Oleh : Samsul Nizar
[ArtikelKeren] OPINI - Akhir-akhir ini, isu yang sedang hangat dibincangkan secara nasional adalah semakin kokohnya bangunan ”dinasti kekuasaan”.
Hebohnya bahkan mampu menyingkirkan kasus Bank Century yang jelas merugikan negara dalam jumlah yang jauh lebih besar.
Meski isu ini mulai mencuat sejak kasus Gubernur Banten Ratu Atut yang ditengarai membangun sebuah kedinastian atas kekuasaan yang dimiliki lebih dominan berada di seputar keluarganya.
Sesungguhnya, persoalan dinasti kekuasaan yang mengedepankan isu kolegial yang berpusat pada keluarga penguasa merupakan persoalan yang menjadi salah satu pemicu lahirnya reformasi, agaknya tak menjadi pelajaran berharga.
Bahkan, sikap kolegial yang berpusat pada keluarga penguasa saat itu masih mengedepankan profesionalitas dan nilai-nilai kepatutan.
Prilaku yang seperti ini saja dikritik dalam sebuah gerakan reformasi, apatah lagi bila saat ini sifat kolegial yang mematikan profesionalitas. Jangan tunggu rakyat berteriak lantang dan media mempublikasikan.
Buktinya, persoalan ini menimpa Gubernur Banten merupakan salah satu kasus yang terangkat di media publik. Meski mungkin masih ada persoalan yang serupa, namun terasa tapi tak terangkat ke ranah public.
Atau meski kasus Gubernur Banten saat ini sedang dibicarakan, namun sesungguhnya pada waktu yang sama sebenarnya kita yang membicarakannya mungkin sedang berada di wilayah yang sama, namun format yang berbeda.
Persoalan kekuasaan yang berbasis dinasti lebih menekankan dan menguntungkan pada orang-orang di seputar penguasa bukan hanya terjadi di wilayah politik, namun mungkin saja banyak terjadi di wilayah-wilayah lainnya.
Hanya saja, persoalan yang terjadi di wilayah lain tak diangkat ke wilayah publik, sehingga tak terekspos secara luas. Namun, persoalan ini terasa tetap ada dan acapkali tumbuh.
Hanya saja, persoalan bangunan kedinastian kekuasaan perlu dicermati secara bijak. Acapkali bangunan kedinastian atas kekuasaan yang dimiliki perlu dilakukan untuk mencapai tujuan dan kemaslahatan umat. Sebab, kekuasaan merupakan wilayah kerja kolegial yang menghendaki adanya kerja tim yang solid. Untuk itu, paling tidak ada dua, yaitu :
Pertama, dinasti kekuasaan dalam dimensi positif. Pola ini merujuk pada makna pengkondisian dan pengangkatan tim kerja yang solid dengan mengedepankan aspek profesionalitas dan kualitas. Artinya, kekuasaan yang dimiliki terbangun atas kekuatan kedinastian yang berdasarkan profesionalitas.
Seorang pemimpin membagi wilayah kerja dan kesejahteraan yang sesuai dengan kerja pada orang-orang yang benar-benar berkualitas secara profesional. Pola ini sangat diperlukan untuk terbangunnya sebuah kekuasaan yang kuat dalam menjalankan amanah dan mempu membawa kebajikan bagi seluruh rakyat, bahkan alam semesta.
Pola yang mengedepankan profesionalitas dan kualitas personal bukan berarti tidak boleh mengangkat dan memanfaatkan kemampuan personal lingkup keluarga, suku, atau wilayah.
Apatah lagi bila di luar lingkup keluarga, suku, atau wilayah tidak ada yang mampu dilimpahkan dan melaksanakan amanah yang ada. Akan tetapi, ranah profesionalitas selalu menjadi parameter utama dalam bangunan kekuasaan.
Kedua, dinasti kekuasaan dalam dimensi negatif. Pola ini merujuk pada makna pengkondisian dan pengangkatan tim kerja yang lebih mengedepankan lingkup keluarga, suku atau wilayah untuk melanggengkan kekuasaannya dengan mengkerdilkan profesionalitas dan kualitas yang berada di luar lingkup keluarga, suku, atau wilayah.
Padahal, di luar sana masih banyak orang dan kelompok yang jauh lebih profesional dan berkualitas untuk bisa diserahkan urusan amanah tersebut.
Tatkala hal ini terjadi, maka sesungguhnya bangunan dinasti kekuasaan bagaikan sebuah bangunan yang tampak kokoh, namun di dalamnya penuh dengan “pelapukan” yang setiap waktu bisa menjadi bom waktu yang membuat bangunan hancur dengan kepiluan.
Ruh otonomi daerah yang lahir sebagai upaya percepatan pembangunan dan memberdayakan potensi daerah bila dibangun dalam rancangan dimensi pertama akan memberikan manfaat bagi rakyat dan happy ending bagi pemegang amanah.
Namun, tatkala pilihan pada dimensi kedua yang akan diambil, maka kesengsaraan dan kebencian akan menjadi semakin subur yang pada gilirannya pemegang kekuasaan acapkali berakhir pada sebuah cercaan dan kehinaan.
Ianya akan menjadi catatan hitam bagi generasi yang akan datang atas sejarah hitam yang ditulis oleh setiap pemegang amanah hari ini.
Apa yang terjadi pada Gubernur Banten saat ini merupakan iktibar berharga untuk seluruh elemen bangsa, sekaligus kaca untuk melihat setiap diri atas kebijakan yang diambil dari amanah yang dipikulnya.
Hal senada diingatkan Rasulullah SAW; Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban (di yaumil hisab) atas apa yang dipimpinnya”.
Ketegasan yang diingatkan Rasulullah menyadarkan bahwa amanah sebagai seorang pemimpin bukan sebatas prestise yang menjadi kebanggaan dengan bangunan dinasti kekuasaan yang bersumber pada keluarga, suku, atau wilayah, akan tetapi amanah berat yang harus dipikul dan dijalankan sesuai aturan Allah.
Mungkin pertanggungjawaban horizontal (kepada manusia) mampu dilaksanakan dengan berbagai strategi yang disusun, namun pertanggungjawaban vertical (kepada Allah) tak akan mampu ditutupi dengan retorika kebohongan meski andal.
Pilihan selalu ada bagi pemimpin yang bijaksana dengan meletakkan profesional dan kualitas sebagai parameter. Namun pilihan hanya sebatas retorika pengkelabuan bagi mereka yang haus kuasa dan harta.
Dunia begitu indah bagi yang ramah dengan alam, namun dunia serasa semakin kecil dan menyesakkan bagi mereka yang serakah dengan alam.
Sebab, alam merupakan salah satu ayat Allah untuk ditangkap dengan penuh arti. Bangsa ini begitu rindu lahirnya sosok pemimpin yang bijaksana dalam membawa bahtera keadilan menuju pulau kebahagiaan dan kesejahteraan.***
Samsul Nizar
Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Suska Riau
[ArtikelKeren] OPINI - Akhir-akhir ini, isu yang sedang hangat dibincangkan secara nasional adalah semakin kokohnya bangunan ”dinasti kekuasaan”.
Hebohnya bahkan mampu menyingkirkan kasus Bank Century yang jelas merugikan negara dalam jumlah yang jauh lebih besar.
Meski isu ini mulai mencuat sejak kasus Gubernur Banten Ratu Atut yang ditengarai membangun sebuah kedinastian atas kekuasaan yang dimiliki lebih dominan berada di seputar keluarganya.
Sesungguhnya, persoalan dinasti kekuasaan yang mengedepankan isu kolegial yang berpusat pada keluarga penguasa merupakan persoalan yang menjadi salah satu pemicu lahirnya reformasi, agaknya tak menjadi pelajaran berharga.
Bahkan, sikap kolegial yang berpusat pada keluarga penguasa saat itu masih mengedepankan profesionalitas dan nilai-nilai kepatutan.
Prilaku yang seperti ini saja dikritik dalam sebuah gerakan reformasi, apatah lagi bila saat ini sifat kolegial yang mematikan profesionalitas. Jangan tunggu rakyat berteriak lantang dan media mempublikasikan.
Buktinya, persoalan ini menimpa Gubernur Banten merupakan salah satu kasus yang terangkat di media publik. Meski mungkin masih ada persoalan yang serupa, namun terasa tapi tak terangkat ke ranah public.
Atau meski kasus Gubernur Banten saat ini sedang dibicarakan, namun sesungguhnya pada waktu yang sama sebenarnya kita yang membicarakannya mungkin sedang berada di wilayah yang sama, namun format yang berbeda.
Persoalan kekuasaan yang berbasis dinasti lebih menekankan dan menguntungkan pada orang-orang di seputar penguasa bukan hanya terjadi di wilayah politik, namun mungkin saja banyak terjadi di wilayah-wilayah lainnya.
Hanya saja, persoalan yang terjadi di wilayah lain tak diangkat ke wilayah publik, sehingga tak terekspos secara luas. Namun, persoalan ini terasa tetap ada dan acapkali tumbuh.
Hanya saja, persoalan bangunan kedinastian kekuasaan perlu dicermati secara bijak. Acapkali bangunan kedinastian atas kekuasaan yang dimiliki perlu dilakukan untuk mencapai tujuan dan kemaslahatan umat. Sebab, kekuasaan merupakan wilayah kerja kolegial yang menghendaki adanya kerja tim yang solid. Untuk itu, paling tidak ada dua, yaitu :
Pertama, dinasti kekuasaan dalam dimensi positif. Pola ini merujuk pada makna pengkondisian dan pengangkatan tim kerja yang solid dengan mengedepankan aspek profesionalitas dan kualitas. Artinya, kekuasaan yang dimiliki terbangun atas kekuatan kedinastian yang berdasarkan profesionalitas.
Seorang pemimpin membagi wilayah kerja dan kesejahteraan yang sesuai dengan kerja pada orang-orang yang benar-benar berkualitas secara profesional. Pola ini sangat diperlukan untuk terbangunnya sebuah kekuasaan yang kuat dalam menjalankan amanah dan mempu membawa kebajikan bagi seluruh rakyat, bahkan alam semesta.
Pola yang mengedepankan profesionalitas dan kualitas personal bukan berarti tidak boleh mengangkat dan memanfaatkan kemampuan personal lingkup keluarga, suku, atau wilayah.
Apatah lagi bila di luar lingkup keluarga, suku, atau wilayah tidak ada yang mampu dilimpahkan dan melaksanakan amanah yang ada. Akan tetapi, ranah profesionalitas selalu menjadi parameter utama dalam bangunan kekuasaan.
Kedua, dinasti kekuasaan dalam dimensi negatif. Pola ini merujuk pada makna pengkondisian dan pengangkatan tim kerja yang lebih mengedepankan lingkup keluarga, suku atau wilayah untuk melanggengkan kekuasaannya dengan mengkerdilkan profesionalitas dan kualitas yang berada di luar lingkup keluarga, suku, atau wilayah.
Padahal, di luar sana masih banyak orang dan kelompok yang jauh lebih profesional dan berkualitas untuk bisa diserahkan urusan amanah tersebut.
Tatkala hal ini terjadi, maka sesungguhnya bangunan dinasti kekuasaan bagaikan sebuah bangunan yang tampak kokoh, namun di dalamnya penuh dengan “pelapukan” yang setiap waktu bisa menjadi bom waktu yang membuat bangunan hancur dengan kepiluan.
Ruh otonomi daerah yang lahir sebagai upaya percepatan pembangunan dan memberdayakan potensi daerah bila dibangun dalam rancangan dimensi pertama akan memberikan manfaat bagi rakyat dan happy ending bagi pemegang amanah.
Namun, tatkala pilihan pada dimensi kedua yang akan diambil, maka kesengsaraan dan kebencian akan menjadi semakin subur yang pada gilirannya pemegang kekuasaan acapkali berakhir pada sebuah cercaan dan kehinaan.
Ianya akan menjadi catatan hitam bagi generasi yang akan datang atas sejarah hitam yang ditulis oleh setiap pemegang amanah hari ini.
Apa yang terjadi pada Gubernur Banten saat ini merupakan iktibar berharga untuk seluruh elemen bangsa, sekaligus kaca untuk melihat setiap diri atas kebijakan yang diambil dari amanah yang dipikulnya.
Hal senada diingatkan Rasulullah SAW; Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban (di yaumil hisab) atas apa yang dipimpinnya”.
Ketegasan yang diingatkan Rasulullah menyadarkan bahwa amanah sebagai seorang pemimpin bukan sebatas prestise yang menjadi kebanggaan dengan bangunan dinasti kekuasaan yang bersumber pada keluarga, suku, atau wilayah, akan tetapi amanah berat yang harus dipikul dan dijalankan sesuai aturan Allah.
Mungkin pertanggungjawaban horizontal (kepada manusia) mampu dilaksanakan dengan berbagai strategi yang disusun, namun pertanggungjawaban vertical (kepada Allah) tak akan mampu ditutupi dengan retorika kebohongan meski andal.
Pilihan selalu ada bagi pemimpin yang bijaksana dengan meletakkan profesional dan kualitas sebagai parameter. Namun pilihan hanya sebatas retorika pengkelabuan bagi mereka yang haus kuasa dan harta.
Dunia begitu indah bagi yang ramah dengan alam, namun dunia serasa semakin kecil dan menyesakkan bagi mereka yang serakah dengan alam.
Sebab, alam merupakan salah satu ayat Allah untuk ditangkap dengan penuh arti. Bangsa ini begitu rindu lahirnya sosok pemimpin yang bijaksana dalam membawa bahtera keadilan menuju pulau kebahagiaan dan kesejahteraan.***
Samsul Nizar
Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Suska Riau
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.