Oleh : Anton Kurnia
[ArtikelKeren] OPINI - Sebagaimana diketahui bahwa ilmu ekonomi adalah kajian bagaimana masyarakat menggunakan sumber daya alam (natural resources) yang langka untuk memproduksi komoditi-komoditi berharga dan mendistribusikannya kepada masyarakat.
Kata kuncinya adalah efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan dari sumber-sumber daya alam tersebut, sehingga terjadi pertumbuhan dan penciptaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang berakibat terciptanya daya beli yang tinggi; unsur modal (capital) sangat dominan dalam hal ini.
Sejak diterbitkannya buku The Wealth of Nations yang ditulis oleh Adam Smith tahun 1776 yang merupakan peletak prinsip dasar perkembangan ilmu ekonomi.
Sejarah perkembangan ekonomi dunia cenderung fluktuatif dan unpredictable sesuai dengan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya.
Perkembangan ilmu ekonomi yang revolusioner terjadi sejak John Maynard Keynes mempublikasikan General Theory of Employment, Interest and Money pada tahun 1935, di mana beliau mengintrodusir faktor bunga (interest) dalam model ekonomi makro.
Sehingga dibentuklah instrumen bank sentral untuk mengatur flow and velocity of money di suatu negara atau wilayah sebagai akibat dari munculnya konsep time value of money (interest) tersebut.
Kebijakan utama (main policies) dalam pengelolaan bank sentral adalah: Pertama, operasi pasar terbuka (open market policy) yang antara lain dilakukan melalui membeli atau menjual surat berharga (obligasi atau saham) di pasar bebas untuk mempengaruhi tingkat cadangan devisa bank sentral.
Kedua, kebijakan tingkat diskonto (discount rate policy) dilakukan dengan penetapan tingkat suku bunga bank sentral yang dijadikan acuan oleh perbankan di wilayah tersebut baik dalam hal suku bunga kredit maupun suku bunga deposito; melalui pengkondisian bank komersil dan institusi penyimpanan lainnya meminjam cadangan (security deposit) dari bank sentral tersebut.
Ketiga, kebijakan persyaratan cadangan (reserve requaire policy) melalui menentukan dan mengubah persyaratan rasio cadangan legal (capital adequacy ratio) pada deposit bank kormersil dan institusi keuangan lainnya di bank sentral tersebut.
Namun kesalahan fatalnya adalah kesemua teori di atas terutama penemuan faktor bunga (interest) dalam penilaian nilai uang sebagai alat tukar; dalam kaitannya dengan bank sentral -cadangan (reserve) yang dipersyaratkan dalam penentuan faktor interest tadi tetap dalam bentuk sertifikat obligasi (yang bertumpuk-tumpuk dan berlembar-lembar) yang secara intrinsik tidak bernilai sama sekali yang disimpan di main deposit box bank sentral. Inilah yang menjadi pokok pangkal permasalahan krisis ekonomi global selama ini; terutama dalam mengatur lalu lintas dan nilai tukar (kurs) antar negara.
Mengapa begitu? Hal ini disebabkan karena tidak ada standar yang baku dalam menentukan kekuatan mata uang suatu negara karena sama-sama berdasarkan cadangan (reserve) sertifikat obligasi yang terbuat dari kertas tidak berharga.
Sebetulnya kalau mau lebih fair, JM Keynes ketika menemukan teori interest (bunga) dalam model ekonomi makro –seharusnya menetapkan ketersediaan sumber daya alam (natural reseouces – emas misalnya) suatu wilayah atau negara sebagai acuan atau standar dalam penilaian interest; sehingga lebih mencerminkan kekuatan ekonomi dari negara tersebut.
Namun karena JM Keynes berasal dari Eropa dengan natural resources (sumber daya alam) yang terbatas, sementara di wilayah lain (Asia dan Afrika) berlimpah ketersediaan sumber daya alam tersebut (emas).
Maka dijadikanlah hanya sertifikat obligasi yang terbuat dari kertas yang dipersyaratkan sebagai cadangan (reserve) di bank sentral tersebut; untuk kemudian teori ini disebarkan ke seluruh penjuru dunia.
Solusi Permasalahan
Akibat teori yang dimunculkan oleh JM Keynes di atas serta implikasinya yang cukup luas dan panjang terhadap krisis ekonomi dunia; sebaiknya Bank Dunia (World Bank) sebagai institusi lembaga perbankan dunia yang berpusat di New York, lebih bersikap lembut (soft) dan wajar (fair) terhadap negara terkebelakang (undeveloped countries) dan negara berkembang (developing countries) sebagai bentuk balas budi atas dosa-dosa (sins) yang selama ini telah mereka lakukan terhadap dunia ketiga melalui pengerukan sumber daya alam di dunia ketiga tersebut –dengan skenario krisis ekonomi yang mereka ciptakan.
Sedangkan untuk negara-negara maju (AS dan Yunani misalnya) yang mengalami krisis –World Bank lebih banyak untuk mengkampanyekan dan memfasilitasi mutual understanding di antara petinggi bank sentral di negara-negara tersebut sehingga tercapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak dalam pelunasan hutang obligasi yang jatuh tempo dimana akan berimplikasi pada penentuan suku bunga di masing-masing negara yang mengalami krisis tersebut.
Khusus untuk Indonesia, sebaiknya pemerintah berusaha meminta penghapusan utang jangka panjang warisan pemerintahan sebelumnya kepada kreditor melalui fasilitas odious debt (utang najis) yang terus membebani kita.
Kalau bisa 30 persen dari total utang warisan pemerintah sebelumnya bisa dihapuskan oleh lembaga pemberi pinjaman internasional.
Brazil sudah memanfaatkan fasilitas ini sehingga mereka bisa agak bernafas lega dari krisis ekonomi yang membebaninya.
Dalam mengatasi defisit transaksi berjalan dalam kaitannya dengan ekspor dan impor (karena keperluan akan dolar) sehingga mempengaruhi neraca perdagangan kita, di mana berimplikasi pada cadangan devisa kita.
Yang mengharuskan kita untuk terus menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) yang berupa kontijensi jangka panjang (20 – 25 tahun) di mana sebagian besar dimiliki oleh asing; dikhawatirkan ketika jatuh tempo secara bersamaan kita akan membuat utang yang lebih besar lagi (cummulative debt) untuk melunasinya.
Sebaiknya beban utang itu dibagi dengan sektor swasta yang lebih dominan memerlukan dolar terutama industri manufaktur yang memerlukan barang spare part sebagai bahan baku (raw material).
Solusinya adalah jaminan (security deposit) untuk penerbitan L/C yang akan dipersyaratkan dalam transaksi perdagangan internasional (terutama untuk barang impor) dengan Indonesia diusahakan dalam mata uang rupiah secara proporsional.
Sedangkan dana-dana asing yang didapat dari ekspor, sebaiknya diupayakan agar diletakkan di bank-bank dalam negeri dan tidak lagi diparkir di luar negeri (Singapura misalnya).
Bank Indonesia dapat menerbitkan regulasi untuk mendukung kebijakan ini dengan dimotori oleh bank-bank BUMN. Diharapkan dengan semua langkah-langkah di atas, beban utang kita semakin berkurang dan rupiah kita akan semakin kuat.
Akhirnya, memang kesemuanya ini memerlukan pikiran yang jernih dan hati yang lapang dari semua pihak untuk bisa berdamai dan menerima solusi yang ditawarkan – sehingga kita bisa keluar dari krisis yang ada.
Yang pada akhirnya diharapkan ekonomi global, regional serta nasional tidak terus dalam kondisi over heated (panas), sebagai manifestasi dari motto pertemuan APEC di Bali baru-baru ini. Asia Pasific: Resilence of Global Economics Growth.***(ak27/rp)
Anton Kurnia
Staf pada Biro Keuangan Pemprov Riau
Kata kuncinya adalah efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan dari sumber-sumber daya alam tersebut, sehingga terjadi pertumbuhan dan penciptaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang berakibat terciptanya daya beli yang tinggi; unsur modal (capital) sangat dominan dalam hal ini.
Sejak diterbitkannya buku The Wealth of Nations yang ditulis oleh Adam Smith tahun 1776 yang merupakan peletak prinsip dasar perkembangan ilmu ekonomi.
Sejarah perkembangan ekonomi dunia cenderung fluktuatif dan unpredictable sesuai dengan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya.
Perkembangan ilmu ekonomi yang revolusioner terjadi sejak John Maynard Keynes mempublikasikan General Theory of Employment, Interest and Money pada tahun 1935, di mana beliau mengintrodusir faktor bunga (interest) dalam model ekonomi makro.
Sehingga dibentuklah instrumen bank sentral untuk mengatur flow and velocity of money di suatu negara atau wilayah sebagai akibat dari munculnya konsep time value of money (interest) tersebut.
Kebijakan utama (main policies) dalam pengelolaan bank sentral adalah: Pertama, operasi pasar terbuka (open market policy) yang antara lain dilakukan melalui membeli atau menjual surat berharga (obligasi atau saham) di pasar bebas untuk mempengaruhi tingkat cadangan devisa bank sentral.
Kedua, kebijakan tingkat diskonto (discount rate policy) dilakukan dengan penetapan tingkat suku bunga bank sentral yang dijadikan acuan oleh perbankan di wilayah tersebut baik dalam hal suku bunga kredit maupun suku bunga deposito; melalui pengkondisian bank komersil dan institusi penyimpanan lainnya meminjam cadangan (security deposit) dari bank sentral tersebut.
Ketiga, kebijakan persyaratan cadangan (reserve requaire policy) melalui menentukan dan mengubah persyaratan rasio cadangan legal (capital adequacy ratio) pada deposit bank kormersil dan institusi keuangan lainnya di bank sentral tersebut.
Namun kesalahan fatalnya adalah kesemua teori di atas terutama penemuan faktor bunga (interest) dalam penilaian nilai uang sebagai alat tukar; dalam kaitannya dengan bank sentral -cadangan (reserve) yang dipersyaratkan dalam penentuan faktor interest tadi tetap dalam bentuk sertifikat obligasi (yang bertumpuk-tumpuk dan berlembar-lembar) yang secara intrinsik tidak bernilai sama sekali yang disimpan di main deposit box bank sentral. Inilah yang menjadi pokok pangkal permasalahan krisis ekonomi global selama ini; terutama dalam mengatur lalu lintas dan nilai tukar (kurs) antar negara.
Mengapa begitu? Hal ini disebabkan karena tidak ada standar yang baku dalam menentukan kekuatan mata uang suatu negara karena sama-sama berdasarkan cadangan (reserve) sertifikat obligasi yang terbuat dari kertas tidak berharga.
Sebetulnya kalau mau lebih fair, JM Keynes ketika menemukan teori interest (bunga) dalam model ekonomi makro –seharusnya menetapkan ketersediaan sumber daya alam (natural reseouces – emas misalnya) suatu wilayah atau negara sebagai acuan atau standar dalam penilaian interest; sehingga lebih mencerminkan kekuatan ekonomi dari negara tersebut.
Namun karena JM Keynes berasal dari Eropa dengan natural resources (sumber daya alam) yang terbatas, sementara di wilayah lain (Asia dan Afrika) berlimpah ketersediaan sumber daya alam tersebut (emas).
Maka dijadikanlah hanya sertifikat obligasi yang terbuat dari kertas yang dipersyaratkan sebagai cadangan (reserve) di bank sentral tersebut; untuk kemudian teori ini disebarkan ke seluruh penjuru dunia.
Solusi Permasalahan
Akibat teori yang dimunculkan oleh JM Keynes di atas serta implikasinya yang cukup luas dan panjang terhadap krisis ekonomi dunia; sebaiknya Bank Dunia (World Bank) sebagai institusi lembaga perbankan dunia yang berpusat di New York, lebih bersikap lembut (soft) dan wajar (fair) terhadap negara terkebelakang (undeveloped countries) dan negara berkembang (developing countries) sebagai bentuk balas budi atas dosa-dosa (sins) yang selama ini telah mereka lakukan terhadap dunia ketiga melalui pengerukan sumber daya alam di dunia ketiga tersebut –dengan skenario krisis ekonomi yang mereka ciptakan.
Sedangkan untuk negara-negara maju (AS dan Yunani misalnya) yang mengalami krisis –World Bank lebih banyak untuk mengkampanyekan dan memfasilitasi mutual understanding di antara petinggi bank sentral di negara-negara tersebut sehingga tercapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak dalam pelunasan hutang obligasi yang jatuh tempo dimana akan berimplikasi pada penentuan suku bunga di masing-masing negara yang mengalami krisis tersebut.
Khusus untuk Indonesia, sebaiknya pemerintah berusaha meminta penghapusan utang jangka panjang warisan pemerintahan sebelumnya kepada kreditor melalui fasilitas odious debt (utang najis) yang terus membebani kita.
Kalau bisa 30 persen dari total utang warisan pemerintah sebelumnya bisa dihapuskan oleh lembaga pemberi pinjaman internasional.
Brazil sudah memanfaatkan fasilitas ini sehingga mereka bisa agak bernafas lega dari krisis ekonomi yang membebaninya.
Dalam mengatasi defisit transaksi berjalan dalam kaitannya dengan ekspor dan impor (karena keperluan akan dolar) sehingga mempengaruhi neraca perdagangan kita, di mana berimplikasi pada cadangan devisa kita.
Yang mengharuskan kita untuk terus menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) yang berupa kontijensi jangka panjang (20 – 25 tahun) di mana sebagian besar dimiliki oleh asing; dikhawatirkan ketika jatuh tempo secara bersamaan kita akan membuat utang yang lebih besar lagi (cummulative debt) untuk melunasinya.
Sebaiknya beban utang itu dibagi dengan sektor swasta yang lebih dominan memerlukan dolar terutama industri manufaktur yang memerlukan barang spare part sebagai bahan baku (raw material).
Solusinya adalah jaminan (security deposit) untuk penerbitan L/C yang akan dipersyaratkan dalam transaksi perdagangan internasional (terutama untuk barang impor) dengan Indonesia diusahakan dalam mata uang rupiah secara proporsional.
Sedangkan dana-dana asing yang didapat dari ekspor, sebaiknya diupayakan agar diletakkan di bank-bank dalam negeri dan tidak lagi diparkir di luar negeri (Singapura misalnya).
Bank Indonesia dapat menerbitkan regulasi untuk mendukung kebijakan ini dengan dimotori oleh bank-bank BUMN. Diharapkan dengan semua langkah-langkah di atas, beban utang kita semakin berkurang dan rupiah kita akan semakin kuat.
Akhirnya, memang kesemuanya ini memerlukan pikiran yang jernih dan hati yang lapang dari semua pihak untuk bisa berdamai dan menerima solusi yang ditawarkan – sehingga kita bisa keluar dari krisis yang ada.
Yang pada akhirnya diharapkan ekonomi global, regional serta nasional tidak terus dalam kondisi over heated (panas), sebagai manifestasi dari motto pertemuan APEC di Bali baru-baru ini. Asia Pasific: Resilence of Global Economics Growth.***(ak27/rp)
Anton Kurnia
Staf pada Biro Keuangan Pemprov Riau
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.