Oleh : Michael H Hadylaya
“Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.”
Lord Acton
[ArtikelKeren] OPINI - Siapa yang tidak terperangah mendengar berita tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Republik ini menerima suap. Mahkamah Konsitusi yang dilabeli sebagai the guardian of constitution akhirnya kebobolan juga.
Maka, lengkaplah sudah semua lembaga di republik ini pernah menjadi sarang koruptor. Mulai dari bupati, wali kota, komisioner-komisioner lembaga independen, menteri, anggota DPR, hakim, dan kini hakim konstitusi, parahnya Ketua MK pula.
Godaan untuk melakukan korupsi menurut Lord Acton adalah kekuasaan. Kekuasaan yang semakin besar akan menggiring seseorang untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut.
Kompensasinya dapat berupa uang atau bahkan pelampiasan hasrat seksual. Maka, dalam kekuasaan yang seharusnya digunakan pada jalur yang benar menjadi menyimpang untuk memuaskan berbagai keinginan.
Dalam konteks MK, hal itu tidak dapat dipungkiri lagi. Kekuasaan MK yang tidak bisa diganggu gugat menjadikan jabatan hakim di Mahkamah Konstitusi ibarat posisi mahadewa.
Ibarat cerita-cerita dalam komik kungfu, sembilan hakim MK ibarat sembilan pendekar mahasakti dan sesepuh dunia persilatan. Jadi, posisi Ketua MK seharusnya diisi oleh orang-orang yang tidak lagi mengejar harta apalagi kedudukan semata.
Kondisi ideal ini yang kemudian dirusak oleh politisasi pengisian jabatan hakim MK. Perlahan tapi pasti, satu per satu kader-kader Parpol mengisi jabatan hakim MK. Terbaru, penunjukan mantan Menkumham yang berasal dari Parpol dan di-resuffle oleh presiden justru dinominasikan untuk menjadi hakim konstitusi.
Kita patut ragu dengan kualitas-kualitas orang-orang partai politik yang ditempatkan dalam posisi strategis di lembaga negara karena akan adanya konflik kepentingan dan cinta uang yang mendarah daging dalam dunia perpolitikan kita.
Justru, inilah yang sekarang terbukti dari tangkap tangan terhadap Ketua MK. Sang tersangka adalah kader partai politik. Tertangkap tangan dengan kawan satu partai pula.
Hal ini menunjukkan bahwa keluar dari keanggotaan partai politik tidak cukup untuk menjadi jaminan non-partisannya seseorang.
Revisi Seleksi Politis
Tragedi MK ini seharusnya membawa kita pada persoalan di hulu yakni pengisian jabatan strategis oleh partai-partai melalui DPR. Tidak akan ada gunanya mencoba mengawasi kekuasaan MK apabila orang-orang yang mengisi MK adalah orang-orang politic minded dan parahnya lagi money oriented.
Apabila MK diisi oleh orang-orang yang memiliki karakter, moral, dan kapasitas intelektual yang tinggi, keabsolutan kekuasaan MK justru akan menolong bangsa ini keluar dari masalah.
Untuk itu, pengisian jabatan ketua MK harus diisi oleh orang partai, tiga orang partai sudah terlalu banyak untuk MK yang hanya diisi oleh sembilan orang.
Dalam konteks ini, tidak hanya orang yang masih aktif di partai politik tapi juga termasuk bagi orang-orang yang pernah mencicipi kaderisasi partai politik.
Hanya dengan cara ini netralitas hakim MK dapat dijaga dari konflik-konflik kepentingan teman sejawatnya yang notabene berperkara dalam sengketa-sengketa di MK.
Hakim-hakim MK harus diisi oleh orang-orang netral yang sudah berpengalaman di bidang hukum selama puluhan tahun dan telah membuktikan karakter serta keilmuannya pada semua orang.
Dengan cara ini, orang-orang yang mengisi posisi sebagai hakim MK betul-betul Mpu atau Resi pada bidang hukum. Dengan cara ini pula, putusan yang dihasilkan akan mendapatkan respek tidak hanya dari pihak yang bersengketa tetapi juga dari publik Indonesia.
Terakhir, karena diisi oleh orang-orang yang nir-partai dan sudah tahan banting selama puluhan tahun menjaga integritasnya, kemungkinan untuk mencari uang tambahan lewat aksi-aksi korup akan kecil.
Bagi orang-orang yang punya totalitas di bidangnya, uang bukan menjadi yang utama dan harusnya itulah yang dimiliki oleh orang-orang yang duduk menjadi hakim di Mahkamah Konsitusi.
Jadi, penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi yang menerima suap miliyaran rupiah ini sebenarnya hanyalah puncak gunung es, hanya fenomena semata.
Nomena, kesejatiannya, justru terletak pada betapa telah mengurat-akarnya partai politik merusak tatanan berbangsa dan bernegara. Inilah yang harus dipotong sejak dini lewat mengebiri akses-akses partai politik pada cabang-cabang kekuasaan yang harusnya steril dari kepentingan politik praktis.***
Michael H Hadylaya, Ketua Komisi Infornasi Provinsi Riau
“Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.”
Lord Acton
[ArtikelKeren] OPINI - Siapa yang tidak terperangah mendengar berita tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Republik ini menerima suap. Mahkamah Konsitusi yang dilabeli sebagai the guardian of constitution akhirnya kebobolan juga.
Maka, lengkaplah sudah semua lembaga di republik ini pernah menjadi sarang koruptor. Mulai dari bupati, wali kota, komisioner-komisioner lembaga independen, menteri, anggota DPR, hakim, dan kini hakim konstitusi, parahnya Ketua MK pula.
Godaan untuk melakukan korupsi menurut Lord Acton adalah kekuasaan. Kekuasaan yang semakin besar akan menggiring seseorang untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut.
Kompensasinya dapat berupa uang atau bahkan pelampiasan hasrat seksual. Maka, dalam kekuasaan yang seharusnya digunakan pada jalur yang benar menjadi menyimpang untuk memuaskan berbagai keinginan.
Dalam konteks MK, hal itu tidak dapat dipungkiri lagi. Kekuasaan MK yang tidak bisa diganggu gugat menjadikan jabatan hakim di Mahkamah Konstitusi ibarat posisi mahadewa.
Ibarat cerita-cerita dalam komik kungfu, sembilan hakim MK ibarat sembilan pendekar mahasakti dan sesepuh dunia persilatan. Jadi, posisi Ketua MK seharusnya diisi oleh orang-orang yang tidak lagi mengejar harta apalagi kedudukan semata.
Kondisi ideal ini yang kemudian dirusak oleh politisasi pengisian jabatan hakim MK. Perlahan tapi pasti, satu per satu kader-kader Parpol mengisi jabatan hakim MK. Terbaru, penunjukan mantan Menkumham yang berasal dari Parpol dan di-resuffle oleh presiden justru dinominasikan untuk menjadi hakim konstitusi.
Kita patut ragu dengan kualitas-kualitas orang-orang partai politik yang ditempatkan dalam posisi strategis di lembaga negara karena akan adanya konflik kepentingan dan cinta uang yang mendarah daging dalam dunia perpolitikan kita.
Justru, inilah yang sekarang terbukti dari tangkap tangan terhadap Ketua MK. Sang tersangka adalah kader partai politik. Tertangkap tangan dengan kawan satu partai pula.
Hal ini menunjukkan bahwa keluar dari keanggotaan partai politik tidak cukup untuk menjadi jaminan non-partisannya seseorang.
Revisi Seleksi Politis
Tragedi MK ini seharusnya membawa kita pada persoalan di hulu yakni pengisian jabatan strategis oleh partai-partai melalui DPR. Tidak akan ada gunanya mencoba mengawasi kekuasaan MK apabila orang-orang yang mengisi MK adalah orang-orang politic minded dan parahnya lagi money oriented.
Apabila MK diisi oleh orang-orang yang memiliki karakter, moral, dan kapasitas intelektual yang tinggi, keabsolutan kekuasaan MK justru akan menolong bangsa ini keluar dari masalah.
Untuk itu, pengisian jabatan ketua MK harus diisi oleh orang partai, tiga orang partai sudah terlalu banyak untuk MK yang hanya diisi oleh sembilan orang.
Dalam konteks ini, tidak hanya orang yang masih aktif di partai politik tapi juga termasuk bagi orang-orang yang pernah mencicipi kaderisasi partai politik.
Hanya dengan cara ini netralitas hakim MK dapat dijaga dari konflik-konflik kepentingan teman sejawatnya yang notabene berperkara dalam sengketa-sengketa di MK.
Hakim-hakim MK harus diisi oleh orang-orang netral yang sudah berpengalaman di bidang hukum selama puluhan tahun dan telah membuktikan karakter serta keilmuannya pada semua orang.
Dengan cara ini, orang-orang yang mengisi posisi sebagai hakim MK betul-betul Mpu atau Resi pada bidang hukum. Dengan cara ini pula, putusan yang dihasilkan akan mendapatkan respek tidak hanya dari pihak yang bersengketa tetapi juga dari publik Indonesia.
Terakhir, karena diisi oleh orang-orang yang nir-partai dan sudah tahan banting selama puluhan tahun menjaga integritasnya, kemungkinan untuk mencari uang tambahan lewat aksi-aksi korup akan kecil.
Bagi orang-orang yang punya totalitas di bidangnya, uang bukan menjadi yang utama dan harusnya itulah yang dimiliki oleh orang-orang yang duduk menjadi hakim di Mahkamah Konsitusi.
Jadi, penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi yang menerima suap miliyaran rupiah ini sebenarnya hanyalah puncak gunung es, hanya fenomena semata.
Nomena, kesejatiannya, justru terletak pada betapa telah mengurat-akarnya partai politik merusak tatanan berbangsa dan bernegara. Inilah yang harus dipotong sejak dini lewat mengebiri akses-akses partai politik pada cabang-cabang kekuasaan yang harusnya steril dari kepentingan politik praktis.***
Michael H Hadylaya, Ketua Komisi Infornasi Provinsi Riau
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.