Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Minggu, 02 Februari 2014

Kawin Plastik

Minggu, Februari 02, 2014 By Unknown No comments

CERPEN | Dantje S Moeis


[ArtikelKeren] SPESIAL - Sekonyong-konyong bedegup jantung mak Milah saat berkemas, beberes-beres merapikan kamarnya, kamar dia dan pak Balaguk suaminya.

Selang beberapa tahun terakhir, hanya mereka berdualah yang masuk ke kamar ini.

Jadi, otomatis sejak pernikahan Yalip anak bungsu mereka, tak satu orang lainpun boleh masuk ke sini, tidak juga Sumiatinah atau biasa dipanggil dengan bik Tinah pembantu mereka.

Memang, ada juga untungnya. Kalau tidak, hampir tiap petang mak Milah terpaksa bebenah, membereskan ruang ini, ruang berukuran empat kali lima meter. Karena setiap siang hingga menjelang petang hari, anak-anak mereka menagih tidur dan melasak di sini. Masalah ini terjadi bukan hanya di masa anak-anak itu kecil. Bahkan menjadi tabiat rutin hingga mereka dewasa.

"Tak mungkin orang lain, pastilah dia.’’ Mak Milah berkata dalam hati, memperkuat sak wasangkanya.

Namun untuk bereaksi terlalu keras memastikan apa tujuan dia melakukan ini, ada sesuatu yang mengganjal di hati mak Milah.

"Dan... salah-salah hemat, pertanyaan senada dapat dia balikkan padaku,’’ pikir hati mak Milah, semakin memperkeras degup jantung dan kegugupannya.

"Sebetulnya aku tak perlu menandai dengan menconteng iklan itu di baris yang menarik minat, karena alamat pemasang iklan dan jenis benda yang aku minati, sudah kusalin di kertas lain.’’ Mengoceh sendiri, mak Milah makin merasa jadi orang yang paling tolol.

Sekarang, apa mau dikata, kolom iklan tersebut sudah tidak ada lagi pada halaman koran yang kini membuat ia gugup, merasa salah sekaligus galau dan panas hati. Kolom iklan pada halaman koran itu sudah tergunting rapi, bolong tembuk melompong.

"Cuma, apa pula gunanya si tua itu menggunting atau mengklipping iklan tersebut?’’

Berbagai pertanyaan, jawaban semu dan kemungkinan-kemungkinan yang muncul akibat kesimpulan, serta langkah yang akan diambil, semakin membuat mengkecamuknya kepala hotak mak Milah.

Sebetulnya mak Milah sadar, sesadar-sadarnya, apalagi berdasarkan advis dokter Machfuds, tempat ia berobat sekaligus tempat bertanya perihal penyakit yang akhir-akhir ini selalu menderanya. Bahwa orang-orang yang sudah mencapai usia above sixty seperti dirinya, kalau dapat tak usahlah berfikir terlalu keras. Ambisi atau keinginan yang kira-kira hampir tak tepikul tak tebadan lagi untuk mencapainya, hendaklah mulai dibuang jauh-jauh.

Tapi, entah setan apa yang berada di balik iklan celaka itu, ia menjadi begitu tertarik dan mungkin suaminya, pak Balaguk tertarik juga untuk memiliki produk yang diiklankan, walau ia tahu mungkin tak sama atau persis dengan benda yang diimpikan mak Milah. Atau? Ada perihal lain yang menyebabkan pak Balaguk menggunting dan menyimpan iklan tersebut. Perihal lain inilah yang sebenarnya membuat gugup dan degup jantung mak Milah semakin menjadi-jadi.

Sapu dan kemoceng bulu ayam, tak lagi dihiraukan mak Milah. Walau kain lap masih tersadai di bahunya, namun nasibnya sama dengan sapu dan kemoceng bulu ayam.

Mak Milah tunak melamun. Matanya seakan tak berkedip menatap lubang bolong bekas guntingan iklan. Puncaknya, mak Milah seperti "jatuh bodoh’’. Linglung dan terjelepok tidur tak bermimpi indah, di muka rak buku dekat nakas peletak teve empat belas inci.

Sehari, dua hari dan kini sudah mencapai waktu seminggu, setelah peristiwa bolongnya koran. Namun pertanyaan siapa yang menggunting dan akan diapakan guntingan iklan di koran itu, masih juga belum terjawab oleh mak Milah. Sak wasangkanya tak berubah, masih lebih berat tertuju pada pak Balaguk suaminya.

"Cuma, untuk apa?’’

Kehidupan rumah tangga mereka, mau tak mau memang agak sedikit terganggu, canggung dan terus terang mak Milah agak salah tingkah.

Perubahan itu sampai juga ke atas ranjang, mereka selalu tidur bertolak punggung hingga pagi. Mak Milah lupa, siapa yang terlebih dahulu memulai aksi tidur dengan cara ini dan mak Milah yakin, pasti bolongnya koran bermuatan iklan itulah yang menjadi pangkal bala.

Bukan tak ada upaya. Pernah suatu-kali untuk menjolok, atau memancing, membangkit reaksi dari suaminya agar titik terang dari pertanyaan mengapa iklan itu digunting, atau diklipping dan siapa sebenarnya yang menggunting iklan itu.

Sayup-sayup sampai, mak Milah berupaya dengan berpantun.

Joran kail batang kemunting
Kurap bertengger atas dahi
Apa guna koran digunting
Harap jelaskan pada kami


Pak Balaguk tak bereaksi, diam bungkam seribu bahasa. Berdehem tidak batuk pun tidak. Padahal seumur-umur perkawinan mereka, seingat mak Milah baru kali inilah ia menggunakan tata cara kuno, penyampaian maksud dengan bahasa masa lalu. Sebenarnya ia sangat benci dengan hal-hal yang berbau kecintaan yang keterlaluan, kecintaan membabi-buta pada tradisi. Ketergantungan pada pola dan aturan buatan nenek-moyang.

"Mengikat dan bertele-tele. Kuno dan memperkecil ruang kreativitas, menghambat orang berfikir maju.’’ Begitulah pikirnya selalu.

Pikiran ini sudah lama tertanam di benak mak Milah dan perihal ini sudah diketahui oleh suaminya, anak-anak mereka, begitu juga dengan orang dekat yang kerap berinteraksi dengannya.

"Namun kalau tradisi itu mempunyai celah yang penting bagi kehidupan masa kini apalagi masa depan, why not? Silahkan jalan, dan harus berhenti di museum, seandainya tak relevan dengan kehidupan masa kini dan ke depan.’’

Aneh, tampaknya polah mak Milah yang di luar kebiasaannya, tetap membuat pak Balaguk tak bereaksi.

Sekali lagi mak Milah melanggar doktrin yang ia ciptakan. Ia coba menjolok, lagi-lagi dengan berpantun.

Hilang bulan lubuk cintaku
Mangga mempelam yang aku nanti
Bosan tuan dengan diriku
Akankah mencari dinda pengganti

Hanyut terapung kelapa puan
Lalu diraih anak Belawan
Kalau bosan katakan bosan
Guntingan iklan jadi alasan


Agak lebih menjurus memang, namun akhirnya mak Milah terpaksa menarik nafas panjang, hilang resa hilang asa. Pak Balaguk diam seribu bahasa.

Dua minggu sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga mak Milah dengan pak Balaguk semakin hari semakin beku. Keadaan seperti ini tampaknya sudah mulai tercium oleh anak-anak mereka dan makin bertambahlah degup jantung, rasa takut di hati mak Milah. Mak Milah tak ingin peristiwa ini menjadi gosip terselubung. Gosip yang disampaikan dengan cara "pembisik cina’’, makin hari makin bertambah bumbunya, hingga rasa asal permasalahan menjadi hilang tak menentu, kian runyam, kusut dan dapat berakibat fatal.

Tak ingin permasalahan ini menjadi berlarut. Berhadap muka dengan suaminya, mak Milah menguatkan tekad. Tak lagi berpantun-pantun atau berbasa basi. Sambil meremas-remas koran tembuk bolong digunting, mak Milah membuka pembicaraan.

"Saya harap abang dapat berterus terang.’’

Pak Balaguk tak menjawab, tampaknya ia sudah tahu arah pembicaraan akan kemana.

Berharap pada pulihnya keadaan dan kejenuhan pada suasana beku yang tak pernah berlaku di kehidupan rumah tangga mereka selama ini, membuat mak Milah membuang jauh jauh rasa gugup dan menjadi lebih berani untuk meneruskan pembicaraan.

Punah sudah rasa gugup, tak ada degup jantung yang berlebihan. Kian tampak sosok asli mak Milah, perempuan perkasa dengan motto, ‘’rawe-rawe rantas, malang-malang putung.’’ Tak ada kata takut untuk nyerempet-nyerempet bahaya buat satu tujuan, keutuhan rumah tangga yang mereka bina ‘’berpeluh darah dan air-mata.’’ Ia tak hendak menyakiti dirinya dan menyakiti pak Balaguk suami yang ia tekadkan menjadi pendamping tunggal hingga akhir khayat.

"Bang, apa abang sudah lupa akan ikrar kita berdua sebelum menikah dulu? Di tepi sungai Inderagiri, di bibir batu miring panjang menghampar, pas di depan bioskop Sempena Riau, sepulang menonton film Romi dan Yuli.’’ Sebetulnya dalam hati mak Milah malas dan meloye mengingat-ingat peristiwa itu. Ia merasa sangat norak dan menjadi geli sendiri, pada perilaku-perilaku yang menurut orang masa kini disebut dengan masa pacaran.

Namun. "Lantaklah! Aku tak perduli.’’

"Aku cinta engkau bang, untuk itulah aku menyetujui dan akhirnya kita berdua bersepakat bahwa tidak ada dusta dalam rumah tangga kita. Semuanya harus transparan, tak ada rahasia-rahasia dan kejujuran menjadi yang diutamakan dalam kehidupan di keluarga kita.’’

Pak Balaguk, tetap bungkam seribu bahasa. Ia tak memperdulikan celoteh mak Milah, bahkan sambil menundukkan wajah ia memalingkan muka membelakangi mak Milah seraya menatap lantai.

Memang betul-betul sirnalah sudah rasa gugup, takut dan bersalah di hati mak Milah. Malah kini sebaliknya, perasaan itu berubah berbalik menjadi amarah, terhina karena perilaku pak Balaguk terakhir ini, ditambah dengan sikap acuh tak acuh yang diperlihatkannya.

"Hai Balaguk! Apakah engkau sudah pekak tuli dan tak berperasaan?’’ Hilang rasa hormat, sopan santun dan adab, yang diwajibkan oleh seorang isteri terhadap suami. Mak Milah entah sadar entah tidak, telah masuk dalam kategori hilang kendali.
Tersentak pak Balaguk, dengan suara lebih menggelegar, merasa harga dirinya sudah diinjak terlebih lagi pada kalimat-kalimat tajam tak seperti biasanya.

"Ini semua kulakukan karena ulah engkau Milah! Dan inilah kejujuran atau keterus terangan yang kau minta. Engkau yang membuat keadaan menjadi seperti ini. Bukankah engkau yang terlebih dahulu menconteng, menandai baris-baris benda yang dipromosikan dalam iklan itu?

Aku sengaja memotong bahagian iklan tersebut, agar kau sadar akan usia kita yang sudah beranjak tua. Segala hasrat yang kuinginkan, aku sadari bahwa tak seluruhnya dapat kau penuhi seketika. Begitu juga sebaliknya dengan hasratmu. Terlebih lebih pada hasrat yang terkait dengan kondisi umur, kemampuan fisik serta tenaga dan untuk itu, kau tak perlu menggantinya dengan alat bantu seksual dari karet atau plastik bernama, "Vagina bulu/Vagina full body’’ seperti yang tercantum di baris pertama yang kau conteng pada iklan di koran itu. Atau kau ganti dengan "Vagina Denyut/Vagina empot-empot, Vagina montok,’’ yang juga kau tandai dan hal itu aku yakini hanya, karena akhir-akhir ini, permintaanku untuk melakukan hal yang satu itu selalu kau tolak dengan berbagai alasan.’’ Pak Balaguk menghela nafas dalam-dalam. Mak Milah terdiam, tak satu katapun mampu ia ucapkan.

"Sungguh mati Milah, aku sama sekali tak memerlukan itu. Ketika tahajud dan sujudku yang jujur mendapat jawab sebagai petunjuk tak bersuara dariNya, aku melaksanakan petunjuk itu. Melaksanakan petunjuk itu dalam segala hal dan yang membuat aku sadar bahwa hidup taklah dapat "menongkat langit". Aku merasa sangat terhina dengan perbuatanmu, aku tak serendah itu.’’ Nada suara pak Balaguk mulai melemah dan terlihat jelas bulir-bulir air mulai terlihat di kedua sudut matanya.

"Dan... yang kunikahi lalu kukawini selama lebih dari tiga puluh lima tahun ini adalah kau Milah, Sumarmilah binti Jalindam, perkawinan halal yang diridhoi Tuhan, aku tak ingin kawin dengan cara lain, dengan orang lain, apalagi dengan benda-benda seperti di iklan itu. Tegasnya aku tak sudi ‘Kawin dengan Plastik’, titik.’’

"Hah...!’’ Mak Milah terkesiap, yang ada hanya diam tak berkata-kata.***(ak27)


Dantje S Moeis
adalah perupa Riau yang juga rajin menulis sajak serta cerpen. Ia juga menulis esai. Saat ini menjadi dosen di STSR.



http://ak27protect.blogspot.com

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN