Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Sabtu, 05 Oktober 2013

Ambruknya Tiang Konstitusi

Sabtu, Oktober 05, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Mexsasai Indra Nuri


 
[ArtikelKeren] OPINI - Awan kelam menyelimuti penegakan hukum di Indonesia, tak tanggung-tanggung, kali ini Ketua MK yang “terjerembab” dalam praktik korupsi.

Sulit rasanya menerima dalil yang dikemukakan Akil Mochtar bahwa ia tidak terlibat dalam dugaan suap atas penanganan kasus sengketa Pemilukada Gunung Mas Kalteng, dan sengketa Pemilukada Lebak, Banten.

Kelu juga rasanya lidah ini untuk mengutarakan menghormati asas praduga tak bersalah atas kasus yang melilit Akil Mochtar, karena dalam banyak kasus operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK, tidak ada yang lolos dari “dekapan hangat” lembaga pimpinan Abraham Saham tersebut.

Bahkan dua orang mantan Ketua MK berkeyakinan Akil Machtar terlibat kasus suap dalam penanganan perkara Pemilukada Gunung Mas dan Lebak Banten.

Publik patut menghela napas dalam-dalam atas kasus yang melibatkan Akil Mochtar, bahkan konon kabarnya mantan Ketua MK Mahfud MD tak bisa tidur begitu mendengar kabar Akil Mochtar ditangkap oleh KPK di kediaman dinasnya di Komplek Pejabat Negara Jalan Widya Chandra, Jakarta.

Kondisi pisikologis yang dialami oleh Mahfud sesuatu yang dapat dimaklumi, karena selama menjadi Ketua MK Mahfud MD berkeyakinan MK bersih 100 persen dari praktik jual beli perkara.

Bahkan keyakinan Mahfud MD tersebut diutarakan dalam salah satu iklannnya yang menyatakan “MK tidak bisa memenangkan pihak yang seharusnya kalah dan mengalahkan pihak yang seharusnya menang”, dan oleh karena itu pulalah ketika Refly Harun menulis di media yang berjudul MK Masih Bersih?, Mahfud, menantang Refly untuk membuktikan isi tulisannya yang menduga ada salah seorang hakim (baca; Akil Mochtar) yang memeras pihak yang berperkara dalam penanganan sengketa Pemilukada, bahkan dengan sigap ketika itu Moh Mahfud langsung membentuk tim investigasi yang langsung dipimpin Refly untuk membuktikan tuduhannya.

Ketika itu Moh Mahfud MD juga mengancam akan memperkarakan Refly jika tidak bisa membuktikan tulisannya. “Kalau terbukti, saya yang akan mundur,“ kata Mahfud ketika itu.

Tantangan Mahfud ini diamini oleh Refly dengan menunjuk pengacara Adnan Buyung Nasution dan wartawan senior Bambang Harymurti sebagai anggota tim. Mahkamah menunjuk pengacara Bambang Widjojanto dan Saldi Isra untuk bergabung dalam tim ini.

Sikap unik sang guru besar ini patut kita apresiasi, Mahfud tidak bersikap defensif menghadapi Refly Harun. Dapat dimaklumi sikap Mahfud yang all out menjaga lembaganya, dengan reputasi MK yang sangat baik selama ini.

Harus diakui ia cukup berhasil menegakkan citra MK sebagai salah satu dari sedikit lembaga peradilan kita yang bersih. Mahfud tahu benar bahwa ketdakpercayaan publik kepada lembaganya akan berdampak buruk bagi rakyat, misalnya dalam memutus sengketa hasil pemilihan umum dan kepala daerah.

Namun, dengan sedikit mempelesetkan lagu penyanyi cilik Tegar, “MK yang dulu bukanlah MK yang sekarang”. Wajah MK era Jimly Asshiddiqie, Moh Mahfud MD memang berbeda dengan MK di bawah kepemimpinan Akil Mochtar, tidak sedikit pihak yang meragukan reputasi MK di bawah kepemimpinan Akil Mochtar, keraguan itu bukan tanpa alasan, dengan bergabungnya sejumlah politisi, sebut saja ada nama Hamdan Zoelva (mantan politisi PBB), Patrialis Akbar (mantan politisi PAN) dan sang ketua MK sendiri yang merupakan mantan Politisi Partai Golkar.

Kita bisa saja berdebat kusir dengan mengajukan argumentasi bahwa harus memisahkan orang-orang tersebut dari institusi partainya.

Pada titik tertentu sulit rasanya bagi mereka untuk melepaskan diri dari conflict of interest kenyataan ini dibuktikan dalam proses perpanjangan masa tugas sebagai hakim MK terhadap Akil Mochtar yang dilakukan secara ‘otomatis’ oleh DPR, padahal konon kabarnya sejumlah anggota DPR sudah mengetahui ‘aroma tak sedap’ tentang sosok Akil Mochtar.

Penolakan publik atas para hakim yang berlatarbelakang politisi, tentunya tidak terletak pada aspek individu mereka sebagai hakim, tetapi lebih pada aspek kekuatan mereka untuk melepaskan conflict of interest ketika menjadi hakim, karena bagaimanapun juga empat kewenangan plus satu kewajiban MK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 24 C UUD 1945, semuanya bersentuhan dengan kewenangan DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif, sebut saja misalnya pengujian UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil Pemilu, serta memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD.

Pertanyaannya apa mungkin para hakim MK yang berlatarbelakang politisi bisa objektif dalam menjatuhkan vonis? Sementara mereka masih meninggalkan “bekas jejak” di Senayan sana?

Tertangkapnya Akil Mochtar barang kali secara empirikal menjawab pertanyaan tersebut, sekaligus dapat menjawab mengapa publik bersikap apriori ketika kader Parpol mulai diizinkan masuk menjadi calon anggota DPD, calon anggota KPU yang sebelumnya dilarang.

Sangat masuk akal jika ada tendensi politis dengan masuknya mereka di dalam lembaga-lembaga tersebut yang idealnya sudah cukup diisi oleh orang non partisan karena representasi mereka toh sudah ada di DPR.

Tepat pula sinyalemen sahabat saya Feri Amsari dengan opininya yang berjudul Kuda Troya bagi MK di sebuah harian nasional menanggapi terpilhnya Akil Mochtar sebagai Ketua MK.

Nasi sudah jadi bubur, kita tidak mungkin mengubah fakta sejarah, kecuali menjadikannya sebagai pelajaran atau meminjam terminologinya Bung Karno “Jas Merah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah).

Biarlah proses hukum atas Akil Mochtar bekerja dalam koridor integrated criminal justice system, namun ada yang jauh lebih penting yakni bagaimana dengan masa depan MK sebagai lembaga negara yang kesuciannya telah ternoda oleh ulah sang ketua?

Tidak sedikit para pihak yang mengusulkan agar MK dibubarkan, agaknya tidak tepat pula, janganlah gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Kita semuanya tentu masih mencintai MK, masih perlu MK karena bagaimanapun juga, MK merupakan lembaga negara yang lahir dari rahim konstitusi. Bekerjanya fungsi-fungsi negara masih memerlukan pengawalan dari MK.

Oleh karena itu meminjam istilah Zainal Arifin Mochtar sudah saatnya melakukan diagnosa terhadap penyakit MK terutama terkait dengan mekanisme rekrutmen hakim, plus perlunya pengawasan terhadap para hakim MK, karena bagaimanapun juga sembilan hakim MK juga manusia.

Oleh karena itu sudah saatnya untuk menata kembali tiang konstitusi yang sudah ambruk.***


Mexsasai Indra Nuri, Ketua Badan Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Unri

Sumber : riaupos.co

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN