Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Sabtu, 16 November 2013

Gernas, Solusi Peningkatan Mutu Karet

Sabtu, November 16, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Zulher


[ArtikelKeren] OPINI - Tujuan luhur negara dalam padanan pembangunan menuju bangsa yang berkeadilan dan berkemakmuran, tentu saja adalah kesejahteraan rakyat.

Keluhuran tujuan yang dipolarisasi dengan berbagai macam program pembangunan. Di antaranya dengan membangun perkebunan rakyat yang merupakan mata pencaharian sebagian besar rakyat Indonesia.

Satu di antara komoditas unggulan sektor perkebunan adalah tanaman karet. Dari luasan areal perkebunan karet Indonesia seluas 3,4 juta hektar, seluas 2,9 juta hektare (85 persen) merupakan perkebunan rakyat.

Luasan areal perkebunan karet Indonesia yang mencapai 3,4 juta hektare di tahun 2012, menjadikan Indonesia menempati peringkat pertama untuk areal perkebunan karet di dunia, disusul Thailand seluas 2,6 juta hektare dan Malaysia seluas 1,2 juta hektare.

Namun, meskipun memiliki areal terluas, akan tetapi soal hasil produksi, Indonesia berada di peringkat kedua. Sesuai data yang dipaparkan Direktorat Tanaman Tahunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian dalam Munas dan Rakernas Asosiasi Petani Karet Indonesia (Apkarindo) di Bogor, pada 19-21 Juni 2013 lalu, produksi Indonesia hanya 2,7 juta ton. Sedangkan Thailand berada di peringkat paling atas yakni 3,1 juta ton. Sementara Malaysia produksi karetnya 1,1 juta ton.

Kenapa produksi karet Indonesia rendah, sehingga dinilai tidak seimbang dengan luasan areal perkebunan karet? Banyak faktor penyebab rendahnya produksi karet —terutama di kalangan petani swadaya (perkebunan rakyat).

Tapi faktor utamanya lebih disebabkan karena tingkat penggunaan benih unggul di tingkat petani-pekebun baru mencapai 45 persen. Sementara Thailand untuk penggunaan klon unggulnya sudah mencapai 95 persen.

Faktor lain rendahnya kualitas dan kuantitas produksi karet disebabkan minimnya pemupukan dan pola pemeliharaan yang tidak baik.

Namun, pada realitas kekinian, persoalan mendasar minimnya produksi karet adalah tanaman tua rusak serta tanaman muda —yang meskipun dalam masa produksi tetapi— tidak menghasilkan, adalah lebih dikarenakan penggunaan bibit yang bukan dari klon unggul. Untuk mengatasinya adalah dengan cara peremajaaan perkebunan karet rakyat.

Saat ini, sekitar 400 ribu hektare tanaman karet yang tersebar di banyak daerah di Indonesia, kondisinya sudah tua atau rusak. Tingkat produktivitas tanamannya rendah.

Secara nasional, tanaman tua dan rusak tingkat produksinya hanya 986 Kg per hektare per tahun di tahun 2010, karena sebagian besar tanaman berasal dari benih sapuan, bukan klon unggul.

Di Provinsi Riau, misalnya, dari total luasan areal perkebunan karet seluas 504.139 hektare, tanaman karet dalam kategori tua dan rusak mencapai 90.147 hektare.

Keseluruhannya dimiliki oleh rakyat; para pekebun swadaya. Bukan dimiliki perusahaan swasta dan perusahaan nasional.

Naasnya, sudahlah hasil produksi perkebunan rakyat sangat minim, hanya kisaran 7 Kg-10 Kg per hektare per hari, kualitas produksinya pun sangat rendah. Kualitas karet yang rendah membuat harga jual di tingkat petani pun hanya pada kisaran Rp9.000 per Kg.

Padahal idealnya, perkebunan karet yang baik akan dapat menghasilkan produksi secara kuantitas pada kisaran 40 Kg sampai 50 Kg per hektar per hari. Kualitas karet yang baik di tingkat petani, bisa dihargai pada kisaran harga Rp16.000 hingga Rp23.000 per Kg.

Namun, realitas di lapangan, perkebunan rakyat tidak menghasilkan dengan baik yang dibarengi pula dengan kualitas produksi yang tidak baik.

Bayangkan saja, betapa ‘malangnya’ para petani kita bila terus mempertahankan tanaman tua dan rusak untuk disadap. Penghasilan perkebunan karet tentu tetap saja membuat mereka berpenghasilan di bawah “angka kesejahteraan”.

Sementara untuk peremajaan secara swadaya, para petani karet tidak memiliki kemampuan yang memadai. Kondisi demikian tentu saja sangat memerlukan campur tangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Di lain pihak, pelaksanaan kegiatan peremajaan karet Indonesia dengan sumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2013 untuk perkebunan rakyat di Provinsi Riau, misalnya, hanya seluas 300 hektare.

Untuk dimafhumi, pelaksanaan kegiatan peremajaan karet dengan sumber dana dari APBN untuk 2013 secara nasional hanya untuk luasan 9.653 hektare yang tersebar di 16 provinsi.

Sedangkan untuk pelaksanaan pengembangan di wilayah spesifik, luasannya adalah 1.440 hektare untuk 6 provinsi.

Pada tatanan mewujudkan kesejahteraan rakyat pada bagan pekebun karet, dalam perhitungan saya, hasil perkebunan karet yang baik —dengan catatan dimulai dari penggunaan bibit berkualitas diikuti pemupukan yang tepat dan perawatan yang baik serta cara panen yang benar— akan membuat penghasilan petani-pekebun karet dapat melebihi pendapatan petani-pekebun kelapa sawit— dalam luasan areal yang sama. Apalagi, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit fluktuasinya cenderung mengalami penurunan.

Solusi tepat untuk “membangkitkan” produksi karet Indonesia adalah melalui suatu Gerakan Nasional (Gernas) peremajaan karet.

Pasalnya, bila tetap hanya dengan program peremajaan tahunan, maka untuk peremajaan karet baru dapat diselesaikan selama puluhan tahun.

Untuk Riau saja, misalnya, peremajaan tanaman tidak menghasikan untuk keseluruhannya memerlukan biaya peremajaan sekitar Rp1,7 triliun. Padahal, anggaran daerah (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah: APBD) sangat terbatas.

Keterbatasan yang tentu saja akan menyebabkan takkan selesai-selesainya peremajaan kebun karet rakyat di Riau bila hanya dengan pola program peremajaan tahunan.

Disebabkan untuk menjawab persoalan peremajaan karet sudah terprogram secara nasional, diharapkan melalui Gernas Peremajaan Karet, peremajaan kebun karet rakyat bisa diselesaikan tanpa menunggu waktu harus sampai belasan atau puluhan tahun.

Gernas yang saya maksud adalah gerakan secara menyeluruh dalam menuntaskan peremajaan dalam upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi seluruh areal perkebunan karet rakyat yang tidak berproduksi dengan baik.

Gerakannya dilakukan secara berkesinambungan dalam kurun waktu yang relatif singkat untuk masa peremajaan. Misalnya, dalam kurun waktu tiga tahun, seluruh persoalan tentang tanaman karet tua dan rusak serta tanaman karet yang tidak menghasilkan di Indonesia dapat dituntaskan.

Sehingga, program perwujudan kesejahteraan rakyat —setidaknya bagi petani-pekebun karet— diharapkan dapat dituntaskan.

Bila untuk peremajaan karet hanya berupa program tahunan yang didanai melalui APBD, terang saja, akan memerlukan waktu yang lama. Sekali lagi, itu dikarenakan keterbatasan anggaran.

Lamanya masa peremajaan, menyebabkan tanaman tua dan rusak akan tetap saja bermunculan, karena usia tanaman terus bertambah.

Walhasil, peremajaan pun takkan kunjung selesai. Oleh karenanya, Gernas Peremajaan Karet yang saya maksud adalah melalui suatu gerakan nasional dengan melakukannya secara utuh.

Mulai dari penggunaan bibit yang berkualitas, pupuk, pembinaan kepada petani-pekebun hingga ke pemenuhan infrastruktur. Melalui Gernas secara menyeluruh, yang dibiayai APBN, tentu saja satu persoalan perkebunan, yakni rendahnya produksi karet dapat diatasi.

Dan, hasilnya, insya Allah, lima tahun sejak Gernas karet direalisasikan, petani-pekebun karet di negara ini sudah akan merasakan bagaimana hasil bernilai ekonomis tinggi dari sadapan karetnya.

Tegasnya, gerakan nasional tersebut tidak hanya sebatas kepada pengadaan bibit berkualitas, tapi juga disertai dengan pemberian bantuan pupuk —termasuk pupuk bersubsidi— serta pembinaan manajemen berkebun karet —mulai dari land clearing, pemupukan, perawatan, pola panen dan lain sebagainya— hingga pemenuhan infrastruktur perkebunan.

Dengan kebersamaan dan itikad baik untuk membangun perkebun karet di Indonesia, saya kira, dengan sinergitas antar semua komponen; terutama pemerintah dan masyarakat pekebun karet, maka peremajaan karet akan bisa dituntaskan.

Apatah lagi, perkebunan karet perannya multifungsi; selain sebagai sumber devisa, bahan baku industri dalam negeri dan sebagai sumber pendapatan masyarakat, tanaman karet juga berperan sebagai pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Bila saja, peremajaan karet secara totalitas melalui program Gernas Peremajaan Karet itu dapat dilakukan sejak 2014 mendatang, saya percaya, bahwa pada tahun 2019, kita sudah berbincang mengenai tingginya kualitas dan maksimalnya kuantitas produksi karet di Indonesia.

Bila saja 400 ribu hektare tanaman karet tidak menghasilkan dapat secara serentak diremajakan dalam kurun waktu tiga tahun, misalnya, berapa ratus ribu keluarga dan berapa juta jiwa yang mampu disejahterakan, dengan asumsi per kepala keluarga mempunyai satu hektare kebun karet.***(RP)



Zulher
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau


0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN