Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Minggu, 12 Januari 2014

Kunang-kunang Itu Aku

Minggu, Januari 12, 2014 By Unknown No comments

CERPEN | Dessy Wahyuni


[ArtikelKeren] CERPEN - Menjadi kunang-kunang bukan pilihan yang gampang. Aku harus rela bergumul dengan kelam sepanjang malam. Tak kenal petang, apalagi siang. Aku siap menghadang ribuan jahanam di gulita yang menghujam.

Bunyi tapak kaki saling buru dan melaju terdengar riuh mendudu. Gerombolan suku itu terdengar semakin mendekat. Aku hanya bisa mengintip dari balik jendela yang berlubang. Jerambah papan mengeluarkan suara yang bersahutan. Diiringi pekik sorak mereka, laki-laki maupun perempuan, bahkan anak-anak. Tiap sepertiga malam menjelang, gerombolan itu terdengar menyusuri kampung menuju pantai.

Setelah suara-suara riuh itu menjauh, aku menangkap suara senandung yang tidak bisa dikatakan merdu. Penasaran. Kusipitkan kedua mata, agar bisa melihat sumber suara dengan lebih jelas. Orang seperti bayang terlihat semakin dekat. Suaranya pun semakin jelas. Arah pandangku mengikuti langkahnya, menjauh. Menuju pantai, seolah membututi rombongan. Telah menjadi kegiatan rutinku tiap malam mengintip gerombolan itu, setelah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman.

Malam itu, lagi-lagi aku terjaga. Namun, aku tidak mendengar senandungnya. Ada apa gerangan?

***

Namaku Sahira. Aku dilahirkan di desa ini, Desa Sungai Laut, sebuah desa yang terletak di ceruk sungai di Riau. Desaku ini sangat unik. Mayoritas penduduknya adalah orang Suku Bugis dan Duanu. Selain berdiam suku-suku tersebut, di sini juga terdapat suku lainnya, yaitu Cina, Melayu, Banjar, Minangkabau, dan Jawa. Secara umum, rumah-rumah di kampungku ini merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu dan berderet rapi bersama rumah-rumah lainnya. Pemukiman kami tidak memiliki halaman.

Yang ada hanyalah jerambah papan yang sambung-menyambung. Jerambah itu pun kemudian disambung ke pelantar yang menjadi jalan utama perkampungan. Bagian bawah rumah dan juga pelantar hanyalah daratan berlumpur yang terhampar. Hamparan itu akan segera berubah menjadi lautan saat pasang naik.

Ayah bersuku Bugis, sedangkan ibu keturunan Melayu. Di kampungku, warga Bugis sering bentrok dengan orang Duanu. Apapun bisa dijadikan pemicu, baik persoalan kecil, apalagi persoalan besar. Tak jarang terjadi pertumpahan darah, hingga memakan korban. Polisi pun selalu berjaga, apalagi jika ada acara orgen tunggal, yang akhirnya ditutup dengan mabuk-mabukan dan tawuran.

Kampung yang berpenghuni tidak lebih dari 4.000 jiwa ini sebenarnya adalah kampung yang menyenangkan. Ikan-ikan segar dan binatang laut lainnya dengan mudah diperoleh, karena sebagian besar penduduk adalah nelayan. Meskipun kendaraan utama di sini adalah pompong, sejenis perahu kecil bermesin tempel, kami tidak merasa kesulitan. Namun, untuk mendapatkan pendidikan, kami memang harus keluar dari kampung, sebab di sini hanya ada satu bangunan sekolah, yaitu sekolah dasar.

"Kau harus menjadi anak perempuan yang baik-baik,’’ pesan ibu saat aku hendak berangkat ke ibukota provinsi untuk melanjutkan sekolah. ‘’Jangan pernah kecewakan Ayah dan Ibu.’’

"Iya, Bu,’’ jawabku sambil mencium tangan dan kedua pipinya. Ayah sudah menungguku di pompong.

Aku melompat ke dalamnya. Cipratan air memercik ke kaki celana jinku. Ayah akan megantarkan aku ke Kuala Enok. Nanti dari sana aku akan menumpang pompong yang lebih besar untuk sampai ke Tembilahan, ibu kota Kabupaten Indragiri Hilir. Kemudian aku akan menaiki mobil carteran agar bisa sampai ke Pekanbaru.

"Jangan kau pacar-pacaran di sana,’’ ucap ayah mengagetkanku. Tebersit ketakutan seorang ayah melepas anak gadisnya.

"Taklah Ayah, aku kan nak kuliah,’’ aku menjawab sambil menyaksikan buih-buih air di bibir perahu, akibat lajunya perahu motor yang dikendalikan ayah.

Meskipun perahu yang kami tumpangi tidak terlalu limbung diayun ombak, sebab ayah memang mahir mengendalikan perahu dan cuaca juga mendukung, perasaanku tetap risau meninggalkan kampung halaman. Memang, sejak ayah menjadi kepala desaorang-orang memanggilnya Pak Walipertengkaran antarsuku mulai menghilang. Ayah, lelaki hebat yang pernah kutemui, kerap mendatangi rumah-rumah yang didiami Suku Duanu, sekadar ngobrol mencairkan suasana. Namun, entah kerisauan apa yang menelusup di dalam kalbuku.

***

Sudah tiga hari ini aku tak mendengar senandung itu. Ke mana ia? Apakah ia sedang tidak ingin bersenandung, atau memang tidak ikut dalam rombongan?

Hari keempat kini. Aku sengaja menanti datangnya sepertiga malam. Dari kejauhan telah terdengar keriuhan yang makin mendekat. Aku mengintip tanpa berkedip. Tak ingin kulewatkan sedikit pun peluang mencari bayang. Hingga derap kaki terakhir, tak juga aku menemukannya.

"Aku yakin betul si Dahlan yang mengambilnya,’’ ujar lelaki berbadan coklat yang bertelanjang dada kepada teman bicaranya dengan berapi-api.

"Jangan kau sembarang tuduh, Din.’’ Lelaki berbaju biru dekil berusaha menenangkannya.

"Aku bukan menuduh. Aku melihat si Dahlan melintas sore itu di depan rumah Hasan. Si Hasan pasti diracun die.’’

"Eits, macam mane die nak meracun? Hasan tu taat orangnye. Siape yang tega berbuat jahat kat die? Bisa saje kan si Dahlan tu cuma lewat.’’

"Aku yakin sangat, dia dah curi kerang-kerang si Hasan dan meracun ikan-ikan yang nak disantap Hasan.’’

Aku mendengar percakapan dua lelaki itu di pelantaran rumah orang Duanu saat hendak membeli kerang sore itu untuk makan malam kami nanti.

Orang Duanu -nama lain orang Suku Laut di Riau- adalah nelayan sejati. Suku ini termasuk dalam salah satu komunitas adat terpencil di Riau. Laut adalah eksistensi mereka. Mereka mengandalkan laut sebagai mata pencaharian. Dahulu, mereka tinggal di atas rumah perahu dan hidup berpindah-pindah, tetapi tetap di laut.

Sore hari, saat mereka pulang melaut, pelantaran di sepanjang pemukiman orang Duanu seperti pasar. Beraneka ikan dan binatang laut terlihat segar dan banyak yang masih hidup. Warga Desa Sungai Laut lainnya pun berkeliaran di sepanjang pelantaran mencari ikan, kerang, ataupun udang untuk santapan makan malam mereka, sebelum hasil tangkapan para Duanu itu diambil tukang tampung untuk kemudian dipasarkan sampai ke ibukota kabupaten, bahkan ke ibukota provinsi. Selain segar, hasil laut tersebut juga dijual dengan harga yang sangat murah.

Aku memutuskan membeli sekilo kerang dan beberapa ekor udang nenekjenis udang berwarna putih dan siap diekspor dengan harga yang tinggi. Sudah terbayang sup kerang yang lezat dan udang goreng masakan ibu. Apalagi dimakan dengan sambal belacan. Air liurku menetes sudah.

"Ayah, tadi aku mendengar Bang Pudin dan kawannya menyebut Hasan diracun dan kerangnya dicuri. Apa benar itu, Yah? Diracun bagaimana?’’ Terlintas peristiwa sore tadi olehku saat makan malam bersama ayah dan ibu.

‘’Begitulah. Sekarang Hasan sedang terbaring. Sepertinya memang keracunan. Dan dua karung kerangnya raib.’’ Sambil mengelap keringat ayah menjawab pertanyaanku.

"Siapa Hasan itu, Yah? Lalu, mereka juga menyebut kalau Dahlan yang menjadi biangnya. Apakah Dahlan yang dimaksud adalah anak sulung Pak Andi Zen?’’

"Hei, jangan sembarang tuduh kau, Nak. Itu belum terbukti.’’

"Ya, aku kan cuma mendengar. Lalu, Hasan siapa, Yah?’’

"Hasan itu cucu mendiang Nek Suni, warga Duanu. Kalau Ayah menilai, dia adalah lelaki yang rajin. Hasil tangkapannya pun selalu paling banyak. Jadi, banyak yang iri padanya. Padahal dia pendiam dan tidak banyak cerita. Habis ni Ayah nak tengok die, kau ikut?’’

"Nek Suni yang pandai berdenden itu? Dia sudah meninggal? Ya, aku ikut, Yah.’’

Aku dan ayah menyusuri pelantaran dengan berbekal sebuah senter agar tidak terperosok ke dalam jalan yang berlubang. Jarak rumah kami tidak jauh, hanya sekitar 300 meter. Saat ayah masuk ke rumah Hasan yang kecil, aku hanya mengintip dari jerambah, mendongakkan kepala melihat ia yang berusaha duduk.

Deg. Dadaku bergetar seketika. Sosok itu, sosok bayang yang kucari beberapa hari ini. Sosok yang kerap mengeluarkan senandung dini hari.

***

Entah mengapa, aku selalu gelisah dan jantungku berdegup kencang tiap kali aku mengingatnya. Ya, sosok bayang itu. Ternyata dia diracun seseorang, makanya aku tidak mendengar senandungnya sudah beberapa hari ini.

Tiap sore aku menawarkan kepada ibu untuk membeli ikan, udang, atau kerang untuk santapan malam. Dan selalu kusempatkan menjengukkan kepala ke arah rumah lelaki itu. Dan lagi-lagi, darahku seolah mengalir dengan cepat dan dadaku naik turun dengan napas yang tersengal. Apalagi kalau tatap kami bersirobok. Wajahku terasa memanas. Sore ini kulihat dia sedang duduk di jerambah dan menyandar di dinding rumahnya. Aku cepat-cepat berlalu. Malu.

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di belakangku. Aku melihat Dahlan dikeroyok di depan rumah Hasan. Terkejut. Aku pun berteriak. Kulihat ayah bergegas ke sana. Panik. Suasana sore itu mendadak mencekam. Ibu-ibu membawa anak-anaknya masuk rumah. Sepi seketika.

Dari jauh kulihat seseorang berlari kencang. Tak jelas wajahnya. Yang terlihat jelas kilauan mata pisau yang diacungkannya. Mengilat. Orang itu berlari ke arah kerumunan. Hendak menghunuskan pisaunya. Mataku berusaha mencari ujung pisau dan menarik pandangan sejajar dengan mata pisau itu. Glek. Hasan. Degup tak karuan menghantamku. Tiba-tiba ayah berada di tengah, antara pisau dan Hasan. Tak karuan rasanya. Bungkusan ikan sembilang di tangan kubuang begitu saja.

Bagai kilat petir, seketika itu aku berada di antara orang-orang. Sakit, sesuatu yang dingin dan pipih menancapku. Perih, tapi aku tak sempat mengaduh. Ngilu, seluruh tulang dan ototku mendadak kaku. Panas, tanganku serasa menggenggam bola api. Basah, entah apa yang mengaliri kulit tubuhku. Merah. Gelap!

***

Mendekam beberapa waktu pada liang di dalam tanah, tiba-tiba saja mulutku mengeluarkan lendir lengket yang menempel di dinding liang. Kulitku mengelupas. Merasa seperti kepompong, aku yang semula berwarna kuning pucat perlahan menjadi gelap.

Hanya berselang beberapa hari, sepasang sayap seolah tumbuh di belakang tubuh. Kucoba rentangkan agar mengembang, dan terasa begitu nyata. Sepasang sayap yang lembab. Kukepakkan perlahan dan membiarkan terkembang. Mengering dan terasa ringan. Kini, kedua sayap benar-benar mengeras dan membentuk elitera, perisai yang melindungi kedua sayap belakang yang lunak. Cahaya berkelip menyembul dari balik perut. Seperti kunang-kunang.

Senja yang muram mulai mengelam. Namun mataku semakin nyalang. Aku mendongak ke luar liang. Mencari sesosok bayang. Mungkinkah?

Kukepakkan sayap yang terbentang. Tubuhku mendadak ringan. Aku terbang. Ya, aku terbang. Melayang.

Segera kucari sosok bayang itu. Celingak-celinguk. Dari jauh kulihat sekelompok gerombolan. Hatiku bersorak. Aku terbang mendekat. Kususuri mereka dari depan, satu persatu. Gelisah mulai melandaku. Tak kutemukan kamu. Dan tiba-tiba terdengar suara senandung. Aku terlonjak. Lentera di perutku pun ikut berpijar sangat terang. Kuikuti bayangmu. Bahagia mengerubungiku. Tak pernah terbayangkan aku bisa sedekat ini menciumi aromamu.

Rombongan menuju pantai. Air laut yang surut memperlihatkan padang lumpur yang sangat luas.

"Hei, Hasan. Cepatlah kau keluarkan tongkah kau, tu. Di sebelah sana terlihat cahaya yang memancar,’’ seseorang berteriak ke arahmu.

Kau mengeluarkan sebilah papan yang panjangnya sekitar 2 meter. Kuamati dengan seksama. Di kedua ujung papan yang berbentuk lancip melentik ke atas. Kaki kirimu kau lipatkan di atas papan yang disebut tongkah itu. Kaki kananmu mencecah ke pantai yang berlumpur. Lalu kau mengayuh kaki kananmu agar papan itu terdorong, dengan lutut kiri menumpu di papan. Kau bergerak dengan cepat dan lincah, menari-nari di atas hamparan lumpur. Aku terkesima. Tak pernah kubayangkan kau selincah ini. Degup jantungku semakin kencang. Aku bersorak, memancarkan cahaya terang berkali-kali.

Kau semakin menjadi-jadi, seolah ingin pamer di hadapanku. Kau jelajahi hamparan lumpur dengan tangan yang sigap, meraba-raba dan memungut kerang dari dalam lumpur. Di atas lumpur, kerang-kerang akan memancarkan sinarnya saat diterpa cahaya lampu. Ini bukan akrobat di pertunjukan sirkus yang sering aku lihat di televisi ataupun di ibukota provinsi.

Tiba-tiba soraiku terhenti. Aku teringat ayah. Ayah pernah mengatakan bahwa menongkah adalah keahlian suku ini. Konon katanya, tidak ada warga Duanu yang tidak bisa menongkah. Ya, hampir semua orang Duanu di sini, laki-laki atau perempuan, bahkan anak-anak, sejak pukul satu dini hari sudah pergi menongkah kerang ke hamparan pantai yang berlumpur. Mereka berangkat tengah malam, untuk mengejar air surut saat subuh. Tengah hari baru mereka pulang. Yang tinggal di perkampungan hanya anak-anak, yang tak bisa melaut dan beberapa orang tua yang tidak bekerja menongkah.

Ayah, ibu, aku rindu. Adakah kalian juga rindu? Tak terasa, air mataku menetes. Kini aku tersadai di bibir pantai, melamun rindu yang kian menderu. Aku merasa sepi sendiri.

Menjadi kunang-kunang bukan pilihan yang gampang. Aku harus rela bergumul dengan kelam sepanjang malam. Tak kenal petang, apalagi siang. Aku siap menghadang ribuan jahanam di gulita yang menghujam.

Hei, sosok bayang. Akankah kau menemaniku?

Adakah kau mendengarkan aku yang tengah menyaksikanmu? Aku tahu kau tidak bisa mendengarkan aku, kau juga mungkin tidak menyadari kehadiranku. Tetapi, aku ingin kau tahu bahwa aku sedang melihatmu, menyaksikanmu, menghirup aromamu.

Apakah kau sadari kegelisahanku? Kegelisahan menanti malam-malam hadirmu bersama nandung yang kau bunyikan. Tahukah kau mengapa aku memilih menjadi kunang-kunang? Semua hanya agar kau terkenang.

***

Jangan salah. Kau pikir tak ada yang resah?

Aku sendiri dalam sunyi, sama sepertimu. Bedanya, aku di dalam rumah papan, kau di liang. Sejak kepergian nenek Suni, aku sebatang kara. Aku pun putus asa.

Kau ingat Dahlan? Dia tidak salah. Rinduku yang membeku pada nenekku tercinta, membuatku kalut. Dia membesarkan aku dengan susah payah dan memberikan seluruh hidup dan cintanya untukku. Tiap malam dia berdenden agar aku merasa nyaman, meskipun tanpa ayah, tanpa ibu. Kerang-kerang itu kubuang ke laut saat hendak mendarat. Sesendok racun tikus kububuhkan di atas ikan yang kumakan. Aku putus asa.

Tapi saat Pak Wali datang berkunjung, hatiku bergetar. Ada bayang berkelebat bagai malaikat yang mengikutinya. Sejak itu, aku mulai bersemangat. Kuramu semua obat, agar aku kembali kuat. Tiap sore aku duduk di jerambah, menanti kehadiran sang malaikat. Tiap kali ia lewat, jantungku berdetak hebat. Adakah kau sadari itu?

Akan tetapi, belum sempat aku bertanya apakah dia memiliki rasa yang sama, apakah dia juga cinta aku, dia harus menjemput maut, menyelamatkan aku.

Tahukah kau aku mendadak gila sejak saat itu? Sadarkah kau malaikat itu kau? Kenapa Pak Wali tak membiarkan pisau itu menghunusku? Kenapa pula kau menghadang? Aku bagai karang yang membeku, tak luruh dihantam ombak yang menderu. Satu dasawarsa aku diam dalam hening. Aku kusam dan dekil. Rambutku memanjang di sekujur tubuh. Kubiarkan tengik membungkus cekingku yang selalu gigil. Sampai suatu ketika angin memberi kabar akan kerang yang rindu pada tuan. Kususuri pantai yang berlumpur. Ada sinar berkelip dan berkedip-kedip. Aku menghampiri.

"Bangunlah dari tidur panjangmu,’’ bisiknya.

"Untuk apa?’’ aku mendadak gerah.

"Ada liang berisi kepompong, siap menjadi kunang-kunang.’’

"Aku tak mengerti!’’

"Bangun. Sambutlah kunang-kunang itu. Dia malaikatmu,’’ tiba-tiba aku jengah.

Kucoba memanusiakan diriku yang selama ini larut dalam selam yang karam. Malam itu, ya malam itu, aku kembali bersenandung, mengharap hadirmu menggulung segala rindu.Aku tak ingin lagi hanyut dalam resah yang gelisah menghapus lelah. ***(ak27)

Dalam mengenang kunang- kunang.
Pekanbaru, November 2013



Dessy Wahyuni

http://ak27protect.blogspot.com

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN