Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Senin, 04 November 2013

Merajut Persatuan yang Terkoyak

Senin, November 04, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Syamsul Nizar


Syamsul Nizar
[ArtikelKeren] OPINI - Cikal bakal persatuan Indonesia diawali di tahun 1908 dengan lahirnya Boedi Oetomo. Lebih kurang 20 tahun kemudian, persatuan bangsa Indonesia mendapatkan momentum dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928 yang mengakomodir seluruh rakyat. Seluruh elemen mampu disatukan.

Mulai Yong Sumatera, Yong Java, Yong Slebes, Yong Ambon, Islamited Bond dan sebagainya. Mereka bersatu dalam tekad untuk merdeka.

Hasilnya, setelah lebih kurang 17 tahun, mereka memetik buah kemerdekaan di tahun 1945. Bahkan, seluruh raja yang berkuasa pada saat itu secara ikhlas menyerahkan kekuasaannya bagi terbangunnya Indonesia Raya nan berdaulat.

Tidak ada yang berpikir ego sentris saat itu. Yang ada adalah kepedulian bersama dalam kedaulatan yang sesungguhnya.

Namun, setelah 68 tahun kemerdekaan diraih, persatuan yang diajarkan oleh leluhur bangsa serasa gersang dan tersendat. Persatuan serasa terkoyak oleh kepentingan politik, kedaerahan dan pemahaman konsep otonomi daerah yang salah.

Tatkala Sumpah Pemuda mampu menyatukan berbagai organisasi demi tujuan yang sama untuk menyingkirkan penjajah di muka bumi Indonesia, namun pasca kemerdekaan, terutama pasca reformasi, berbagai wadah politik justeru tak mampu menyelamatkan persatuan nusantara.

Mungkin kita telah mampu merdeka secara geografis, namun masih terjajah secara geo politik, geo ekonomi dan geo budaya.

Wacana kedaerahan semakin kental dalam memperkuat basis kekuasaan. Akibatnya muncul “penjajah” lokal atas personal wilayah lokal lainnya.

Suksesi hanya sebatas lisptik yang diperhalus, namun berada dalam skenario konstan yang harus terlaksana. Profesionalitas intelektual dianaktirikan, sedangkan kedaerahan dan kepentingan di anak kandungkan.

Akibatnya, muncul “kebencian” yang menjadi pemicu lahirnya perpecahan dan mencederai kesatuan anak bangsa sekaligus menjadi bom waktu kehancuran.

Melihat kondisi di atas, andai para the founding father negeri ini masih hidup, maka mereka akan menangis dalam sebuah kegetiran pilu tiada tara atas perilaku generasi yang telah diamanahkan untuk membangun negeri justru menghancurkan negeri dengan memporakporandakan persatuan demi kepentingan kelompok dan kedaerahan yang semu.

Sudah saatnya pemimpin negeri ini menyambut estafet pemersatu para pendahulu. Kehadiran mereka bukan dalam wajah kelompok dan kedaerahan. Kehadiran mereka adalah miliki semua golongan dan daerah.

Pertarungan yang menyebabkan perpecahan dan koyaknya persatuan tak pernah menguntungkan kedua belah pihak. Yang memetik keuntungan justeru orang ketiga yang “mengail” di air yang keruh.

Sudah begitu banyak contoh dan tamsil muncul kepermukaan untuk menjadi pelajaran bagi semua pihak. Sebab, keberhasilan dan tujuan hidup hanya bisa dicapai tatkala seluruh elemen bersatu dalam kebersamaan dan bersama dalam persatuan.

Tatkala kesadaran yang diharapkan tak pernah muncul kepermukaan, maka generasi yang akan datang akan mengenangnya sebagai sejarah kelam nan penuh hujatan.

Sudah tidak zamannya lagi pemimpin saat ini yang berwawasan lokal yang hanya mengedepankan primordial. Cepat atau lambat, pemimpin yang berwawasan lokal dan primordial akan tergeser seiring dengan semakin cerdasnya masyarakat.

Untuk itu, sudah masanya kita mengidamkan sosok pemimpin yang mampu menyatukan perbedaan dalam sebuah kebersamaan yang harmonis.

Hanya dengan sosok pemimpin seperti ini kita bisa menegakkan kepala sebagai bangsa yang berbudaya dan sekaligus membuat para pendiri negeri ini tersenyum bangga. Sebab, tetesan air mata, keringat, dan bahkan darahnya tak sia-sia dalam membangun negeri tercinta.

Di manakah posisi kita, apakah sebagai generasi yang dapat dibanggakan oleh generasi dulu dan dapat diteladani oleh generasi yang akan datang.

Atau mungkin menjadi tangisan pilu bagi generasi dulu dan menjadi jeritan derita bagi generasi yang akan datang. Semua pilihan selalu ada, namun hanya segelintir mereka yang benar-benar berpikir mampu merealisasikan dalam sebuah bingkai kebahagiaan.***



Syamsul Nizar
Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN Suska Riau


Sumber : riaupos.co

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN