Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Sabtu, 02 November 2013

Mengapa Buruh (Harus) Mogok?

Sabtu, November 02, 2013 By Unknown

Oleh : Nining Elitos


[ArtikelKeren] OPINI - Banyak pihak menyoal pemogokan nasional yang dilakukan buruh pada akhir Oktober dan awal November ini. Pemogokan dianggap menghasilkan efek destruktif terhadap perekonomian negara.

Kerugian langsung akibat berhenti beroperasinya pabrik-pabrik sudah pasti sangat besar. Nilainya mencapai belasan hingga puluhan triliun rupiah dalam sehari saja.

Kerugian tak langsung manifes dalam bentuk penalty atas keterlambatan pengiriman pesanan ke konsumen sesuai kontrak. Lebih jauh, kegagalan memenuhi target berimbas pada penurunan tingkat kepercayaan (trust) konsumen.

Hal ini, menurut pengusaha, justru lebih diwaspadai ketimbang kerugian langsung yang ditimbulkan oleh aksi pemogokan.

Diwacanakan, aksi mogok membuat para investor asing merasa tidak nyaman dan lalu memicu mereka hengkang ramai-ramai.

Selain itu, pemogokan tak hanya merugikan pengusaha, tapi juga pemerintah dan bahkan buruh sendiri. Kerugian buruh potensial pada kemungkinan perusahaan benar-benar berhenti beroperasi atau direlokasi, sehingga buruh bisa kehilangan pekerjaan.

Bagi pemerintah, pemogokan menyebabkan stabilitas nasional dalam ancaman yang berisiko membuat investor asing trauma.

Diusulkan, daripada mogok yang bikin rugi, mengapa buruh dan pengusaha tidak duduk satu meja saja untuk membahas masalah mereka dan berusaha menyelesaikannya dalam cara lebih beradab. Bukankah buruh dan pengusaha sudah memiliki forum resmi untuk melakukan itu?

Membuka Dialog
Penyelesaian perselisihan melalu jalan dialog terdengar indah memang. Buruh tak perlu mogok, pengusaha tak sampai rugi, pemerintah pun happy.

Dalam kenyataannya, buruh sulit percaya bahwa dialog mampu menerbitkan solusi yang menguntungkan kepentingannya.

Persoalannya bukan pada dialog atau duduk satu meja itu, tapi untuk sampai pada perundingannya saja bagi buruh bukan hal sederhana.

Buruh dan serikat buruh kenyang pengalaman yang menyakitkan saat berunding dengan pengusaha atau yang mewakilinya. Rintangan bisa sekadar pengusaha sibuk sehingga tak punya waktu bertemu, atau memang ada faktor kesengajaan demi mengelak terjadinya perundingan.

Dalam berbagai kasus perburuhan, pengusaha kerap mengambil langkah kaku, tak menerima negosiasi, menutup perundingan.

Buruh kemudian berusaha melibatkan mediator, yakni Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), namun keterlibatan Disnaker sekalipun tak menjamin pengusaha bersedia duduk melingkari meja yang sama.

Adalah naif membayangkan persoalan perburuhan, termasuk penentuan upah, dapat diselesaikan melalui komunikasi yang baik antara buruh-pengusaha. Penulis yakin buruh dimanapun akan selalu terbuka untuk berkomunikasi dan berdialog, persoalan utamanya di pihak pengusaha, dan dalam beberapa hal, juga di pemerintah.

Demonstrasi atau pemogokan sekalipun, justru merupakan upaya buruh untuk membuka dialog dan perundingan yang sulit dibuka menurut cara-cara biasa.

Lebih dari itu, lantaran mogok, posisi buruh-pengusaha dapat lebih setara, situasi mustahil pada dialog yang konvensional.

Melalui pemogokan, aspirasi buruh ditulis di media, disiarkan televisi, dan kemudian dibicarakan oleh banyak pihak. Pengusaha melalui asosiasinya lantas memberi tanggapan.

Pemerintah mau tidak mau juga menyampaikan respon. Soal hasil bisa dipinggirkan lebih dulu, yang penting masalah kaum buruh mulai dikenali, diketahui, dibicarakan oleh publik lebih luas.

Buruh memang memiliki perwakilan dalam Dewan Pengupahan tingkat kota/kabupaten hingga nasional (yang berwenang menetapkan kebutuhan hidup layak sebagai dasar penetapan upah minimum oleh gubernur).

Problemnya, pertama, suara buruh dalam Dewan Pengupahan berhadapan suara wakil pengusaha, plus wakil pemerintah. Bukan rahasia lagi jika ada semacam koalisi tidak resmi antara pengusaha-pemerintah dalam urusan semacam ini. Divoting dengan metode apapun, suara buruh sudah kalah sejak awal.

Kedua, wakil buruh yang duduk dalam lembaga itu tidak serta-merta mewakili kepentingan buruh. Mereka tidak dipilih buruh secara langsung, tapi oleh mekanisme tertentu yang memberi kuasa pada pemerintah untuk memilihnya.

Wakil buruh ini berasal dari serikat buruh yang lolos verifikasi jumlah keanggotaan. Mudah ditebak, wakil buruh ini umumnya dari serikat-serikat tradisional dan konservatif.

Pengurus-pengurus serikat ini kebanyakan bukan buruh lagi atau buruh nonjob yang tetap digaji. Mereka biasanya memiliki kedekatan khusus dengan para pengusaha.

Perkembangan terakhir, komposisi Dewan Pengupahan di sejumlah kota/kabupaten dan provinsi mulai mengakomodir perwakilan dari serikat-serikat buruh kritis.

Namun keberadaan mereka belum cukup dan masih terlalu riskan untuk diandalkan sepenuhnya dalam forum yang sedari awal sudah berat sebelah ke kepentingan pengusaha. Jalan satu-satunya untuk mempengaruhi penetapan upah dilakukan serikat-serikat buruh melalui aksi-aksi jalanan, atau fenomena dua tahun terakhir ini, pemogokan nasional.

Kalkulasi Ulang
Pemogokan pada akhirnya memaksa seluruh pihak untuk mengkalkulasi ulang berapa upah yang pantas diterima buruh. Tanpa protes, pemerintah dan pengusaha akan leluasa menentukan upah minimum menurut kehendaknya, mungkin tetap ada kenaikan tapi nilainya minimal.

Ketika buruh protes, pengusaha mau tak mau melakukan penyesuaian. Semakin keras protes itu dilakukan seperti mogok, pemerintah dan pengusaha kembali berhitung ulang.

Pengusaha tidak setuju usulan kenaikan upah buruh, sebaliknya buruh pun menolak upah versi pengusaha. Setidaknya, akan ada jalan tengah yang diterima kedua belah pihak.

Bicara risiko, semua keputusan mengandung risikonya masing-masing. Upah tinggi dibilang mengancam keuntungan pengusaha sehingga mendorong perusahaan gulung tikar, melakukan efisiensi atau relokasi pabrik ke luar negeri. Upah tinggi pun dianggap menghalang-halangi investasi asing.

Positifnya, daya beli buruh meningkat tajam. Mereka akan berbelanja lebih banyak barang, sehingga produk-produk di pasaran semakin laku terjual. Mulai dari gorengan sampai barang-barang elektronik nan mahal dikonsumsi buruh, yang pada gilirannya menggerakan ekonomi level lokal hingga nasional.

Sementara itu, kebijakan upah murah juga ada risikonya. Puluhan juta buruh terancam miskin seumur-umur. Mereka berpenghasilan hanya sekadar mampu bertahan hidup.

Tak ada namanya kehidupan berkualitas bagi buruh. Segala keperluan dipenuhi alakadarnya, termasuk pendidikan dan asupan gizi anak keturunannya. Upah murah memicu apa yang disebut “generasi yang hilang” (lost generation).***



Nining Elitos
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia


Sumber : riaupos.co

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN