Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Sabtu, 28 Desember 2013

Tsunami Aceh dan Tamsil Melawan Lupa

Sabtu, Desember 28, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Redaksi


[ArtikelKeren] TAJUK RENCANA - SEMBILAN tahun lalu, 26 Desember 2004, kita akan selalu ingat tentang bencana dahsyat yang terjadi di provinsi paling barat republik ini, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Didahului gempa dahsyat berkekuatan 9,1 skala Richter, air bah tsunami datang menggulung sebagian Kotaraja Banda Aceh, Lokseumawe, Meulaboh, dan kota-kota pesisir lainnya di sana. Banda Aceh dan Meulaboh menjadi kota yang terparah. Tercatat, lebih 126 ribu orang tewas dalam bencana ini.

Aceh, yang di masa Orde Baru menjadi daerah paling terluka setelah diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) angkat senjata menawarkan separatisme, harus menghadapi luka kemanusiaan paling besar dalam sejarah bencana di Indonesia. Dunia secara luas bersimpati. Bantuan kemanusiaan dari berbagai daerah di Indonesia dan dari berbagai negara di dunia, datang silih-berganti. Amerika Serikat (AS), beberapa kali mengirimkan kapal tankernya yang berisi bantuan kemanusiaan, juga negara-negara besar lainnya seperti Rusia, Prancis, Inggris, Jerman, negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Iran, Turki, atau negara sahabat yang sejak lama menjadi karib Indonesia: India, Mesir, Malaysia, Singapura, dan lain-lain. Sejenak, kita melupakan perbedaan politik, agama, suku, ras dan sebagainya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika itu langsung turun beberapa hari di Aceh. Dia memerintahkan Menkokesra Alwi Shihab untuk berkantor di Banda Aceh, yakni di Pendopo Gubernuran. Di tempat itu, ribuan relawan dari berbagai daerah, berbagai organisasi, berbagai negara, berbagai kepentingan, tinggal bersama, makan antri di dapur umum, tidur di masjid kecil atau tenda-tenda darurat yang dibuat di sana. Dalam kondisi seperti itu, benar, tak ada lagi yang mau membicarakan tentang perbedaan agama, politik, kepentingan, suku, dan segala perbedaan lainnya. Semua orang yang berada di sana berpikir bagaimana membantu mengevakuasi korban, ada yang berpikir membuat sumur bor untuk air bersih, membuat radio sebagai media hiburan masyarakat yang berada di tenda-tenda, atau yang lebih jauh dan luas lagi: berpikir tentang masa depan para korban hidup yang masih trauma dengan segala luka tubuh dan batin yang sangat membekas. Banyak LSM yang datang, duduk bersama pemerintah berpikir bagaimana masa depan Aceh pasca-bencana itu.

Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsudin, yang menjadi khatib saat salat Jumat pertama pasca-tsunami di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, mengajak masyarakat Aceh agar tak meratap terus dan menyalahkan Tuhan atas bencana itu. Dia meminta masyarakat agar pelan-pelan melupakan tragedi itu, dan bersama-sama bangkit dari kehancuran dan reruntuhan itu untuk membangun Aceh agar kembali seperti sebelum gempa dan tsunami datang.

Kini, setelah 9 tahun, setelah triliunan rupiah dikucurkan untuk membangun Aceh hampir di semua sektor, luka dan rasa sakit akibat bencana itu masih terasa. Di Monumen PLTD Apung, Kamis (26/12) lalu ribuan warga Banda Aceh berzikir dan doa bersama untuk mengenang para kerabat mereka yang menjadi korban keganasan gempa dan air laut tersebut. Dalam doa-doa yang mereka panjatkan itu, terselip harapan-harapan di masa datang agar mereka yang hidup mampu keluar dari masa-masa buruk tersebut. Harapan-harapan yang pernah disampaikan oleh Din Syamsuddin agar masyarakat bangkit dari keterpurukan, menganggap bencana sebagai ujian dari Tuhan, dan bukan sebagai hukuman atau kutukan.

Adalah tugas negara/pemerintah untuk terus memperbaiki semua infrastruktur yang rusak, meyakinkan masyarakat bahwa ada masa depan lebih baik dari hari ini, dan tetap memberi semangat secara psikologis bahwa kenangan-kenangan buruk di masa lalu bisa menjadi jembatan untuk kembali tegak, bekerja keras, dan menatap hari esok dengan penuh optimisme. Apa yang terjadi di Aceh 9 tahun lalu adalah bencana kita bersama, sakit kita bersama, luka kita bersama. Seperti yang dikatakan Ernest Renan, bahwa rasa kebangsaan adalah suatu solidaritas, suatu jiwa, suatu asa spiritual, suatu solidaritas yang dapat tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah lampau dan bersedia dibuat di masa yang akan datang.***(ak27)

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN