Oleh : Wilham Murdianto
[ArtikelKeren] OPINI - Membaca suasana yang berkembang di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelang detik-detik berakhirnya izin eksploitasi dan produksi minyak dan gas bumi (Migas) Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Blok Siak, kemungkinan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Riau Petroleum untuk mendapatkan izin pengelolaan Blok Siak nampaknya masih 50:50, kalau tidak boleh dikatakan peluang kita dibawah lima puluh persen.
Kita tentu sangat mengapresiasi langkah yang diambil oleh Pemerintah Provinsi Riau bersama empat pemerintah kabupaten yang dicakup oleh Blok Siak (Rokan Hulu, Rokan Hilir, Kampar, dan Bengkalis) dengan mendatangi Kementerian ESDM guna meminta pengelolaan Blok Siak diserahkan kepada BUMD milik pemerintah daerah Riau, dalam hal ini Riau Petroleum.
Di samping mengapresiasi, kita sebagai rakyat Riau perlu juga terus menggencarkan upaya untuk membantu perjuangan itu, seperti aksi damai dan upaya-upaya lainnya, yang tetap dalam koridor hukum tentunya.
Setiap kita bisa melakukan upaya untuk membantu perjuangan itu, sesuai kapasitas kita masing-masing.
Perlu diingat, banyak manfaat yang akan didapat oleh rakyat Riau bila pengelolaan Migas dilakukan oleh BUMD. Namun, tentu dengan catatan bila hasilnya nanti diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Riau, bukan hanya untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, seperti yang penulis sebutkan sebelumnya dalam artikel berjudul “Nasionalisasi Migas: Amanat Konstitusi”.
Kemudian yang tak kalah penting, jalur parlemen juga perlu diberdayakan secara maksimal, baik parlemen yang berasal dari representasi partai politik berupa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau, DPRD empat kabupaten tersebut, dan juga anggota DPR-RI dari daerah pemilihan Riau, maupun parlemen yang merupakan representasi kedaerahan berupa Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Seluruh kekuatan mesti disinergikan guna merebut kedaulatan Negeri Lancang Kuning ini di bidang Migas yang notabene Sumber Daya Alam (SDA) kandungan bumi Riau.
Selain segala upaya diatas, kita juga perlu mempersiapkan langkah untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, yaitu bila permintaan Riau tidak dikabulkan.
Sampai saat ini satu-satunya upaya yang saya lihat bisa dilakukan bila hal itu terjadi adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas keputusan Kementerian ESDM itu nanti.
Gugatan ke PTUN tentunya hanya bisa diajukan oleh Riau Petroleum sebagai badan hukum privat, pemerintah daerah sebagai badan hukum publik tidak dimungkinkan oleh undang-undang peradilan tata usaha negara menjadi penggugat terhadap keputusan tata usaha negara. Namun, di belakang itu pemerintah daerah tentu bisa mem-back-up Riau Petroleum.
Landasan untuk mengajukan gugatan akan semakin sangat kuat bila Kementerian ESDM memutuskan pengelolaan Blok Siak tetap dilanjutkan oleh CPI, bukan Pertamina.
Sebab, berdasarkan tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004 dan kembali ditegaskan dalam putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012 menyatakan fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Menurut MK, yang dikehendaki oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha yang dimiliki oleh negara.
Hanya dalam batas-batas negara tidak memiliki kemampuan atau kekurangan kemampuan baik dalam modal, teknologi dan manajemen untuk mengelola SDA, maka pengelolaannya dapat diserahkan kepada pihak swasta.
Pengelolaan secara langsung yang menjadi maksud dari Pasal 33 UUD 1945 dapat pula ditemukan dalam buku Mohammad Hatta yang berjudul “Bung Hatta Menjawab” (halaman 202 hingga 203). Hatta yang notabene arsitek Pasal 33 UUD 19455 mengemukakan: “Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan pemerintah. Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di Tanah Air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh pemerintah Indonesia sendiri.
Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah, harus tetap terpelihara. Bahwa dalam pembangunan negara dan masyarakat bagian pekerja dan kapital nasional makin lama makin besar, bantuan tenaga dan kapital asing, sesudah sampai pada satu tingkat makin lama makin berkurang.”
Dalam pendapat Muhammad Hatta tersebut tersirat bahwa pengelolaan SDA oleh pihak asing hanya dibenarkan bila kondisi negara belum mampu, dan hal tersebut harus bersifat sementara. Idealnya, adalah negara yang sepenuhnya mengelola SDA.
Artinya, dalam konteks Blok Siak, prioritas pengelolaannya dilakukan oleh negara melalui BUMN terkait, dalam hal ini PT Pertamina (Persero) sebagai satu-satunya BUMN yang mengelola sektor Migas di Indonesia.
Jika Pertamina tidak berminat seperti halnya pada Blok Siak, tentu secara otomatis hak prioritas itu akan jatuh pula pada BUMD yang bergerak dalam bidang yang sama, dalam hal ini Riau Petroleum adalah salah satunya.
Andaipun Pertamina berminat, sepatutnya pula Riau melalui BUMD-nya digandeng alias dibawa turut serta dalam pengelolaan Blok Siak, sebagai penghargaan terhadap Riau yang buminya menyumbang 25 persen Migas nasional.
Penolakan atau penghalang-halangan upaya perwujudan kedaulatan negara di sektor energi tersebut, baik oleh perorangan maupun institusi, dapat dipandang sebagai tindakan inkonstitusional dan perbuatan melawan hukum.
Khusus bagi Kementerian ESDM dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)-nya, tidak ada alasan untuk menolak pengelolaan oleh Riau Petroleum, sepanjang BUMD itu telah memenuhi syarat.
Sebagai penutup, mari kita jadikan upaya merebut pengelolaan Blok Siak dan juga Blok Lirik di kabupaten Indragiri Hulu sebagai gerakan bersama dari seluruh elemen rakyat Riau demi marwah (harga diri) dan kesejahteraan rakyat Riau.***(rp/ak27)
Wilham Murdianto
Peneliti Muda di Pusat Studi Konstitusi Indonesia (PSKI) UIR
[ArtikelKeren] OPINI - Membaca suasana yang berkembang di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelang detik-detik berakhirnya izin eksploitasi dan produksi minyak dan gas bumi (Migas) Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Blok Siak, kemungkinan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Riau Petroleum untuk mendapatkan izin pengelolaan Blok Siak nampaknya masih 50:50, kalau tidak boleh dikatakan peluang kita dibawah lima puluh persen.
Kita tentu sangat mengapresiasi langkah yang diambil oleh Pemerintah Provinsi Riau bersama empat pemerintah kabupaten yang dicakup oleh Blok Siak (Rokan Hulu, Rokan Hilir, Kampar, dan Bengkalis) dengan mendatangi Kementerian ESDM guna meminta pengelolaan Blok Siak diserahkan kepada BUMD milik pemerintah daerah Riau, dalam hal ini Riau Petroleum.
Di samping mengapresiasi, kita sebagai rakyat Riau perlu juga terus menggencarkan upaya untuk membantu perjuangan itu, seperti aksi damai dan upaya-upaya lainnya, yang tetap dalam koridor hukum tentunya.
Setiap kita bisa melakukan upaya untuk membantu perjuangan itu, sesuai kapasitas kita masing-masing.
Perlu diingat, banyak manfaat yang akan didapat oleh rakyat Riau bila pengelolaan Migas dilakukan oleh BUMD. Namun, tentu dengan catatan bila hasilnya nanti diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Riau, bukan hanya untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, seperti yang penulis sebutkan sebelumnya dalam artikel berjudul “Nasionalisasi Migas: Amanat Konstitusi”.
Kemudian yang tak kalah penting, jalur parlemen juga perlu diberdayakan secara maksimal, baik parlemen yang berasal dari representasi partai politik berupa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau, DPRD empat kabupaten tersebut, dan juga anggota DPR-RI dari daerah pemilihan Riau, maupun parlemen yang merupakan representasi kedaerahan berupa Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Seluruh kekuatan mesti disinergikan guna merebut kedaulatan Negeri Lancang Kuning ini di bidang Migas yang notabene Sumber Daya Alam (SDA) kandungan bumi Riau.
Selain segala upaya diatas, kita juga perlu mempersiapkan langkah untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, yaitu bila permintaan Riau tidak dikabulkan.
Sampai saat ini satu-satunya upaya yang saya lihat bisa dilakukan bila hal itu terjadi adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas keputusan Kementerian ESDM itu nanti.
Gugatan ke PTUN tentunya hanya bisa diajukan oleh Riau Petroleum sebagai badan hukum privat, pemerintah daerah sebagai badan hukum publik tidak dimungkinkan oleh undang-undang peradilan tata usaha negara menjadi penggugat terhadap keputusan tata usaha negara. Namun, di belakang itu pemerintah daerah tentu bisa mem-back-up Riau Petroleum.
Landasan untuk mengajukan gugatan akan semakin sangat kuat bila Kementerian ESDM memutuskan pengelolaan Blok Siak tetap dilanjutkan oleh CPI, bukan Pertamina.
Sebab, berdasarkan tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004 dan kembali ditegaskan dalam putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012 menyatakan fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Menurut MK, yang dikehendaki oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha yang dimiliki oleh negara.
Hanya dalam batas-batas negara tidak memiliki kemampuan atau kekurangan kemampuan baik dalam modal, teknologi dan manajemen untuk mengelola SDA, maka pengelolaannya dapat diserahkan kepada pihak swasta.
Pengelolaan secara langsung yang menjadi maksud dari Pasal 33 UUD 1945 dapat pula ditemukan dalam buku Mohammad Hatta yang berjudul “Bung Hatta Menjawab” (halaman 202 hingga 203). Hatta yang notabene arsitek Pasal 33 UUD 19455 mengemukakan: “Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan pemerintah. Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di Tanah Air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh pemerintah Indonesia sendiri.
Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah, harus tetap terpelihara. Bahwa dalam pembangunan negara dan masyarakat bagian pekerja dan kapital nasional makin lama makin besar, bantuan tenaga dan kapital asing, sesudah sampai pada satu tingkat makin lama makin berkurang.”
Dalam pendapat Muhammad Hatta tersebut tersirat bahwa pengelolaan SDA oleh pihak asing hanya dibenarkan bila kondisi negara belum mampu, dan hal tersebut harus bersifat sementara. Idealnya, adalah negara yang sepenuhnya mengelola SDA.
Artinya, dalam konteks Blok Siak, prioritas pengelolaannya dilakukan oleh negara melalui BUMN terkait, dalam hal ini PT Pertamina (Persero) sebagai satu-satunya BUMN yang mengelola sektor Migas di Indonesia.
Jika Pertamina tidak berminat seperti halnya pada Blok Siak, tentu secara otomatis hak prioritas itu akan jatuh pula pada BUMD yang bergerak dalam bidang yang sama, dalam hal ini Riau Petroleum adalah salah satunya.
Andaipun Pertamina berminat, sepatutnya pula Riau melalui BUMD-nya digandeng alias dibawa turut serta dalam pengelolaan Blok Siak, sebagai penghargaan terhadap Riau yang buminya menyumbang 25 persen Migas nasional.
Penolakan atau penghalang-halangan upaya perwujudan kedaulatan negara di sektor energi tersebut, baik oleh perorangan maupun institusi, dapat dipandang sebagai tindakan inkonstitusional dan perbuatan melawan hukum.
Khusus bagi Kementerian ESDM dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)-nya, tidak ada alasan untuk menolak pengelolaan oleh Riau Petroleum, sepanjang BUMD itu telah memenuhi syarat.
Sebagai penutup, mari kita jadikan upaya merebut pengelolaan Blok Siak dan juga Blok Lirik di kabupaten Indragiri Hulu sebagai gerakan bersama dari seluruh elemen rakyat Riau demi marwah (harga diri) dan kesejahteraan rakyat Riau.***(rp/ak27)
Wilham Murdianto
Peneliti Muda di Pusat Studi Konstitusi Indonesia (PSKI) UIR
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.