Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Minggu, 02 Maret 2014

Indap-Indap ke Surga

Minggu, Maret 02, 2014 By Unknown No comments

CERPEN | Musa Ismail


Di mataku, Abah bercahaya.

Abah seperti purnama penuh dalam rumah tanpa listrik.

[ArtikelKeren] CERPEN - Badanku bagai layang-layang. Melayang sana, melayang sini. Melenggok ke kiri. Lalu, setengah berputar. Menjunam. Naik kembali. Limbung! Malam ini, sudah tujuh-belas tetes hujan jatuh. Sapu tanganku jadi lembab. Sudah tujuh-belas kali aku berputar. Aku kebingungan. Aku kehilangan. Aku berputar-putar mencari foto Abah. Yang nampak, hanya bentangan gelap. Cakrawala hitam mengepung penglihatan. Apakah aku buta?

"Ah, mana mungkin. Baru sekejap, aku siap membaca tujuh-belas halaman Al-quran pada Jus ke-17.’’

Sekali lagi, kucoba meyakinkan penglihatanku. Ternyata memang betul. Aku tak buta. Aku masih dapat melihat gulita. Hitam itu membentang. Gelap itu panjang dan melebar tanpa tepi. Di tengah-tengahnya, kulihat ada titik. Lama-lama, titik itu membesar. Membesar dan membesar sehingga kian jelas. Ternyata, bukan titik. Benda itu menohok mukaku. Mataku membeliak. Mengapa wajah Abahku ada di tengah-tengah kehitaman itu?

"Ah, mana mungkin. Tentu itu bukan wajah Abahku.’’

"Aku Abahmu, anakku. Aku adalah Abahmu.’’ Begitu sms yang masuk ke Hp-ku. Pesan itu bagai barisan sejuta mimpi. Tiap hurufnya adalah kemungkinan. Tiap katanya adalah kenyataan. Kubaca dan kulihat lagi. Memang betul, itu nomor hp Abahku. Hatiku masih berguncang tak percaya. Otakku juga bagai badai tak menerima kenyataan ini. Aku berpikir bahwa ini ilusi. Semakin kuat aku menyangkal, kebodohan kian menerpa sendi-sendi badan dan sarafku.

Aku tak bisa bercakap dengan bayangan wajah Abahku yang terjebak di bentangan gelap itu. Percuma saja. Kalau kujerit sekuat tenaga pun, hanya mubazir. Kegelapan itu telah menetralkan suara-suara yang ada apalagi suaraku yang tak seberapa kuat ini. Kegelapan itu telah melahirkan kebisuan yang dahsyat. Bagiku, kegelapan juga yang melahirkan rangkaian peristiwa ketakutan yang selama ini mendera kehidupanku, kamu, dia, dan mereka.

"Jangan pernah takut pada kegelapan, Anakku,’’ SMS Abah masuk lagi ke Hp-ku. ‘’Sebab, malam adalah sahabat yang mengantarkan kita pada fajar.’’

"Sebenarnya Abah di mana?’’ kucoba mengirim pesan itu beberapa kali, tapi gagal. Keanehan semakin menyelimuti kesadaranku ketika itu. Mengapa sms Abah bisa kuterima, sedangkan sms yang kukirimkan kepadanya tak pernah terkirim?

"Abah sekarang berada di suatu taman, Anakku,’’ SMS Abah masuk lagi.

"Aku jadi heran. Abah kok bisa membaca pikiranku,’’ tanganku masih menekan-nekan hp. Kubalas, tapi tetap saja gagal. ‘’Abah di taman mana, sih?’’ hatiku penasaran.

"Tak dapat Abah lukiskan dengan kata-kata. Bahkan, kau sebagai pelukis terkenal pun tak akan mampu menerjemahkannya di atas kanvas. Ada yang bercahaya, ada pula kegelapan. Anakku, berhati-hatilah di dunia. Dunia adalah karantina. Dia adalah langkah menuju cahaya atau kegelapan. Permainan yang kaulakoni di sini menjadi langkah awal pada kehidupan berikutnya. Inilah permainan, Anakku. Suatu permainan.’’

Aku coba membayangkan wajah Abah sekuat pikiran, sekuat tenaga. Lalu, kutumpahkan di atas kanvas. Tanganku bergerak tanpa kendali, tanpa memedulikan gagasan yang turun dari neuron-neuron otak kananku. Malam ini, kamarku menjadi asing. Aku bagaikan manusia mesin yang digerakkan sesuatu yang tak kuketahui. Aku sangat membenci ini. Sesuatu yang tak diketahui sungguh sangat menyiksa batinku. Masih kelam, di mana aku mencari jawab?

"Kau tahu azab, Anakku? Abah yakin, kau sangat tahu itu. Kau tahu, setiap hari hati Abah teriris.’’

Jantungku serasa jatuh membaca pesan itu.

"Sekarang, Abah dalam keluarga asing. Hati Abah teriris karena para tetangga yang bernasib malang. Mereka dicambuk-cambuk, Anakku. Mereka dibantai oleh seseorang yang tak dapat kulihat.’’

Aku tahu, pasti wajah Abah dipenuhi rasa cemas.

"Kau salah, Anakku. Kecemasan itu hanya ada pada orang-orang lemah. Kecemasan juga akan hinggap pada kita kalau tak punya bekal yang cukup. Apakah bekalmu sudah cukup, Anakku?’’

Tanganku masih terus merenangi kanvas.

Menurutku, Abah mengada-ada. Apa dia tak tahu. Rumah ini tak pernah kurang. Kerja kerasku selama ini telah membuahkan hasil berlimpah. Lima istana megah. Lima kendaraan mewah. Lima perusahaan bonafit. Duit berlimpah ruah. Semuanya aku punya. Wajar rasanya kalau aku menikmatinya. Inilah buah dari keringatku. Ah, pertanyaan Abah itu sungguh konyol.

"Sudah dua kali kau keliru. Semua itu bukan bekal. Lihatlah dirimu sekarang. Kau sebenarnya lebih miskin daripada fakir-miskin di sekitar istanamu.’’

"Abah jangan menerorku,’’ aku memekik. Hp nyaris kubanting, tetapi tertahan.

"Kau salah lagi. Aku bukan teroris. Pikiranmu sudah terjangkit virus Amerika yang sok hebat itu. Tak perlu menuduh orang lain. Bercerminlah pada diri. Kau telah begitu berani menganggap Abah sebagai teroris. Tarik kata-katamu itu.’’

Aku mati akal. Energi hp itu kupencet. Gelap.

Waktu yang kulalui malam ini terasa seperti langkah siput gayah. Malam ini aku dibebani satu ton kapas basah. Oh, sangat sulit aku membawa beban-beban berupa pesan-pesan itu. Otakku panas. Tengkukku tegang. Sarafku kaku. Dahiku bagai menyimpan segudang masalah. Sungguh, aku merasakan sangat berat.

Tanganku masih saja menggerayangi kanvas. Kini, kanvas itu sudah dipenuhi warna. Dari awal, otakku memerintahkan tangan agar melukis wajah Abah. Kubayangkan hidungnya, kepala, telinga, dan sekujur badannya. Sudah satu jam, tetapi belum menggambarkan manusia. Yang tampak, cuma cahaya. Padahal, diotakku sudah tergambar wajah abah. Aku pun tak tahu apa makna semuanya ini. Otak dan tanganku sudah tak sejalan lagi. Selera mereka sudah berlainan.

"Sialan! Pertanda apa ini. Kenapa tanganku tak bisa lagi melukiskan seperti apa yang ada di dalam otakku. Apakah kemampuanku sebagai pelukis akan berakhir di tengah malam ini. Oh Tuhan, tidak. Melukis merupakan kecerdasanku. Melukis adalah pekerjaanku. Jika kauambil, aku benar-benar bisa melayang bagai layang-layang tanpa tali,’’ tanganku masih terus saja mencakar kanvas itu dengan berbagai cat.

Aku terlupa wajah Abah? Oh, tidak, aku bukan lupa. Aku hanya tak mau membayangkannya. Kalaupun membayangkannya seperti sekarang, aku tak mau mengingatnya sekuat tenaga. Aku hanya bangga dengan Emak. Dia yang membesarkan diriku hingga menjadi pelukis hebat. Dari hasil melukis, kubangun semua kemewahan. Semuanya untuk Emak.

"Tak perlu kau munafik, Anakku. Lihatlah, apakah Emakmu bahagia dengan semua ini? Jawablah dengan hatimu yang terdalam,’’ SMS dari Abah masuk lagi.

Dengan hati muak, kutekan tombol power. Klik, hp pun mati. Tanganku juga berhenti mengganyang kanvas. Belum tampak juga wujud wajah Abah di situ.

Malam yang kulalui kian buta. Gelap. Cuma ada titik putih di tengahnya.

Waktu-waktu hidupku mulai terganggu. Pesan-pesan dari Abah benar-benar mempermainkan batinku. Celakanya, aku bukan hanya merasa terusik, tetapi sangat tertekan. Imajinasiku semakin tak menentu. Karena rasa depresi ini, aku bertindak berlebihan menurut pikiran normal. Kartu hp kucampak ke longkang setelah membeli yang baru. Aku berharap Abah tak lagi mengganggu ketenangan.

Sudah berhari-hari, hp tak kuhidupkan.

Tetapi, semenit setelah aku membuka hp dengan kartu baru, sms dari Abah masuk bertubi-tubi.

"Kau tak perlu takut, Anakku. Kau tak perlu menukar nomor hp-mu.’’

"Hidup ini senda gurau, bermain, dan mengikuti sayembara.’’

"Hidup ini tak ubahnya karya-karya yang telah kaubuat itu. Penuh warna, penuh bentuk, penuh peristiwa, penuh ketegangan, juga perseteruan. Bahkan, sarat dengan tawa miang.’’

"Tak perlu kau bangga dengan kemewahan dan keberhasilan dunia saat ini kalau kelak kau akan terpanggang hidup-hidup.’’

Mataku berkunang-kunang membaca sms itu. Aku bagaikan melihat darah berserakan dari luka yang menganga. Badanku hoyong karena pitam mendera. Aku lemah darah. Cepat-cepat aku duduk di kursi malas. Kepalaku tertunduk. Mata terpejam. Kedua telapak tangan menutup kedua mataku. Untung aku cepat berbuat begitu. Kalau tidak, mungkin aku bisa pingsan.

"Abah, tak bisakah Abah kirimkan aku sms yang penuh sokongan?’’ aku memekik sekuat tenaga.

Suara Hp-ku tak lagi berdering.

Malam terus merangkak. Tak terasa semakin cepat.

***

Sudah hampir empat tahun aku pindah rumah. Menurut orang pandai, rumah yang dulu kutempati, banyak melanggar pantang larang. Karena itu, bermacam gangguan bisa terjadi, termasuk sms sesat dari Abah. Untung saja gangguannya masih bersifat sms-an.

Sebab kata mereka, gangguan itu bisa lebih menyiksa daripada itu. Mungkin bisa mengakibatkan kematian. Terlepas dari semua itu, aku bersyukur karena Hp-ku terbebas dari sms Abah.

Aku masih ingat. Sejak aku memekik malam itu, sms Abah tak pernah tersesat lagi di Hp-ku.

Mataku lekat pada kanvas penuh warna yang sudah hampir empat tahun itu.

"Abah mengapa begitu?’’ anakku heran melihat gelagatku memandang lukisan yang tak berbentuk itu.

"Abang terkenang sesuatu?’’ sambung isteriku. Dia membawa segelas susu buatku.

"Abang teringat Abah. Lukisan tak berbentuk ini lahir karena sms Abah.’’

Isteriku diam. Aku tahu dari keningnya bahwa dia bingung. Isteriku tak memperpanjang rasa ingin tahunya. Aku pun tak mau memusingkan kepalanya dengan berbagai persoalan yang jauh dari logika. Bukan aku tak mau terbuka dengannya. Aku cuma tak mau melibatkan dia ikut didera oleh keganjilan yang pernah menyerang batinku. Aku juga tak mau anak dan isteriku merasa tidak nyaman hidup denganku. Mereka harus bahagia dalam situasi bagaimanapun.

Harus kuakui, kini aku semakin merindui Abah. Aku pun semakin merindui sms darinya. Dua tahun terakhir, aku mengakui kebenaran sms Abah. Aku merasakan kebermaknaan hidup baru dalam dua tahun ini. Rasanya, usiaku baru dua tahun yang berarti. Pesan-pesan dari Abah kurasakan bagai wasiat mulia yang semula aku tolak karena kebodohan. Sekarang, aku ibarat musafir yang kehausan menunggu aliran air di tengah kekeringan panjang.

"Abah, kau adalah cahaya,’’ aku memekik.

Isteriku terkejut. Dia menggoyang-goyangkan badanku.

"Abang bermimpi?’’ isteriku bertanya lembut.

Aku tak menjawab. Aku berdiri menuju lukisan yang tak berbentuk itu.

"Abang tidak apa-apa?’’

Aku hanya menggeleng ringan.

"Betul Abang tidak apa-apa?’’

Aku hanya mengangguk pasti.

"Abang hanya merasakan sesuatu. Sesuatu yang tak begitu pasti dengan lukisan itu.’’ Tangan isteriku mengait lenganku. Takut agaknya.

Lukisan itu ada di depanku. Atau, aku sudah berada di depan lukisan itu. Isteriku juga ikut. Kuajak isteriku menatapnya dengan matan.

"Tak ada apa-apalah, Bang. Kita tidur saja, yok,’’ kata isteriku setelah sekitar setengah jam kami duduk menatap lukisan tak berbentuk itu. Aku rasa ada sedikit kecut menyerang ibu anakku itu.

"Tunggu sebentar lagi. Abang merasakannya. Lukisan ini ingin berbicara sesuatu.’’

Mataku melototi kanvas penuh warna itu. Satu per satu kata tertoreh di situ.

"Anakku, kini Abah bahagia melihatmu. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan Abah, juga kebahagiaan Emakmu. Pertahankan kehidupanmu kini. Jagalah keluargamu, isteri, dan anakmu dari kobaran api. Didiklah anakmu supaya selalu dekat dengan Allah.

Engkau telah jauh berubah. Perubahan yang kaulakukan telah meringankan beban Abah. Kini, Abah semakin nyaman di alam kubur.’’

Isteriku terkejut. Dia nyaris pingsan melihat pesan Abah yang memenuhi lukisan tak berbentuk itu. Dalam mimpiku tadi malam, aku melihat Abah bagai indap-indap yang melintasi neraka menuju surga.***(ak27)




Musa Ismail
sastrawan Riau ini adalah guru SMAN 3 Bengkalis.



http://ak27protect.blogspot.com

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN