[ArtikelKeren] PSIKOLOGI - Orangtua yang menerapkan batasan dalam pengasuhan anak, kecil kemungkinannya memiliki anak perokok, terlepas dari latar belakang etnis dan ras. Demikian hasil studi terbaru di Amerika Serikat yang diterbitkan online di jurnal Pediatric Psychology.
Para peneliti melakukan survei di sekolah kelas menengah bawah dengan latar belakang beragam. Hasilnya, orangtua yang menerapkan pola asuh "otoriter" dan terstruktur, cenderung memiliki anak yang tidak merokok saat remaja.
"Studi ini melihat seberapa spesifik strategi pengasuhan bisa membantu melindungi anak-anak dari perilaku coba-coba merokok," ungkap Cassandra Stanton, asisten profesor departemen onkologi di Georgetown University, yang memimpin penelitian.
Studi ini berlangsung dengan melibatkan responden dari kalangan urban multi-etnis berpendapatan rendah. Berbeda dengan kebanyakan penelitian yang umumnya melibatkan responden kalangan menengah dan orang kulit putih.
Stanton mengatakan penting untuk mengindentifikasi cara membantu orangtua mencegah anak-anak mereka merokok. Kebanyakan perokok mulai mencoba merokok di usia 18.
Penelitian terdahulu telah menemukan keterkaitan antara disiplin rendah, minimnya perhatian orangtua, dengan tingginya risiko merokok pada anak. Sementara Stanton dan tim peneliti menemukan bahwa orangtua cenderung mengendalikan anaknya dalam pengasuhan, biasanya menerapkan aturan tegas, punya jam malam, dan mengatur waktu tidur lebih memahami strategi pengasuhan anti-tembakau, dibandingkan orangtua yang menerapkan pola asuh kurang ketat.
Strategi pengasuhan anti-tembakau ini juga mencakup pemberian hukuman pada anak yang tertangkap basah merokok. Orangtua yang menerapkan strategu ini juga biasanya mengajak anak membahas apa motivasi merokok sekaligus menjelaskan bahaya merokok.
Menurut para peneliti, riset yang dilakukan kepada sampel multi-etnis ini sekaligus juga menunjukkan perbedaan budaya tidak berdampak pada efektivitas strategi pengasuhan model ini.
Menurut Stanton, orangtua perlu berperan aktif dalam melindungi anak-anak mereka dari kecanduan terhadap rokok.
"Menerapkan dan menegakkan standar jelas dalam berperilaku dan aktif memonitoring dan mengawasi aktivitas remaja merupakan strategi penting untuk melindungi anak-anak muda dari perilaku berisiko," ungkapnya.
Ia melanjutkan, orangtua juga perlu berbicara terbuka dengan anak mengenai risiko tembakau, sembari menerapkan aturan jelas dan konsekuensi spesifik terkait dengan rokok dan merokok. Cara ini menurunya bisa melindungi anak dari upaya percobaan merokok juga mencegah mereka kecanduan merokok.
Untuk mendapatkan hasil temuan ini, tim peneliti melibatkan 459 murid berusia sekitar 13-14 tahun. Mereka berasal dari kelas ekonomi menengah bawah. Para murid ini 29 persennya adalah hispanik, 34 persen Afrika-Amerika, 17 persen non-hispanik, dan 20 persen campuran.
Para murid ini menjalani survei komprehensif di kelas atas se-izin orangtua. Survei tersebut menyangkut riwayat merokok pada anak, termasuk menanyakan apakah orangtua mereka merokok atau tidak. Para peneliti juga menanyakan mengenai gaya pola asuh di rumah, seperti disiplin dan lainnya. Para murid juga diminta menyampaikan apakah bersedia menerima hukuman juga mendapatkan pengetahuan mengenai bahaya merokok, jika ketahuan merokok.
Para peneliti kemudian mengamati responden selama empat tahun untuk menguji apakah para murid tersebut merokok atau tidak.
Meski tak terlibat dalam penelitian, Heather Patrick dari Health Behaviors Research Branch of the National Cancer Institute, meyakini stuktur dan otoritas yang diterapkan dalam pengasuhan merupakan cara penting mencegah anak merokok. Namun memang pengasuhan tegas semacam ini bisa menimbulkan stres dan masalah dalam hubungan orangtua-anak. (ak27)
Para peneliti melakukan survei di sekolah kelas menengah bawah dengan latar belakang beragam. Hasilnya, orangtua yang menerapkan pola asuh "otoriter" dan terstruktur, cenderung memiliki anak yang tidak merokok saat remaja.
"Studi ini melihat seberapa spesifik strategi pengasuhan bisa membantu melindungi anak-anak dari perilaku coba-coba merokok," ungkap Cassandra Stanton, asisten profesor departemen onkologi di Georgetown University, yang memimpin penelitian.
Studi ini berlangsung dengan melibatkan responden dari kalangan urban multi-etnis berpendapatan rendah. Berbeda dengan kebanyakan penelitian yang umumnya melibatkan responden kalangan menengah dan orang kulit putih.
Stanton mengatakan penting untuk mengindentifikasi cara membantu orangtua mencegah anak-anak mereka merokok. Kebanyakan perokok mulai mencoba merokok di usia 18.
Penelitian terdahulu telah menemukan keterkaitan antara disiplin rendah, minimnya perhatian orangtua, dengan tingginya risiko merokok pada anak. Sementara Stanton dan tim peneliti menemukan bahwa orangtua cenderung mengendalikan anaknya dalam pengasuhan, biasanya menerapkan aturan tegas, punya jam malam, dan mengatur waktu tidur lebih memahami strategi pengasuhan anti-tembakau, dibandingkan orangtua yang menerapkan pola asuh kurang ketat.
Strategi pengasuhan anti-tembakau ini juga mencakup pemberian hukuman pada anak yang tertangkap basah merokok. Orangtua yang menerapkan strategu ini juga biasanya mengajak anak membahas apa motivasi merokok sekaligus menjelaskan bahaya merokok.
Menurut para peneliti, riset yang dilakukan kepada sampel multi-etnis ini sekaligus juga menunjukkan perbedaan budaya tidak berdampak pada efektivitas strategi pengasuhan model ini.
Menurut Stanton, orangtua perlu berperan aktif dalam melindungi anak-anak mereka dari kecanduan terhadap rokok.
"Menerapkan dan menegakkan standar jelas dalam berperilaku dan aktif memonitoring dan mengawasi aktivitas remaja merupakan strategi penting untuk melindungi anak-anak muda dari perilaku berisiko," ungkapnya.
Ia melanjutkan, orangtua juga perlu berbicara terbuka dengan anak mengenai risiko tembakau, sembari menerapkan aturan jelas dan konsekuensi spesifik terkait dengan rokok dan merokok. Cara ini menurunya bisa melindungi anak dari upaya percobaan merokok juga mencegah mereka kecanduan merokok.
Untuk mendapatkan hasil temuan ini, tim peneliti melibatkan 459 murid berusia sekitar 13-14 tahun. Mereka berasal dari kelas ekonomi menengah bawah. Para murid ini 29 persennya adalah hispanik, 34 persen Afrika-Amerika, 17 persen non-hispanik, dan 20 persen campuran.
Para murid ini menjalani survei komprehensif di kelas atas se-izin orangtua. Survei tersebut menyangkut riwayat merokok pada anak, termasuk menanyakan apakah orangtua mereka merokok atau tidak. Para peneliti juga menanyakan mengenai gaya pola asuh di rumah, seperti disiplin dan lainnya. Para murid juga diminta menyampaikan apakah bersedia menerima hukuman juga mendapatkan pengetahuan mengenai bahaya merokok, jika ketahuan merokok.
Para peneliti kemudian mengamati responden selama empat tahun untuk menguji apakah para murid tersebut merokok atau tidak.
Meski tak terlibat dalam penelitian, Heather Patrick dari Health Behaviors Research Branch of the National Cancer Institute, meyakini stuktur dan otoritas yang diterapkan dalam pengasuhan merupakan cara penting mencegah anak merokok. Namun memang pengasuhan tegas semacam ini bisa menimbulkan stres dan masalah dalam hubungan orangtua-anak. (ak27)
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.