Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Selasa, 05 November 2013

Hijrah sebagaimana Hijrah Nabi

Selasa, November 05, 2013 By Unknown No comments

H. Darisman Ahmad


[ArtikelKeren] OPINI - "Putaran zaman itu menakjubkan, sekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan." (Imam Syafii)

Peringatan Tahun baru 1435 Hijriah yang jatuh pada hari ini, 5 November 2013 agaknya seperti biasa, yakni relatif sepi dalam keramaian. Termasuk refleksi terhadapnya.

Padahal di balik peringatan tahun baru ada peristiwa besar yakni hijrahnya Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya. Sebuah langkah penting yang membangun konstruksi bangunan peradaban. Bukan komunal muslim saja tapi dunia.

Miskinnya diskursus yang berupaya mengkristalisasi nilai-nilai di balik peristiwa hijrah antitesis dengan keperluan bangsa kita menghadapi realitas kekinian.

Di tengah upaya mencari jati diri, semestinya pengayaan dari unsur sejarah terbesar dalam kehidupan manusia dapat dijadikan model ideal. Karena hijrah punya makna dalam eksplorasi nilai keimanan. Bukan dogma dan aplikasi parsial. Ujungnya memerangkap kita pada kekeliruan berpikir, yang menganggap bahwa ini punya ruang berbeda dengan realitas kehidupan.

Dua Maksud

Peristiwa hijrah secara etimologis dapat ditilik secara Makaniyah (tempat) dan Ma’nawiyah (makna). Secara makaniyah kita mengetahui hijrah sebagai bentuk perpindahan secara fisik dari satu tempat ke tempat lain.

Dari segi sejarah, hijrah makaniyah mengacu dari peristiwa perpindahan Rasul dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah. Kebanyakan ayat Alquran tentang hijrah Makaniyah. Di antaranya An-Nisa ayat 100:

“Dan siapa yang berhijrah di jalan Allah (untuk membela dan menegakkan Islam), niscaya ia akan dapati di muka bumi ini tempat berhijrah yang banyak dan rezki yang makmur. Dan siapa yang keluar dari rumahnya dengan tujuan berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia mati (dalam perjalanan), maka sesungguhnya telah tetap pahala hijrahnya di sisi Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.”

Selanjutnya mengupas secara Ma’nawiyah. Beberapa ayat di antaranya surat Al-Ankabut ayat 26: “Dan berkatalah Ibrahim: Sesungguhnya aku senantiasa berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”, juga Al-Muddatsir ayat 5 “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah.”

Pesan universal dari ayat-ayat tersebut bahwa sesuatu dikatakan telah berhijrah bila meninggalkan hal buruk di belakang.

Konkritnya berupa hijrah dari kesyirikan menuju tauhid, yang secara sederhana dipahami pengharapan secara total segala sesuatu kepada Allah SWT bukan dari manusia; menyukuri nikmat yang diberikan-Nya; berpindah dari kehidupan jahiliyah yang mengubur fitrah ke arah kehidupan Islami; berkomitmen pada nilai kebenaran dengan segala tingkat kemampuan (tangan, lisan dan hati), dan tidak bersebarangan apalagi mendukung aksi kebatilan.

Upaya filosofis mengungkap kata hijrah sebenarnya tak berhenti di situ. Bak kata pepatah, pengetahuan adalah kekuatan.

Mengaitkan kata hijrah dengan dengan peristiwa yang dialami Rasulullah dan para pengikutnya diyakini semakin menambah penting maknanya. Sehingga kita dapat melebur konsepsi dibaliknya dalam kehidupan riil, sebagai prototype yang adaptif lintas zaman.

Mengayomi

Allah SWT yang Maha Sempurna telah merancang setiap detail peristiwa hijrah. Menyiapkan warisan penting kepada kita tentang bagaimana caranya supaya perubahan dapat bekerja dengan baik.

Sedari awal, dilihat dari perubahan pada karakter dakwah Nabi Muhammad SAW dengan mempersiapkan instrumen yang bisa menjaga komitmen keimanan dan menarik dimensi kehidupan kepada cara pandang Islam.

Sebagaimana dipaparkan sejarawan internasional Tamim Ansari pada karya best seller-nya berjudul Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia versi Islam, sebelum Hijrah Nabi Muhammad SAW adalah tipe pendakwah dengan pengikut individual. Setelah hijrah, karakter dakwah beliau beralih kepada kepemimpinan masyarakat.

Mendapatkan sejumlah kesepakatan sosial yang berkekuatan hukum, mempunyai arah politik dan memperkuat bimbingan sosial.

Dalam berbagai perspektif, ada beberapa hal yang membuat langkah tadi sebegitu penting. Pertama, guna mengimplementasikan luasnya cakupan wilayah ibadah dan Islam itu sendiri, seperti yang Allah SWT firmankan dalam Al Imran ayat 208: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sungguh, ia musuh nyata bagimu.”

Kedua, yang tak kalah penting, sebagai bentuk penegasan bahwa seseorang dikatakan baik seutuhnya bila ibadahnya memberi pengaruh besar bagi dimensi di sekelilingnya.

Wujudnya secara internal berupa kolektivitas dalam bingkai persaudaraan atau jamaah, yang memberikan zona nyaman dan sebagai media saling menguatkan dalam beribadah.

Tak cukup internal, secara eksternal konteks persaudaraan juga dibentuk. Mengacu pada kesadaran atas orientasi proyek sosial Islam, demi kebaikan bagi umat manusia secara keseluruhan, Islam berafiliasi sedemikian dalam ke wilayah publik. Semua didasarkan atas kolektivitas bukan hasrat hegemoni. Sebab perubahan melibatkan perbedaan. Dan Islam memberi naungan nyaman bagi berbagai pemeluk kepercayaan.

Kolektivitas

Selain pentingnya membangun sistem, kolektivitas juga kata kunci mewujudkan perubahan. Berangkat dari hal itu, melihat kondisi berbangsa setakad ini kadang frustasi, barangkali disebabkan kita belum paham seutuhnya apa yang dikehendaki dari perubahan.

Terutama menyoal subjek perubahan. Diperparah dengan kecenderungan budaya paroki, membuat beban perubahan terasa sangat tidak adil.

Lihat saja, tak sedikit sejumlah tokoh dan sebuah institusi disanjung-sanjung, yang kadang berlebihan. Sehingga di masyarakat layaknya bisa melakukan apa saja tanpa batas dan kelemahan.

Fenomena ini bak pisau bermata dua, satu sisi potensi kebaikannya bisa jadi trendsetter, di sisi lain bila potensi kebaikannya tak diiringi dukungan sistem maka berujung zalim.

Sekuat apapun manusia, bila tak didukung oleh lingkungan yang kuat potensi kebaikannya perlahan akan berkompromi dengan keadaan. Sebaliknya seorang yang lemah bisa jadi kuat bila didukung lingkungan yang kuat potensi kebaikannya.

Padahal dalam Surat Ar-Ra’du ayat 11 Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah (nasib) suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” Kata ”kaum” jelas menegaskan bahwa perubahan menghendaki kesadaran kolektif. Artinya, setiap kita dituntut menggenggam pecahan dalam kehidupan ini, memberikan sentuhan kebaikan yang sejatinya pasti ada di setiap diri kita. Tak peduli walau itu sekecil apapun.

Semoga melalui momen Tahun Baru Islam kali ini, Allah SWT memberi kita kekuatan untuk melakukannya. Saatnya kontemplasi diri, bertanya apakah kita sudah larut dalam agenda perbaikan diri, masyarakat dan bangsa secara kolektif.

Atau hanya bisa berkeluh kesah meratapi dan mencaci-maki keadaan. Insya Allah dengan ikhtiar tak kenal lelah, sabar dan tawakal, balasan dari Allah SWT akan setimpal.***



H. Darisman Ahmad, MA
Anggota DPRD Provinsi Riau


Sumber : riaupos.co

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN