Seperti tengah bercakap dengan seseorang. Ketika kudekati, dan kutanyai sedang apa, lagi-lagi ia bercerita tentang si kakek tua yang badannya kurus dan tidak memakai baju, yang bersembunyi di dalam guci. Terlampau seringnya ia menceritakan itu, aku jadi berpikir, jangan-jangan yang dilihat dan diceritakan si kecil memang benar adanya, bukan isapan jempol belaka. Begitu polosnya ia, sehingga tampak mustahil jika mengada-ada.
‘’Apa kabarnya temanmu si kakek tua yang ada di dalam guci?’’ Iseng-iseng aku menggodanya.
‘’Kakeknya lapar,’’ jawabnya singkat.
‘’Kalau begitu adek kasih makan, dong!’’
Ia melongo, ‘’Sudah,’’ jawabnya.
‘’Ha? Memangnya si kakek, adek kasih makan apa?’’
‘’Telur rebus, kakek minta telur rebus, ia tak suka nugget,’’ jawabnya lugu.
‘’Si kakek adek ajak ke dapur, ke ruang makan?’’
Ia menggeleng.
‘’Terus?’’
Ia menunjuk-nunjuk ke arah guci.
‘’Telurnya adek taroh di dalem?’’ Ia mengangguk.
‘’Dalem guci?’’
Ia mengangguk lagi sambil tersenyum bangga.
Serta merta aku meraih tutup guci itu dan melonggokan kepala ke dalam. Dan benar saja, di dalam guci itu ada kulit telur rebus berserakkan.
‘’Lho, adek buang kulit telur di dalam guci, ya?’’ Aku masih belum yakin dengan apa yang kulihat.
‘’Bukan kulit telur, tapi telur,’’ jawabnya tegas.
Aku mengernyitkan dahi. Apakah itu berarti, si kakek yang ada di dalam guci mengupas telur itu sendiri dan memakannya. Haha, lucu sekali, tampaknya anak itu benar-benar ingin mengajak ayahnya bergurau. Perlahan aku mengangkat tubuhnya, dan memperlihatkannya apa yang kulihat di dalam guci.
‘’Tuh kan, itu kulit telur, Sayang,’’ aku meyakinkannya.
‘’Tapi kemarin telur, si kakek pasti sudah memakannya,’’ ia bersikeras.
Aku tak ingin lagi mendebatnya.
***
Aku tak terlalu peduli, apakah ayah percaya atau tidak pada ceritaku, yang penting aku tidak kesepian. Setelah ayah pergi ke tempat kerja dan pulang selepas maghrib, kemudian ibu sibuk dengan urusannya sendiri, aku terlalu sering kesepian, hingga kakek tua itu tiba-tiba muncul dari dalam guci dan menghiburku. Kakek tua itu biasanya muncul sebelum maghrib, terkadang setelah maghrib. Ia muncul diam-diam. Ia mengangkat tutup guci itu dari dalam dan menyungginya, hingga tutup guci itu tampak seperti topi yang ia kenakan. Ia terlihat lucu.
‘’Mau bermain?’’ tanya kakek tua itu.
Aku mengangguk girang.
‘’Tapi ada syaratnya?’’ katanya lagi.
‘’Syarat? Apa itu?’’ aku balik bertanya.
‘’Aku lapar,’’ balasnya.
‘’Oh, hari ini ibu menggoreng nugget. Kakek mau?’’
‘’Tapi aku hanya memakan telur rebus.’’
‘’Oh, telur rebus ya. Mmm... nanti aku bilang ibu dulu.’’
Kakek tua itu tersenyum dan mengangguk.
‘’Apa kakek mau makan di meja makan bersama kami?’’ aku bertanya lagi.
‘’O, tidak. Kalau sudah matang, telurnya langsung kamu masukkan saja ke sini, ke dalam guci.’’
Aku mengangguk dan berlari kegirangan, mencari ibu.
***
Lambat laun, ketertarikanku akan guci itu kian menjadi-jadi. Tiap hari aku mengawasinya. Mengelapnya. Sesekali membuka tutupnya dan melongokkan kepala ke dalamnya. Bukan apa-apa. Hanya berjaga-jaga. Karena, beberapa kali aku memergoki si kecil tengah menyeret-nyeret kursi plastik mendekati guci itu. Bahkan ia pernah menaiki kursi itu dan berusaha memanjat guci, hendak masuk ke dalamnya.
Suatu ketika, aku mendudukkan anak itu di pangkuanku dan mengintrogasinya. ‘’Adek, kenapa adek suka menyeret-nyeret kursi mendekati guci itu? Adik pingin masuk ke dalam guci?’’
Ia mengangguk bangga, seperti tak bersalah apa-apa.
‘’Masuk ke dalam guci?’’ aku menekan pertanyaanku.
‘’Iya,’’ tuturnya yang polosnya meluncur lagi.
Aku menahan geram dan hampir mengatakan jangan, itu tidak boleh, tapi kuurungkan. Aku lebih tertarik untuk mengetahui alasan mengapa ia bersikeras untuk masuk ke dalam guci itu.
‘’Di dalam guci ada banyak orang, Ayah,’’ ia memulai lagi celotehannya, ‘’kata kakek yang ada di dalam guci, di dalam guci itu ada rumah-rumahnya, ada binatang ternaknya, ada gunung-gunung, ada hutan, ada sungai, ada ladang, ada lautan, dan masih banyak lagi.’’
Aku masih mengunci mulut rapat-rapat, menyimak kelanjutan ceritanya. ‘’Kakek yang ada dalam guci iyu mengajakku main ke sana, katanya, di sana aku akan punya banyak teman. Kakek yang ada dalam guci juga berjanji, kalau aku mau ikut dengannya, ia akan mengajakku naik perahu rakit berkeliling telaga yang penuh dengan angsa.’’
Aku melongo, ‘’begitu, ya.’’ Suaraku seperti tercekat di tenggorokkan.
***
Kakek tua itu muncul lagi dari dalam guci. Ia mengucapkan terima kasih untuk telur rebus yang telah kumasukkan ke dalam guci. Sebagai gantinya, kalau aku bersedia, kakek tua itu hendak mengajakku masuk ke dalam guci, katanya, di dalam guci yang ia tempati ada sebuah dunia yang sangat luas. Di dalam guci, ia punya sebuah rumah yang sangat indah. Ia juga memelihara angsa dan beberapa rusa. Kalau aku mau ikut dengannya, ia berjanji akan mengajakku berkeliling ke telaga di depan rumahnya, telaga yang penuh angsa. Selanjutnya ia akan menunjukkan padaku gunung-gunung yang indah, yang di punggungnya ditumbuhi pohon-pohon berbunga. Juga pantai-pantai yang pasirnya berkilauan seperti serbuk madu.
Aku girang sekali mendengar kakek tua itu bercerita. Aku benar-benar ingin masuk ke dalam guci itu dan melihat dunia yang indah di dalam sana.
***
Menjelang pulang kantor istriku menelpon sambil menangis. Katanya si kecil hilang. Tidak ada di rumah. Ia sudah mengelilingi seantero rumah, dari ujung depan sampai ujung belakang, dan ia tidak menemukan si kecil. Dengan perasaan tak karuan aku pun segera meluncur ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, kepalaku dipenuhi oleh kecemasan-kecemasan, juga pertanyaan-pertannyaan. Satu-satunya hal yang kemudian bersinar dalam kepalaku adalah guci itu. Aku menghela napas lega, sedikit. Pasti si kecil bersembunyi di sana.
Segera aku menelpon kembali istriku. Aku memintanya untuk memeriksa guci raksasa di ruang tamu. Setelah beberapa jenak, dengan suara cemas dan napas tersengal, masih melalui telpon, istriku berkata, ‘’Tidak ada, Yah, hanya ada kursi plastik ambruk di sebelah guci.’’ Kepalaku seperti dihantam pendulum puluhan ton.
***
Tanpa sepengetahuan ibu, aku berjingkat dan menyeret kursi plastik itu pelan-pelan. Aku harus segera masuk ke dalam guci itu, sebelum ayah pulang. Kakek tua itu sudah menungguku. Aku meletakkan kursi plastik bersisian dengan guci, hampir menempel. Ketika aku mulai memanjat, kaki kursi itu berderit beradu lantai sebelum akhirnya ambruk berdebruk. Hampir saja aku terjerembab ke lantai kalau saja kakek tua itu tidak mengulurkan tangannya dan segera meraihku.
Aku tak percaya ketika aku telah memasuki guci itu. Dinding-dinding guci yang semula gelap dan sempit tiba-tiba melebar menjadi langit luas yang tak berbatas. Seperti yang telah ia janjikan, kakek tua itu mengajakku singgah di rumahnya. Rumah yang sangat luas dan penuh bunga. Di belakang rumahnya ada sebuah kandang dengan angsa dan rusa yang berkejar-kejaran di sana. Rupanya, kakek tua itu tinggal seorang. Ia tak punya anak ataupun istri. Maka dari itu, ia mengajakku ke sini, supaya ia bisa berbagi kebahagiaan yang ia miliki.
Seharian suntuk kakek tua itu mengajakku berkeliling. Semua yang ia ceritakan tak satupun meleset. Bahkan dunia yang ada dalam guci ini lebih indah dari yang kubayangkan sebelumnya. Aku bahagia sekali.
***
Beberapa hari berlalu dan anak itu tidak kami temukan, kami pun akhirnya melapor ke polisi sekaligus menyebarkan berita kehilangan sampai ke kota kecamatan. Akan tetapi nihil, tak ada hasil. Anak itu tak ada kabarnya. Seperti hilang ditelan bumi. Berbulan-bulan kami dirundung kepedihan. Sangat menyiksa, tahun-tahun pun berlalu dengan lamban. Sampai adiknya, anak kami yang kedua lahir, anak itu masih belum ada kabar beritanya. Hinga pelan-pelan aku dan istriku mengubur nama anak itu dalam-dalam, di hati kami yang sempat memar.
Waktu berjalan seperti serbuk obat yang pelan-pelan mengeringkan luka di dalam ingatan kami. Berpuluh-puluh tahun berlalu. Anak kami yang keduayang menjadi anak satu-satunyatelah tumbuh menjadi remaja, menjadi dewasa, ia menikah dan menghadiahi kami cucu. Berangsung-angsur kehidupan kami pun kembali sempurna.
***
Ketika aku bertanya pada kakek tua itu, apakah ayah dan ibuku boleh kuajak kemari, ia berkata tidak mungkin, karena ayah dan ibuku mungkin sudah tiada. Aku tak paham dengan yang ia maksudkan. Sepertinya aku sudah bermain terlalu lama, aku tak mau ayah dan ibu cemas, aku harus cepat pulang, kataku. Kakek tua tua itu tersenyum, ‘’Tahukan kau, bahkan kau pergi jauh lebih lama dari yang kau kira.’’
Aku berpikir keras untuk mencerna maksudnya.
‘’Naiklah, dan kau akan tahu,’’ ucapnya, ‘’berdirilah dari tempat dudukmu, dan kau akan sampai di rumahmu yang dulu.’’
Aku melakukan apa yang ia katakan, berdiri. Tiba-tiba tubuhku terasa sangat rapuh. Sendi dan tulang-tulangku seperti terolor. Rambutku yang lembut berubah menggumpal dan berwarna putih. Seuntai kalung yang seperti terbuat dari batu kerikil sudah mengalung di leherku. Pakaian yang kukenakan tiba-tiba menjadi lusuh seperti jerami. Telingkaku pun terasa melebar. Aku seperti terkekang dalam sebuah tempat dalam waktu yang lama dan tiba-tiba menjadi sangat tua.
Ketika aku berdiri, sempurna, tutup guci itu sudah berada di atas kepalaku. Di sebelah guci, seorang anak kecil tengah memperhatikanku dengan mata takjub. Kuperkirakan usianya belum genap enam tahun. Setelah memelototiku agak lama, anak kecil itu berlari dan kembali dengan seorang lelaki paruh baya.
‘’Yah, Ayah, ada orang di dalam guci,’’ serunya.***
Malang, 2012
Darwanto
Dengan nama pena Mashdar Zainal lahir di Madiun, 5 Juni 1984. Bermastautin di Merjosari, Lowokwaru, Malang, Jawa Timur. Aktif menulis dan karyanya dimuat diberbagai media.
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.