Oleh : Apriyan D Rakhmat
Perkembangan pesat demikian tidak dapat dilepaskan dari peranan swasta di dalam pembangunan kota. Jika suatu kota tidak memberikan ruang yang proporsional bagi swasta, dapat dipastikan perkembangan kota tersebut bergerak perlahan.
Namun, kini yang kian mendapatkan kritikan di dalam perkembangan kota-kota di Tanah Air adalah semakin mendominasinya pihak swasta di dalam pembangunan kota, terutama pemilik modal besar dengan teknologi, manajemen dan jaringan luas.
Bahkan, tidak jarang pihak pemerintah (penguasa) yang sejatinya sebagai wasit (juri) di dalam proses dan pelaksanaan pembangunan, tunduk patuh bahkan diatur oleh pihak swasta.
Atau boleh juga dikatakan pihak swasta dan pemerintah berselingkuh di dalam proses dan pelaksanan pembangunan. Dalam hal ini, kadang-kadang juga tidak jelas, siapa yang memanfaatkan siapa.
Namun, yang jelas ada konspirasi terselubung di antara mereka, yang akibatnya banyak mengabaikan kepentingan rakyat banyak.
Sebagai contoh di Kota Pekanbaru dengan semakin tersingkirnya para pedagang tradisional dan pedagang kaki lima (PKL) di dalam perekonomian.
Peran mereka semakin diambil alih oleh pedagang bermodal besar, toko modern dan ritel modern masa kini. Ironinya lagi, mereka selalu dikejar-kejar, diusir, digusur dan “ditertibkan” karena mengganggu ketertiban, kebersihan dan keamanan kota.
Bahkan tak jarang mereka dicap sebagai parasit kota, yang menggerogoti keindahan dan ketertiban kota. Dimana letak kosa kata “pemberdayaan”, “pembinaan” dan “penataan” para PKL yang begitu indah didengungkan ketika musim kampanye para kepala daerah sebelum terpilih?
Industri makanan tradisional juga semakin tergeser oleh industri makanan modern dengan citarasa global, yang ditunjang oleh pelayanan prima, iklan dan promosi.
Dahulu, jika ada acara-acara mahasiswa di kampus, seminar kecil-kecilan, atau acara-acara semiformal lainnya, maka panitia penyelenggara biasanya memesan kue dan makanan kepada pembuat kue dan panganan skala kecil dan rumah tangga. Namun kini sudah berubah drastis.
Posisinya diambil alih pedagang kue dan makanan modern bermodal besar yang bernama Holland Bakery, Vanhollano dan yang sejenisnya.
Mungkin yang masih tersisa hanya penjual pisang goreng, bakwan, godok ubi, lopek, cendol, lontong dan pecal yang dilakoni masyarakat kecil, yang juga tak menjamin akan dapat terus bertahan menghadapi arus ekonomi global dan kapitalisme.
Ruang terbuka publik untuk rakyat pun banyak juga semakin tergerus.
Untuk Semua
Dalam konteks ini, pemerintah kota berada dalam posisi yang sukar, karena harus dapat memberikan ruang dan tempat kepada seluruh lapisan masyarakat secara proporsional dan berkeadilan, tanpa memandang suku, agama, usia, status sosial, dan keturunan.
Pembangunan harus dapat dinikmati oleh masyarakat ekonomi bawah dan berpenghasilan rendah. Karena, kota didiami tidak hanya oleh golongan kaya dan berpunya.
Dalam hal ini, pemerintah kota semestinya dapat memberikan perlindungan, pengayoman, bantuan, pembinaan dan pemberdayaan kepada kelompok ini.
Mereka inilah pada hakekatnya yang perlu mendapat perhatian utama, karena merupakan kelompok mayoritas dengan segala kekurangan dan kelemahan yang melekat padanya.
Sementara di sisi lainnya, kelompok yang sudah mapan tetap diberikan ruang dan galakan untuk terus meningkatkan usahanya, dengan tanpa mengabaikan apalagi dengan cara menyingkirkan kelompok masyarakat miskin.
Sudah saatnya menghilangkan stigma bahwa para PKL adalah kelompok yang mengganggu ketertiban, keamanan, dan merusak citra kota.
Mereka perlu dirangkul dan diberdayakan sehingga dapat memberikan kontribusi positif di dalam pembangunan kota.
Mereka perlu dibina dan ditata. Jika ada sebagian yang membangkang perlu dicarikan solusi terbaik, dengan tanpa menghilangkan martabat dan harga diri mereka.
Selain itu, kota juga harus ramah dan peduli kepada anak-anak dan orang lanjut usia dengan menyediakan sarana dan prasarana yang bisa untuk membantu mereka menikmati kehidupan kota.
Harus disediakan misalnya tempat duduk khusus untuk lanjut usia (lansia) dan penyandang cacat seperti di bus kota, toilet khusus untuk mereka di tempat-tempat umum.
Begitu juga jalur khusus buat mereka di tempat-tempat umum, seperti; masjid, rumah sakit, sekolah, kampus, perpustakaan, bandara dan yang sejenisnya.
Dengan kata lain, pembangunan kota harus dapat untuk memberikan pelayanan dan akses sarana dan prasarana kepada seluruh warga kota secara berkeadilan, tanpa membedakan suku bangsa, agama, ras, jenis kelamin, usia dan status sosial. Proses dan pembangunan kota yang mempertimbangkan pluralitas warga kota dan solidaritas masyarakat.
Karena pada hakikatnya pembangunan kota adalah dari, oleh dan untuk kita semua.
Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkannya perlu dukungan dan partisipasai dari masyarakat dan juga peran aktif dunia usaha.
Dengan demikian, pembangunan kota adalah milik kita semua dan pembangunan juga untuk semua, yang wajib untuk kita jaga, rawat dan senantiasa ditingkatkan kualitasnya dari masa ke masa.
Kota seperti ini dicirikan dengan adanya manajemen kota yang efektif dan efisien, kepemimpinan yang visioner dan berwibawa serta tegaknya tata kelola pemerintahan yang bersih dan berkualitas (clean and good governance).***(ak27)
Apriyan D Rakhmat
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota,Fakultas Teknik UIR
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.