Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Senin, 13 Januari 2014

Potensi Konflik Lahan di Riau

Senin, Januari 13, 2014 By Unknown No comments

Oleh : Mardianto Manan


[ArtikelKeren] OPINI - Sewaktu genderang otonomi daerah ditabuh pada 1999 lalu, banyak terjadi pemekaran kabupaten di Indonesia. Salah satu dampak negatif dari otonomi daerah tersebut adalah panen konflik ruang.

Sehingga menarik untuk disimak apa yang disampaikan Penjabat Gubernur Riau Djohermansyah Djohan pada masa penutupan tahun 2013 dan menyambut 2014 lalu.

Beliau atas nama Pemprov Riau berharap pada masyarakat di seluruh daerah yang kental dengan kebudayaan Melayu ini, agar dapat menjaga suasana kondusif.

Kongkritnya beliau mengatakan bahwa jangan memicu hal-hal yang akan menimbulkan konflik, situasi keamanan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) harus sama sama dijaga. (Riau Pos, 2/1).

Sebenarnya masalah ini bukanlah hal yang baru. Pada awal tahun 2001 lalu, tatkala Hakim Agung H Toton Suprapto SH mengemukakan dalam salah satu lokakarya pertanahan di Jakarta bahwa dari 4.048 perkara kasasi yang diajukan penyelesaiannya di tingkat kasasi Mahkamah Agung RI (MA) selama 2001, sebanyak 2.066 kasus (51.04 persen) adalah kasus sengketa tanah.

Suatu jumlah kasus yang fantastis dan perlu ditindaklanjuti. Demikian banyaknya kasus sengketa tanah yang ada, tidaklah dapat diabaikan tanpa dicarikan jalan penyelesaiannya.

Kasus dan konflik tersebut akan dapat menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja dan berakibat buruk bagi stabilitas bangsa ini.

Secara garis besar, menurut Prof Maria W Sumarjono, tipologi sengketa pertanahan dapat dipilah menjadi lima kelompok yaitu: Pertama, kasus-kasus tanah berkenaan dengan penggarapan rakyat atas areal perkebunan, kehutanan, dan lain-lain.

Kedua, kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform. Ketiga, kasus-kasus berkenaan dengan akses-akses dalam penyediaan tanah untuk pembangunan.

Keempat, sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; dan kelima, sengketa tanah berkaitan dengan tanah ulayat.

Di Riau, dilihat lima tahun terakhir ini banyaknya terjadi tuntutan masyarakat terhadap kepemilikan lahan, khususnya kasus tanah dengan penggarapan rakyat atas areal perkebunan (poin 1) dan sengketa tanah ulayat (poin 5).

Bahkan sekarang sudah sampai pada posisi kondisi yang sangat memprihatinkan.

Sudah mulai terjadi bentrokan fisik di sana-sini, bahkan sudah ada korban jiwa dari kedua belah pihak baik perusahaan maupun masyarakat Riau. Tentunya hampir dipastikan masyarakat selalu terkalahkan dan berada dalam posisi yang tidak diuntungkan.

Saya memandang ada beberapa faktor penyebab sebagai biang keladi menjamurnya tuntutan masyarakat terhadap kedigdayaan para perusahaan.

Pertama, sejarah kepemilikan lahan diperoleh dengan intervensi pusat tanpa melibatkan masyarakat adat yang memandang bahwa hutan yang ada adalah milik masyarakat tempatan.

Masyarakat kehilangan hak otonominya dengan alasan hutan, tanah dan air, adalah milik negara sehingga dapat dikapling negara untuk kemudian dibabat oleh yang haus akan nafsu kepemilikan hutan untuk kepentingan sepihak.

Yang jelas dan pasti, niat menukar hutan untuk menghasilkan dolar yang bejibun dengan dalih hutannya dibabat untuk dijual kayu alamnya.

Hutan dengan alasan penghijauan ditanami secara monokultur yang kemudian ditebang lagi satu atau lima tahun ke depan.

Bahkan banyak lahan yang ditelantarkan setelah dikuras habis sampai punah plasma nutfah yang ada dalam hutan tersebut. Keanekaragaman hutan yang secara ekologis bernilai tinggi hilang, tinggal lahan semak belukar tak tentu tuan.

Kedua, masyarakat mulai kehilangan kendali akan alamnya sendiri. Banyak yang selama ini ”bekerja” dan bahkan ”belanja” melalui hasil hutan, sekarang mulai kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian.

Di sisi lain, pekerjaan yang ada di perusahaan tersebut, hanyalah untuk menistakan kejayaan kampung masa lalu. Mereka kini hanyalah bekerja sebagai buruh kayu, buruh sawit bahkan buruh angkut yang hanya mengharap upah.

Kalaupun ada pekerjaan yang bergengsi, paling hanya sebagai mandor, yang terbatasi oleh tes keahlian, dengan alasan klise harus tamat sekolah ini dan itu.

Alhasil warga tempatan hanyalah menjadi penonton setia di seputaran pinggiran perusahaan. Keperluan pokok semakin mengeruyak untuk sekadar bertahan hidup.

Harga bahan pokok melambung tinggi, segala sesuatu harus dibeli, sehingga persoalan hidup semakin melilit pinggang. Namun di sisi lain, para pemilik modal perusahaan sebagai pemilik lahan yang dilegalitas pemerintah menjadi pengusaha terkaya, ini selalu mendapat rangking sebagai orang terkaya di Asia Tenggara bahkan dunia.

Kondisi di atas bagaikan padang ilalang kering, yang sudah lama tidak mencium aroma air. Sedikit saja dipantikkan api, maka terjadilah kebakaran hebat yang berujung pada peperangan melawan perusahaan.

Hal tersebut diperparah oleh buncalan arogansi pengusaha dalam pengelolaan perusahaan, yang menambah tingginya kadar kemuakan masyarakat terhadap perusahaan.

Inilah alasan pemicu masyarakat melawan perusahaan, serta memerangi perusahaan yang berujung masyarakat selalu menjadi korban, karena kemiskinannya, lantas perusahaan cendrung untuk dimenangkan.

Karena mereka bisa membeli kemenangan itu via jalur jalur hukum positif yang telah ia kuasai sedari awal pengeluaran perizinan masa lalu, sementara masyarakat bertahan dengan hukum adat yang tak tertulis tapi ada, maka ketika dibawa ke ranah hukum positif maka masyarakat selalu mendapat kemenangan yang negatif alias selalu dapat nomor akhir.

Masalah yang sulit ini, ditambah runyam oleh pengangkutan balok-balok kayu maupun hasil pengelontoran tandan buah sawit yang bertonase tinggi per jamnya.

Jalan-jalan masyarakat dilalui tanpa memberi berkah terhadap keberadaan sosial ekonominya, yang ada malah jalan bertambah rusak parah.

Di sinilah awal konflik tersebut, bergumul menggelinding menimbulkan aroma kemarahan, yang berujung kerinduan akan kepemilikan hutan masa lalu yang agung, dengan istilah hutan ulayat atau rimbo larangan, dengan cara perlawanan terhadap perusahaan. Lantas siapa yang dianggap salah?

Siapa yang dikurung masuk penjara? tentulah masyarakat. Karena perusahaan dengan uang dan pengacaranya dapat mengatur siapa mengurung siapa, alias masukkan ke bepak bin panjaro alias hotel prodeo, maka badan tabedoo.***(ak27)



Mardianto Manan
Ketua Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik UIR


http://ak27protect.blogspot.com

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN