Oleh : Syamsuddin Muir
[ArtikelKeren] OPINI - Alhamdulillah, Konfrensi Imam Masjid Internasional jadi juga dihelat di Pekanbaru, 2-6 Desember 2013.
Acara besar yang menghadirkan imam masjid dari berbagai Negara Islam dan Eropa ini dapat dijadikan sebagai motifasi bagi Indonesia, dan Riau khususnya untuk melahirkan para imam masjid yang berkualitas, hafiz dan faqih.
Imam Masjid
Imam salat yang ditetapkan di suatu masjid merupakan kedudukan yang mulia dalam Islam. Pada masa Rasulullah, seorang pemimpin yang diangkat itu mesti bisa menjadi imam salat berjamaah.
Begitu juga yang diterapkan hingga pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Ketentuan kriteria imam salat itu mengacu kepada hadits dari Abu Mas’ud al-Badri, Rasulullah mengatakan, diutamakan imam itu orang yang lebih banyak baca Alquran, kemudian orang yang lebih mengetahui sunnah Nabi, kemudian orang yang lebih dulu berdiam di tempat itu, kemudian orang yang lebih tua. Dan seorang lelaki tidak boleh menjadi imam di tempat orang lain tanpa izin orang tempatan (HR Muslim).
Penulis buku Ahkam al-Imamah Wa al-I’timam Fi al-Shalah, Syaikh Abdul Muhsin al-Munif menjelaskan, Imam Hanbali mengatakan, lebih diutamakan imam itu orang yang banyak hafal Alquran daripada orang faqih (mengetahui hukum syariat).
Buktinya, para sahabat yang pertama hijrah itu, melaksanakan salat sebelum sampai di Madinah. Dan yang menjadi imam itu orang yang banyak hafalan Alquran, yaitu Salim. Padahal dalam barisan itu ada Umar bin Khattab dan Abu Salamah bin Abdul Asad (HR al-Bukhari).
Namun begitu, Imam Syafi’i pula mengatakan, lebih diutamakan imam itu seorang yang faqih. Buktinya, Rasulullah mengutamakan Abu Bakar sebagai penggantinya menjadi imam. Padahal ada sahabat Nabi yang lebih banyak hafalan Alquran, yaitu Ubay bin Ka’ab (HR al-Bukhari dan Muslim).
Masalahnya, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan, makna banyak baca Alquran itu adalah orangnya faqih. Keperluan kepada faqih menjadi imam salat lebih utama daripada yang hanya banyak hafalannya.
Imam Hanbali pula memahaminya sesuai lafaz hadits, lalu beliau mengatakan bahwa yang dimaksud itu adalah orang yang banyak hafal Alquran. Begitu penjelasan Dr Hamd al-Sha’idi dalam bukunya Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha’ Fi al-Furu’ al-Fiqhiyah.
Sebenarnya, mayoritas ulama mengatakan, yang utama menjadi imam salat adalah orang faqih dan mengetahui hukum Alquran dan sunnah.
Dasar pemikiran Imam Hanbali dan Imam Syafi’i sama, yaitu berpegang kepada hadits Abu Mas’ud al-Badri itu. Nampaknya, tidak ada perbedaan antara dua pemikiran itu.
Sebab, seorang faqih itu juga pembaca (hafal) Alquran. Mazhab Hanbali pula tidak bermaksud hanya hafal Alquran saja, tanpa mengerti fiqh.
Gabungan kedua pemikiran itu, maka syarat yang mesti ada pada diri imam salat itu: Pertama, mengetahui hukum salat dan hukum imam. Kedua, hafal semua Alquan, atau sebagiannya.
Ketiga, mengetahui hukum tilawah (tajwid) Alquran. Keempat, punya akhlak mulia. Kelima, berpenampilan bagus sesuai dengan kedudukan imam salat. Itu kesimpulan Dr Abdullah Sa’id dalam bukunya Shalah al-Jama’ah Dirasah Fiqhiyah Muqaranah.
Kesimpulan Dr Abdullah Sa’id itu sesuai dengan realita para imam masjid yang dikenal di Negara Arab. Misalnya Imam Masjid di Mesir, Syaikh Muhammad Gibril. Beliau hafiz Alquran dan alumnus Fakultas Syariah al-Azhar.
Syaikh Muhammad Shiddiq al-Minsyawi hafiz Alquran yang juga ulama. Beliau men-tahikik kitab Mu’jam al-Ta’rifat Imam al-Jurjani. Beliau juga menulis kitab Qamus al-Mushthalahat al-Hadits al-Nabawi. Syaikh Mahmud Khalil al-Hushari hafiz Alquran dan ulama. Beliau menulis kitab monumentalnya Ahkam Qira’ah al-Quran al-Karim.
Begitu juga imam di Masjid al-Haram. Di antaranya, Dr Abdurrahman al-Sudais. Beliau hafiz Alquran, dan meraih gelar doktoral (S3) Ushul Fiqh di Universitas Ummul Qura di bawah bimbingan ulama al-Azhar, Syaikh Ahmad Fahmi Abu Sanah. Syaikh Su’ud Alu Syuraim.
Beliau hafiz Alquran, dan meraih gelar master (S2) di Universitas King Abdul Aziz. Begitu juga imam Masjid Nabawi. Di antaranya Dr Ali Abdurrahman al-Huzaifi. Beliau hafiz Alquran, dan meraih gelar doktoral (S3) di Fakultas Syariah al-Azhar, Mesir.
Makanya, Imam Malik dan mayoritas ulama Hanbali mengatakan, salat tidak sah di belakang imam fasik. Bahkan Mazhab Imam Malik menegaskan tidak boleh mengangkat anak zina sebagai imam salat.
Kemudian, seseorang yang ditetapkan sebagai imam di sebuah masjid itu punya kedudukan tinggi. Tugasnya sebagai imam tidak bisa digantikan oleh imam lain tanpa izinnya.
Sebagaimana maula (hamba yang sudah merdeka) Ibnu Umar mengajukan dirinya menjadi imam salat. Tapi Ibnu Umar tidak mau.
Sebab, maula-nya itu merupakan imam tetap di masjid itu. Kisah ini tersebut dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab.
Bahkan, salat jamaah dianggap makruh, jika seseorang yang maju jadi imam itu tanpa dapat izin dari imam tetap.
Begitu penjelasan Syaikh Muhammad al-Zuhaily dalam bukunya al-Mu’tamad Fi al-Fiqh al-Syafi’i.
Imam Musafir
Seandainya, jika jamaah terdiri dari penduduk tetap dan orang musafir, maka penduduk tetap yang bukan musafir itu lebih diutamakan menjadi imam.
Sebab, jika penduduk tetap menjadi imam, maka salatnya sempurna, tidak qashar dan para jamaah di belakang yang di antaranya orang musafir akan melaksanakan salat sempurna, mengikut imam.
Tapi, jika orang musafir yang jadi imam, maka dia akan melaksanakan salat qashar, lalu jamaah akan menyempurnakan salatnya.
Dan tak semua jamaah di belakang itu mengerti salat qashar. Maka diutamakan imam tempatan yang bukan musafir. Begitu keterangan para ulama fiqh. Wallahu a’lam.***(ak27)
Syamsuddin Muir
Anggota Komisi Fatwa MUI Riau
[ArtikelKeren] OPINI - Alhamdulillah, Konfrensi Imam Masjid Internasional jadi juga dihelat di Pekanbaru, 2-6 Desember 2013.
Acara besar yang menghadirkan imam masjid dari berbagai Negara Islam dan Eropa ini dapat dijadikan sebagai motifasi bagi Indonesia, dan Riau khususnya untuk melahirkan para imam masjid yang berkualitas, hafiz dan faqih.
Imam Masjid
Imam salat yang ditetapkan di suatu masjid merupakan kedudukan yang mulia dalam Islam. Pada masa Rasulullah, seorang pemimpin yang diangkat itu mesti bisa menjadi imam salat berjamaah.
Begitu juga yang diterapkan hingga pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Ketentuan kriteria imam salat itu mengacu kepada hadits dari Abu Mas’ud al-Badri, Rasulullah mengatakan, diutamakan imam itu orang yang lebih banyak baca Alquran, kemudian orang yang lebih mengetahui sunnah Nabi, kemudian orang yang lebih dulu berdiam di tempat itu, kemudian orang yang lebih tua. Dan seorang lelaki tidak boleh menjadi imam di tempat orang lain tanpa izin orang tempatan (HR Muslim).
Penulis buku Ahkam al-Imamah Wa al-I’timam Fi al-Shalah, Syaikh Abdul Muhsin al-Munif menjelaskan, Imam Hanbali mengatakan, lebih diutamakan imam itu orang yang banyak hafal Alquran daripada orang faqih (mengetahui hukum syariat).
Buktinya, para sahabat yang pertama hijrah itu, melaksanakan salat sebelum sampai di Madinah. Dan yang menjadi imam itu orang yang banyak hafalan Alquran, yaitu Salim. Padahal dalam barisan itu ada Umar bin Khattab dan Abu Salamah bin Abdul Asad (HR al-Bukhari).
Namun begitu, Imam Syafi’i pula mengatakan, lebih diutamakan imam itu seorang yang faqih. Buktinya, Rasulullah mengutamakan Abu Bakar sebagai penggantinya menjadi imam. Padahal ada sahabat Nabi yang lebih banyak hafalan Alquran, yaitu Ubay bin Ka’ab (HR al-Bukhari dan Muslim).
Masalahnya, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan, makna banyak baca Alquran itu adalah orangnya faqih. Keperluan kepada faqih menjadi imam salat lebih utama daripada yang hanya banyak hafalannya.
Imam Hanbali pula memahaminya sesuai lafaz hadits, lalu beliau mengatakan bahwa yang dimaksud itu adalah orang yang banyak hafal Alquran. Begitu penjelasan Dr Hamd al-Sha’idi dalam bukunya Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha’ Fi al-Furu’ al-Fiqhiyah.
Sebenarnya, mayoritas ulama mengatakan, yang utama menjadi imam salat adalah orang faqih dan mengetahui hukum Alquran dan sunnah.
Dasar pemikiran Imam Hanbali dan Imam Syafi’i sama, yaitu berpegang kepada hadits Abu Mas’ud al-Badri itu. Nampaknya, tidak ada perbedaan antara dua pemikiran itu.
Sebab, seorang faqih itu juga pembaca (hafal) Alquran. Mazhab Hanbali pula tidak bermaksud hanya hafal Alquran saja, tanpa mengerti fiqh.
Gabungan kedua pemikiran itu, maka syarat yang mesti ada pada diri imam salat itu: Pertama, mengetahui hukum salat dan hukum imam. Kedua, hafal semua Alquan, atau sebagiannya.
Ketiga, mengetahui hukum tilawah (tajwid) Alquran. Keempat, punya akhlak mulia. Kelima, berpenampilan bagus sesuai dengan kedudukan imam salat. Itu kesimpulan Dr Abdullah Sa’id dalam bukunya Shalah al-Jama’ah Dirasah Fiqhiyah Muqaranah.
Kesimpulan Dr Abdullah Sa’id itu sesuai dengan realita para imam masjid yang dikenal di Negara Arab. Misalnya Imam Masjid di Mesir, Syaikh Muhammad Gibril. Beliau hafiz Alquran dan alumnus Fakultas Syariah al-Azhar.
Syaikh Muhammad Shiddiq al-Minsyawi hafiz Alquran yang juga ulama. Beliau men-tahikik kitab Mu’jam al-Ta’rifat Imam al-Jurjani. Beliau juga menulis kitab Qamus al-Mushthalahat al-Hadits al-Nabawi. Syaikh Mahmud Khalil al-Hushari hafiz Alquran dan ulama. Beliau menulis kitab monumentalnya Ahkam Qira’ah al-Quran al-Karim.
Begitu juga imam di Masjid al-Haram. Di antaranya, Dr Abdurrahman al-Sudais. Beliau hafiz Alquran, dan meraih gelar doktoral (S3) Ushul Fiqh di Universitas Ummul Qura di bawah bimbingan ulama al-Azhar, Syaikh Ahmad Fahmi Abu Sanah. Syaikh Su’ud Alu Syuraim.
Beliau hafiz Alquran, dan meraih gelar master (S2) di Universitas King Abdul Aziz. Begitu juga imam Masjid Nabawi. Di antaranya Dr Ali Abdurrahman al-Huzaifi. Beliau hafiz Alquran, dan meraih gelar doktoral (S3) di Fakultas Syariah al-Azhar, Mesir.
Makanya, Imam Malik dan mayoritas ulama Hanbali mengatakan, salat tidak sah di belakang imam fasik. Bahkan Mazhab Imam Malik menegaskan tidak boleh mengangkat anak zina sebagai imam salat.
Kemudian, seseorang yang ditetapkan sebagai imam di sebuah masjid itu punya kedudukan tinggi. Tugasnya sebagai imam tidak bisa digantikan oleh imam lain tanpa izinnya.
Sebagaimana maula (hamba yang sudah merdeka) Ibnu Umar mengajukan dirinya menjadi imam salat. Tapi Ibnu Umar tidak mau.
Sebab, maula-nya itu merupakan imam tetap di masjid itu. Kisah ini tersebut dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab.
Bahkan, salat jamaah dianggap makruh, jika seseorang yang maju jadi imam itu tanpa dapat izin dari imam tetap.
Begitu penjelasan Syaikh Muhammad al-Zuhaily dalam bukunya al-Mu’tamad Fi al-Fiqh al-Syafi’i.
Imam Musafir
Seandainya, jika jamaah terdiri dari penduduk tetap dan orang musafir, maka penduduk tetap yang bukan musafir itu lebih diutamakan menjadi imam.
Sebab, jika penduduk tetap menjadi imam, maka salatnya sempurna, tidak qashar dan para jamaah di belakang yang di antaranya orang musafir akan melaksanakan salat sempurna, mengikut imam.
Tapi, jika orang musafir yang jadi imam, maka dia akan melaksanakan salat qashar, lalu jamaah akan menyempurnakan salatnya.
Dan tak semua jamaah di belakang itu mengerti salat qashar. Maka diutamakan imam tempatan yang bukan musafir. Begitu keterangan para ulama fiqh. Wallahu a’lam.***(ak27)
Syamsuddin Muir
Anggota Komisi Fatwa MUI Riau
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.