Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Kamis, 03 April 2014

”Kudis-kudis” Bank Riaukepri

Kamis, April 03, 2014 By Unknown No comments

Oleh : Viator Butarbutar


[ArtikelKeren] OPINI - Tahniah BRK! Genap sudah 48 tahun usia Bank Riau, sebelumnya bernama Bank Pembangunan Daerah Riau, lalu belakangan dinamakan Bank Riaukepri (BRK).

Bank plat merah daerah ini dalam perjalanannya pernah berperan semacam kas daerah, kemudian meningkatkan peran intermediasi antara masyarakat deposan dengan masyarakat debitur.

Pernah juga berkeinginan berperan menjadi agent of development tetapi terbukti tidak terlalu berhasil. Namun demikian, apapun penilaian orang, berbagai perkembangan dan capaian telah ditorehkan dalam usia 48 tahun.

Setidaknya aset Bank Riaukepri telah melesat mencapai hampir Rp20 triliun per 31 Desember 2012, walau mengalami penurunan pada 2013 menjadi Rp19,46 triliun.

Tahun 2012 membukukan laba bersih sekitar Rp318 miliar dan mengalami peningkatan menjadi sekitar Rp423 miliar. Dari sisi pelayanan terlihat jangkauan layanan yang semakin luas dan produk perbankan yang semakin terdiversifikasi.

Tulisan ringkas berikut ini lebih merupakan catatan kritis saya atas perkembangan terakhir BRK dan tidak dimaksudkan sebagai evaluasi analitis atas kinerja bank secara keseluruhan.

Saya juga tidak bermaksud meniadakan atau mengecilkan torehan prestasi yang sudah dicapai. Saya hanya ingin menguak sebagian faktor yang mempengaruhi kesehatan bank yang perlu diperbaiki oleh manajemen BRK dan yang perlu segera dibenahi oleh para pemegang saham.

Saya sengaja menggunakan istilah ”kudis”, karena apa yang terjadi pada BRK sangat mirip dengan kudis pada manusia, tidak langsung mematikan, tetapi sangat mengganggu dan kalau tidak segera ditangani dapat berkembang menjadi borok yang bukan hanya berbau tetapi melumpuhkan dan bukan tidak mungkin mematikan.

Kudis 1: Risiko Likuiditas karena Ketergantungan atas Dana Pemda

Kalau hanya memperhatikan laporan keuangan tahunan BRK dengan berbagai ratio yang lazim digunakan di dunia perbankan, akan terlihat bahwa BRK nampaknya sangat sehat.

Capital Adequacy Ratio (CAR) mencapai 19,06 persen (jauh melampaui CAR minimum 8 persen). Loan to Deposit Ratio (LDR) mencapai 87.6 persen tetapi belum dianggap mengganggu terhadap likuiditas, atau sering disebut masih manageable.

Kalau dari sisi kinerja, Return on Asset (ROA) meningkat sedikit dari 2,95 persen pada tahun 2012 menjadi 3.10 persen per Desember 2013. Return on Equity (ROE) juga mengalami peningkatan, dari 19,91 persen pada tahun 2012 menjadi 23,56 persen sesuai laporan keuangan BRK pada akhir 2013.

Tetapi kalau kita mendalami tingkat kesehatan BRK dengan pendekatan risk management akan terlihat bahwa BRK cenderung tidak mengalami kemajuan berarti khususnya setahun terakhir.

Sumber penyediaan dana di BRK adalah giro dan deposito berjangka. Kontribusi tabungan dan dana investasi hanya sekitar 25 persen.

Parahnya, tidak terlihat adanya perubahan mendasar dalam deposan inti, masih terus didominasi oleh pemerintah daerah.

Setidaknya terdapat dua hal sensitif terkait dominasi pemerintah daerah sebagai sumber DPK. Pertama, BRK akan selalu berada pada posisi inferior menghadapi para kepala daerah dan suka tidak suka harus melakukan semua cara untuk ”memelihara hubungan” agar jangan sampai pemda dimaksud memindahkan dana mereka dari BRK.

Pemindahan besar-besaran dana oleh deposan inti berakibat fatal terhadap likuiditas BRK. Di sisi lain, kegiatan ”memelihara hubungan” yang harus dilakukan BRK ini sangat potensial menjadi persoalan hukum (UU Anti Korupsi).

Kedua, dengan semakin ketatnya pengawasan dan meningkatnya standar pengelolaan APBD, sangat mungkin terjadi bahwa jumlah dana dan masa pengendapan dana pemda di BRK akan semakin menurun.

Kalau transaksi APBD hanya dalam bentuk pemindah-bukuan antarrekening di BRK, persoalan likuiditas tidak akan terlalu terpengaruh. Faktanya, BRK bukanlah bank pilihan utama bagi masyarakat dan dunia usaha di Riau.

Karenanya yang cenderung terjadi adalah continuous net outflow dari BRK ke bank lain atau dalam bentuk tunai. Kecenderungan seperti ini pasti akan membahayakan posisi likuiditas BRK.

Kudis sumber dana ini telah terjadi sejak lama tetapi entah kenapa manajemen BRK belum juga berhasil mengobatinya. Saya khawatir kudis ini akan berkembang menjadi borok yang pada gilirannya nanti akan membahayakan kesehatan BRK.

Upaya-upaya peningkatan reputasi dan image BRK demi meraih kepercayaan masyarakat luas menyimpan dananya di BRK perlu digesa dan dikembangkan dengan kreativitas tinggi.

Saya sangat menyesalkan kegagalan manajemen BRK menyelesaikan urusan menara BRK tepat waktu dan capaian realisasi pembukaan jaringan baru berupa ATM/KCP/kedai yang hanya 56,5 persen hingga akhir tahun 2013.

Seyogyanya menara BRK dan perluasan jaringan dapat meningkatkan citra dan reputasi dan kinerja BRK. Sebelum masuk ke “kudis kedua” saya perlu tekankan bahwa sebaiknya manajemen BRK memahami bahwa data penurunan tajam dana giro dan deposito berjangka di BRK pada periode 2012-2013, dari Rp11,5 triliun menjadi Rp8,7 triliun sangatlah alarming.

Kudis 2. Resiko Konsentrasi Kredit

Menurut data dalam laporan keuangan BRK 2013, terjadi peningkatan signifikan dalam penyaluran kredit, meningkat lebih dari Rp1,5 triliun dibanding tahun 2012. Sekilas angka ini sangat menggembirakan dan menjadi prestasi manajemen BRK.

Tapi ketika kita perhatikan distribusi kredit menurut jenis dan sektor ekonomi, kita akan kecewa. Entah mengapa, BRK yang seyogyanya adalah bank pembangunan daerah, ternyata tidak pernah serius meningkatkan proporsi kredit investasi maupun modal kerja.

Kerinduan masyarakat Riau melihat BRK menjadi leader pembiayaan sektor produksi demi percepatan pembangunan daerah Riau ternyata masih bertahan menjadi kerinduan berkepanjangan atau mungkin akan menjadi kerinduan abadi.

Dari Rp11,95 triliun kredit yang disalurkan per tahun 2013, ternyata kredit untuk sektor lainnya (umumnya jenis kredit konsumsi) mencapai 80,24 persen.

Sementara penyaluran kredit kepada pegawai dan pensiunan dari kategori portofolio mencapai lebih dari 75 persen dari total kredit. Komposisi kredit sedemikian menjadikan BRK menjadi juara di kalangan bank pembangunan daerah di Indonesia (peer group) dalam urusan kredit konsumsi dengan target customer pegawai dan pensiunan.

Mengapa komposisi konsentratif kredit sedemikian saya klasifikasikan ”kudis“? Karena memang risiko inheren kredit sedemikian tergolong tinggi dan jelas tidaklah sehat untuk bank.

Di samping persoalan filosofis sebagai bank pembangunan daerah, konsentrasi tinggi pada kredit konsumtif dengan sasaran pegawai dan pensiunan sangat sensitif terhadap krisis ekonomi dan kebijakan penggajian daerah.

Kalau terjadi krisis ekonomi yang bermuara pada PHK besar-besaran, bank akan mengalami kerugian besar. Debitur tidak lagi mampu membayar angsuran alias kredit macet.

Dalam konteks pegawai negeri sipil, persoalannya bisa lebih parah. Andaikan gubernur Riau jadi mengurangi beragam jenis tunjangan untuk PNS di lingkungan Pemprov Riau, dipastikan akan kredit macet BRK akan meningkat.

Kalau hal yang sama terjadi dengan pemerintah kabupaten/kota baik di Riau maupun Kepri (pangsa pasar utama BRK), dipastikan kredit macet BRK akan melonjak dan potensial membahayakan likuiditas bank. Malah dalam skala tertentu potensial menghantarkan BRK collapse.

Sayangnya BRK belum mempublikasi data triwulan I, Januari-Maret 2014. Saya meyakini bahwa terjadi peningkatan Non Performing Loan (NPL) pada triwulan I 2014, disebabkan keterlambatan pembayaran insentif PNS di Pemprov Riau, Pemkab Bengkalis, Kota Dumai dan beberapa kabupaten lain, semata hanya karena keterlambatan pengesahan dan pemberlakukan APBD.

Data resmi yang dipublikasikan BRK ternyata juga menunjukkan bahwa kredit macet atau sering dikenal dengan NPL cenderung meningkat dan telah mencapai 2,81 persen pada tahun 2013 atau setara dengan lebih dari Rp335 miliar, bandingkan dengan angka pada tahun 2007 di mana NPL sebesar 1,67 persen dengan nominal Rp52 miliar.

Tantangan ke depan bagi manajemen BRK antara lain adalah meningkatkan kualitas kredit yang disalurkan agar terhindar dari risiko kredit yang semakin tinggi.

Kalau risiko kredit tetap tinggi atau malah meningkat, BRK akan dihadapkan dengan persoalan lain seperti peningkatan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Asset Keuangan (CKPN) yang pada gilirannya mempengaruhi efisiensi operasional bank.

Fakta bahwa BRK hingga tahun ini mengalami persoalan collectibility yang memburuk seyogyanya dipahami oleh manajemen sebagai signal peringatan perbaikan kualitas kredit yang disalurkan.

Kudis 3. Coorporate Governance
Faktor Good Coorporate Governance (GCG) mencakup Governance Structure (GS), Governance Process (GP) dan Governance Outcome (GO).

GS secara sederhana dapat diartikan dengan struktur organisasi dan tata kerja bank. GP berkaitan dengan supra dan infrastruktur tata kelola bank yang mampu menerapkan fungsi kepatutan dan kepatuhan.

GO biasanya diukur dengan peningkatan laba bank, efisiensi operasional dan kualitas permodalan bank.

Kudis GCG ini sesungguhnya telah lama menempel di tubuh BRK tetapi belakangan memburuk dan terancam menjadi borok yang melemahkan atau mungkin akan melumpuhkan.

Dari sisi struktur, organisasi BRK terlihat sudah mengikuti organisasi modern. Rekrutmen staf memang terlihat lebih membaik, lebih transparan dan obyektif walaupun pengaruh ”kedekatan” atau backing masih terdapat.

Tetapi pada placement dan promotion, sisi primordial masih sangat kental. Kendati tata kelola operasional telah diupayakan perbaiki khususnya dalam lima tahun terakhir, ternyata kecenderungan internal fraud memburuk.

Setidaknya tercatat enam cabang mengalami internal fraud yang mengakibatkan kerugian bagi BRK. Sistem reward and punisment yang disusun ternyata juga belum berjalan efektif.

Khusus setahun lebih belakangan, faktor GCG ini telah semakin memburuk karena kegagalan pemilik saham mengangkat direktur utama menggantikan Erzon.

Kendatipun RUPS BRK telah menunjuk Rafjon Yahya sebagai Dirut dan telah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia per tanggal 3 Juni 2013, hingga saat ini posisi Dirut BRK ternyata masih kosong.

Kekosongan ini telah memperlambat proses pengelolaan dan pengambilan keputusan bank. Dengan kondisi seperti dialami BRK belakangan ini, banyak keputusan terpaksa diambil dengan metode sirkulasi atau lewat mekanisme rapat dewan direksi. Konsekwensinya, sulit mengharapkan timely decision.

Kalau keadaan ini dibiarkan berkepanjangan, akan sangat mungkin kinerja BRK memburuk ke depan, beragam kekurangan dan kelemahan yang dikemukakan sebelumnya bukannya teratasi, melainkan akan memburuk.

Keberadaan dewan komisaris dengan personalia seperti yang ada saat ini diyakini tidak akan mampu memberikan outcome optimal bagi BRK.

Komposisi dan personalia dewan komisaris seyogyanya mendukung dewan direksi mengoptimalkan capaian kinerja BRK sekaligus mengobati ”kudis-kudis” disebutkan di atas. Keberadaan komite teknis seperti komite audit, komite pemantau risiko, komite remunerasi dan nominasi seyogyanya direvitalisasi sehingga mampu menjadi organ organisasi demi optimalisasi dan sustainability kinerja BRK.

Penutup

Sesungguhnya masih terdapat masalah-masalah lain di Bank Riaukepri, seperti persoalan strategic management, legal risk, faktor permodalan dan rentabilitas, masalah internal dana pensiun dan remunerasi serta produktivitas pekerja, tetapi yang tergolong critically strategic adalah tiga poin disebut di atas.

Dari sisi manajerial, pengurus BRK seyogyanya memberikan perhatian lebih terhadap persoalan sumber dana dan peningkatan kualitas kredit.

Pemilik saham, khususnya Pemprov Riau sebagai pemegang saham terbesar, 43.79 persen, perlu sesegera mungkin memanggil RUPS LB untuk menuntaskan pengisian Dirut BRK dan penyempurnaan Dewan Komisaris dengan mengedepankan aspek-aspek profesionalisme dibanding aspek kedekatan dan primordial.

Dalam setiap penundaan terkandung biaya yang harus ditanggung BRK dan pemilik saham. Karena itu, lebih baik, lebih cepat.***(ak27)



Viator Butarbutar
Wakil Ketua Umum Kadin Riau


http://ak27protect.blogspot.com

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN