Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Senin, 06 Januari 2014

Berharap DBH dari CPO

Senin, Januari 06, 2014 By Unknown No comments

Oleh : Zulher


[ArtikelKeren] OPINI - Bila dilihat dari udara, maka tentu akan tersaksikan bentangan perkebunan kelapa sawit yang menghampar di tanah Provinsi Riau. Di sanalah, sebagian besar petani negeri ini mengukuhkan pendapatan ekonomi.

Dari bentangan perkebunan rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan negara itulah yang diolah menjadi minyak kelapa sawit alias Crude Palm Oil (CPO) untuk diekspor ke luar negeri.

Pada 2012, bea keluar CPO Indonesia mencapai angka Rp29 triliun. Dari angka itu, bea keluar CPO dari Riau mencapai Rp13 triliun.

Angka tersebut membuktikan bahwa nilai pendapatan negara dari bea keluar CPO — sebagai hasil dari salah satu komoditas subsektor perkebunan — relatif besar. Hanya saja, dari besaran angka yang masuk ke “kantong” sumber pendapatan negara itu, adakah yang kembali ke Riau secara khusus dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH)?

Jawaban pastinya, sejauh ini tidak ada sama sekali. Padahal disisi lain, Riau merupakan “penyumbang” terbesar untuk bea keluar CPO.

Bahwa Provinsi Riau merupakan kawasan perkebunan terluas kelapa sawitnya dibandingkan kawasan perkebunan kelapa sawit di provinsi lainnya, tentu tidak bisa dinafikan.

Luas areal perkebunan kelapa sawit di Negeri Lancang Kuning mencapai 2.258.553 Ha atau 26,52 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit secara nasional.

Dari luasan tersebut, seluas 1.205.498 Ha (53 persen) merupakan perkebunan rakyat. Selebihnya, dikuasai oleh perkebunan perusahaan swasta yakni seluas 905.979 Ha (43 persen), dan perusahaan besar negara seluas 79.545 Ha (4 persen).

Di negeri ini, juga terdapat 174 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit.

Semua tentu maklum, CPO kelapa sawit merupakan di antara sumber devisa negara di mana daerah penghasil idealnya juga memiliki hak atasnya.

Maka selayaknya pula, subsektor perkebunan khususnya kelapa sawit, dalam konteks dana bagi hasil juga dipersamakan dengan enam jenis sumber daya alam lainnya yang masuk dalam perhitungan DBH antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Di berbagai forum pembahasan tuntutan bagi hasil bea keluar CPO, saya seringkali menekankan, bahwa keinginan berupa “tuntutan” DBH dari bea keluar CPO ke pemerintah pusat, lebih menyangkut tatanan berkeadilan dalam bernegara, pasca negara ini masuk dalam era desentralisasi (otonomi daerah).

Tuntutan DBH dari bea keluar CPO, dalam hemat pandang saya, juga perlu direalisasikan sebagai kompensasi “penyelamatan” terhadap devisa negara oleh hasil bumi dari subsektor perkebunan yang dihasilkan daerah.

Semua kita tentu mafhum, bahwa subsektor perkebunan, terutama kelapa sawit dan karet merupakan di antara sumber pendapatan negara sebagai penyeimbang devisa terhadap defisitnya neraca perdagangan akibat impor pada sektor lainnya, yakni minyak dan gas bumi (Migas).

Tentang berapa nilai DBH yang layak dari bea keluar CPO, tentu memang memerlukan pengkajian. Tapi yang terpenting terlebih dahulu adalah komitmen untuk “berkeadilannya” pemerintah pusat terhadap daerah penghasil SDA.

Sejauh ini, memang belum ada satu regulasi pun yang memperbolehkan Riau dan 17 provinsi penghasil kelapa sawit lainnya untuk “diperkenankan” mendapatkan DBH dari bea keluar CPO.

Akan tetapi, bukannya tidak bisa. Sebab, selama ada political will dari pemerintah pusat, tentu harapan dari daerah akan dapat diwujudkan.

Pada konteks kekinian, yang mendesak untuk dilakukan —guna memenuhi harapan dan keinginan 18 provinsi penghasil kelapa sawit— adalah dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 33/ 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terutama Pasal 11 dan pasal-pasal lain yang berkaitan dengannya.

Dalam pemahaman saya, pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 33/2004 belum mengakomodir subsektor perkebunan pada konteks dana bagi hasil.

Dalam Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dana bagi hasil bersumber dari pajak dan SDA.

Sedangkan untuk dana bagi hasil dari pajak, sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 11 ayat (2), terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

Sementara dana bagi hasil yang bersumber dari SDA, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (3) adalah kehutanan; pertambangan umum; perikanan; pertambangan minyak bumi; pertambangan gas bumi; dan pertambangan panas bumi.

Lalu, di mana subsektor perkebunannya? Tidak ada pengaturannya dalam undang-undang tersebut. Padahal, dalam hemat saya, dana bagi hasil dari sektor perkebunan —misalnya dari bea keluar CPO— sangat wajar diperoleh daerah penghasil.

Itu menyangkut kompensasi yang berkeadilan dalam era otonomi daerah. Jadi, bila muncul “teriakan” dari Provinsi Riau serta 17 provinsi penghasil kelapa sawit lainnya yang menuntut DBH dari bea keluar CPO, hal itu jelas saja merupakan tuntutan yang sangat berdasar dan mendasar.

Dana bagi hasil dari bea keluar CPO, oleh seluruh daerah penghasil kelapa sawit, kini telah menjadi tuntutan bersama. Wacananya sudah mulai mengemuka sejak awal-awal abad “milenium”, yakni di tahun 2001 silam.

Namun, tuntutan daerah yang lebih serius dan menjurus, mulai lebih intensif dalam dua tahun terakhir dengan dibahasnya dalam berbagai pertemuan khusus —baik antarpemerintah kabupaten maupun antarpemerintah provinsi penghasil komoditas kelapa sawit di Indonesia, serta berbagai forum lainnya— dengan menyuarakan tuntutan yang sama: yakni adanya perimbangan bagi hasil antara pusat dan daerah yang bersifat proporsional dari bea keluar CPO.

Tuntutan itu terbingkai dalam frame kompensasi berkeadilan di era desentralisasi.

Soal pemanfaatan DBH dari pajak ekspor CPO, jelas saja akan termanfaat sebagai penopang dalam pembangunan daerah, yang di dalamnya termasuk pembangunan perkebunan rakyat.

Pada tataran kekinian, Riau bersama 17 provinsi berkomoditas kelapa sawit dihadapkan pada kerusakan infrastruktur, lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, lahan serta hal lain akibat pengelolaan usaha subsektor perkebunan khususnya kelapa sawit.

Oleh karenanya, 18 provinsi penghasil komoditas kelapa sawit merasa layak untuk mendapatkan dana bagi hasil dari bea keluar CPO, yang di antaranya untuk kepentingan pembinaan dan pengelolaan usaha subsektor perkebunan seperti infrastruktur, pengembangan SDM petani maupun hal lainnya.

Semoga di tahun ini, kita sudah akan dihadapkan kepada sikap dan komitmen nyata pemerintah pusat yang mengakomodir kehendak daerah-daerah penghasil kelapa sawit dalam tuntutan dana bagi hasil dari bea keluar CPO.***(ak27)



Zulher
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau


0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN