Oleh : Bambang R Rustam
[ArtikelKeren] OPINI - Tahun 2013 merupakan sebuah tahun yang dapat dikatakan sangat strategis bagi perkembangan lembaga keuangan mikro di Indonesia ke depan.
Mengapa dikatakan strategis? Karena di tahun inilah lahir Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Dengan telah terbitnya UU ini maka Lembaga Keuangan mikro (LKM) sebagai sebuah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelola simpanan, maupun pemberian jasa konsultansi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan telah memiliki dasar hukum yang jelas.
Bicara LKM maka untuk konteks Provinsi Riau tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED SP) yang saat ini memiliki fungsi strategis dalam mengurangi kemiskinan di Riau.
Dalam hal pengembangan UED SP dan BUMDES ini Provinsi Riau dapat penulis kategorikan cukup sukses dalam melahirkan dan mengembangkan LKM ini sebagai pilar ekonomi dan pilar sosial di seluruh desa/ kelurahan di Provinsi Riau.
Bagaimana tidak. Saat ini saja Provinsi Riau memiliki 1.843 desa. Dari jumlah desa tersebut tercatat 989 desa telah memiliki Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED SP).
Dengan demikian 854 desa (46,3 persen) masih tercatat belum menerima dana UED SP. Data Bapemas Bangdes terbaru menyebutkan bahwa melalui UED SP yang telah didirikan tersebut telah disalurkan Rp456 miliar di mana Rp210 miliar untuk 422 desa dananya bersumber dari dana provinsi dan Rp245 miliar untuk 567 desa berasal dari dana kabupaten/ kota.
Alokasi dana yang cukup besar ini dengan putaran sampai dengan Rp1,3 triliun ini ke depan tentu saja diprediksi akan semakin memerlukan profesionalisme sumber daya insaninya terkait dengan keperluan LKM sebagai lembaga bisnis dan ekonomi yang harus mampu menampilkan kinerja dan akuntabilitas pengelolaan yang baik untuk menghindari terjadinya moral hazard dari pengelola maupun penggunanya. Mengapa?
Pengalaman Riau dalam menyalurkan pinjaman modal ekonomi kerakyatan satu dekade yang lalu membuktikan bahwa hambatan terberat dalam pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan dalam aspek finansial adalah adanya persepsi masyarakat yang sering menganggap dana tersebut adalah dana hibah sehingga dana pemerintah tersebut tidak perlu dikembalikan.
Di sinilah letak peranan penting dari para pendamping desa ke depan untuk senantiasa bekerja keras meluruskan dan memberikan persuasive edukatif sehingga pada akhirnya masyarakat benar-benar memahami bahwa dana ini sebenarnya berasal dari masyarakat oleh masyarakat dan kembalinya adalah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat itu sendiri.
Untuk itu penulis memberikan apresiasi kepada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pengembangan Desa (BPM Bangdes) Riau yang sampai hari ini masih bisa menjaga persentase pengembalian dana masyarakat pada UED SP ini pada angka 96 persen.
Pencapaian ini dapat dikatakan cukup baik meskipun di beberapa daerah tingkat kemacetannya cukup tinggi.
Bila penulis coba membanding-banding dengan Lembaga Perekonomian Desa (LPD) Bali di mana penulis pernah melaksanakan studi mengenai LKM ini memiliki rata-rata pengembalian juga 96,14 persen.
Dengan demikian parameter pengembalian dana UED SP di Riau ini dapatlah dikatakan sukses. Jika pengembalian dananya sukses maka keinginan kita semua agar ke depan LKM ini dapat lebih bermanfaat untuk mampu mengurangi jumlah penduduk miskin, dan mengurangi jumlah pengangguran dan menekan praktik rentenir dapat diharapkan menjadi realita.
BUMDES: Pilih Koperasi atau LKM
Bila UED SP yang telah dikembangkan di Riau sejak tahun 2005 ini sukses dalam mengelola simpan pinjamnya maka maka prediksi penulis 5 tahun ke depan akan banyak UED SP yang ‘naik kelas’ menjadi BUMDES dan pilar baru ekonomi desa.
Mengapa dikatakan pilar ekonomi? karena UED dan BUMDES boleh saja berwajah lokal tetapi visinya adalah sama dengan perusahaan yang mestinya menjadikan efisiensi dan efektivitas serta urgensi pengawasan operasi menjadi sebuah bahasa yang utama di masa depan.
Oleh karena itu di tahun 2014 kesuksesan pemberdayaan LKM di Riau 2014 akan sangat tergantung dari adanya sinergi dan koordinasi kelembagaan pemerintah provinsi, DPRD, pemerintah kabupaten/ kota, perguruan tinggi, dan stake holder lainnya yang terkait untuk memikirkan pola pengawasan terbaik dalam pengembangan LKM di Riau ke depan. Agar triliunan rupiah yang telah dikucurkan tidaklah menjadi sia-sia.
Dari sisi kesiapan legalitas tahun 2014 LKM di Riau harus sudah menentukan Badan Hukum UED SP dan BUMDES apakah akan menjadi koperasi atau menjadi Perseroan Terbatas (PT).
Bila koperasi menjadi pilihan badan hukum LKM maka segmentasi bisnisnya hanya bisa dilakukan untuk anggota saja.
Namun bila ternyata LKM ini banyak melayani aspek bisnis dengan non anggota menjadi PT lebih tepat menjadi pilihan.
Setelah permasalahan legalitas, titik krusial berikutnya dari pemberdayaan LKM di Riau adalah persoalan pengawasan.
Pada UED SP misalnya titik krusial pengawasannya adalah pada saat UED SP telah mandiri dan lepas dari BPM Bangdes Provinsi Riau.
Sedangkan khusus BUMDES kita perlu memikirkan apakah pengawasan BUMDES se Riau akan disentralisasi oleh BPM Bangdes Provinsi sebagaimana UED SP ataukah dilepaskan secara mandiri kepada BPMPD kabupaten/ kota.
Hal-hal di atas perlu kita cermati lebih dalam apabila kita semua menginginkan LKM di Riau dapat berlari lebih kencang dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Oleh itu kita perlu mempersiapkan kesiapan sistem, administrasi dan prosedur serta sumber daya insaninya supaya pada akhirnya keberadaan LKM yang ada Riau dapat menjadi barokah dan bermanfaat bagi ekonomi Riau 2014. Bagaimana menurut Anda?***(ak27/rp)
Bambang R Rustam
Praktisi Perbankan
Mengapa dikatakan strategis? Karena di tahun inilah lahir Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Dengan telah terbitnya UU ini maka Lembaga Keuangan mikro (LKM) sebagai sebuah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelola simpanan, maupun pemberian jasa konsultansi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan telah memiliki dasar hukum yang jelas.
Bicara LKM maka untuk konteks Provinsi Riau tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED SP) yang saat ini memiliki fungsi strategis dalam mengurangi kemiskinan di Riau.
Dalam hal pengembangan UED SP dan BUMDES ini Provinsi Riau dapat penulis kategorikan cukup sukses dalam melahirkan dan mengembangkan LKM ini sebagai pilar ekonomi dan pilar sosial di seluruh desa/ kelurahan di Provinsi Riau.
Bagaimana tidak. Saat ini saja Provinsi Riau memiliki 1.843 desa. Dari jumlah desa tersebut tercatat 989 desa telah memiliki Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED SP).
Dengan demikian 854 desa (46,3 persen) masih tercatat belum menerima dana UED SP. Data Bapemas Bangdes terbaru menyebutkan bahwa melalui UED SP yang telah didirikan tersebut telah disalurkan Rp456 miliar di mana Rp210 miliar untuk 422 desa dananya bersumber dari dana provinsi dan Rp245 miliar untuk 567 desa berasal dari dana kabupaten/ kota.
Alokasi dana yang cukup besar ini dengan putaran sampai dengan Rp1,3 triliun ini ke depan tentu saja diprediksi akan semakin memerlukan profesionalisme sumber daya insaninya terkait dengan keperluan LKM sebagai lembaga bisnis dan ekonomi yang harus mampu menampilkan kinerja dan akuntabilitas pengelolaan yang baik untuk menghindari terjadinya moral hazard dari pengelola maupun penggunanya. Mengapa?
Pengalaman Riau dalam menyalurkan pinjaman modal ekonomi kerakyatan satu dekade yang lalu membuktikan bahwa hambatan terberat dalam pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan dalam aspek finansial adalah adanya persepsi masyarakat yang sering menganggap dana tersebut adalah dana hibah sehingga dana pemerintah tersebut tidak perlu dikembalikan.
Di sinilah letak peranan penting dari para pendamping desa ke depan untuk senantiasa bekerja keras meluruskan dan memberikan persuasive edukatif sehingga pada akhirnya masyarakat benar-benar memahami bahwa dana ini sebenarnya berasal dari masyarakat oleh masyarakat dan kembalinya adalah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat itu sendiri.
Untuk itu penulis memberikan apresiasi kepada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pengembangan Desa (BPM Bangdes) Riau yang sampai hari ini masih bisa menjaga persentase pengembalian dana masyarakat pada UED SP ini pada angka 96 persen.
Pencapaian ini dapat dikatakan cukup baik meskipun di beberapa daerah tingkat kemacetannya cukup tinggi.
Bila penulis coba membanding-banding dengan Lembaga Perekonomian Desa (LPD) Bali di mana penulis pernah melaksanakan studi mengenai LKM ini memiliki rata-rata pengembalian juga 96,14 persen.
Dengan demikian parameter pengembalian dana UED SP di Riau ini dapatlah dikatakan sukses. Jika pengembalian dananya sukses maka keinginan kita semua agar ke depan LKM ini dapat lebih bermanfaat untuk mampu mengurangi jumlah penduduk miskin, dan mengurangi jumlah pengangguran dan menekan praktik rentenir dapat diharapkan menjadi realita.
BUMDES: Pilih Koperasi atau LKM
Bila UED SP yang telah dikembangkan di Riau sejak tahun 2005 ini sukses dalam mengelola simpan pinjamnya maka maka prediksi penulis 5 tahun ke depan akan banyak UED SP yang ‘naik kelas’ menjadi BUMDES dan pilar baru ekonomi desa.
Mengapa dikatakan pilar ekonomi? karena UED dan BUMDES boleh saja berwajah lokal tetapi visinya adalah sama dengan perusahaan yang mestinya menjadikan efisiensi dan efektivitas serta urgensi pengawasan operasi menjadi sebuah bahasa yang utama di masa depan.
Oleh karena itu di tahun 2014 kesuksesan pemberdayaan LKM di Riau 2014 akan sangat tergantung dari adanya sinergi dan koordinasi kelembagaan pemerintah provinsi, DPRD, pemerintah kabupaten/ kota, perguruan tinggi, dan stake holder lainnya yang terkait untuk memikirkan pola pengawasan terbaik dalam pengembangan LKM di Riau ke depan. Agar triliunan rupiah yang telah dikucurkan tidaklah menjadi sia-sia.
Dari sisi kesiapan legalitas tahun 2014 LKM di Riau harus sudah menentukan Badan Hukum UED SP dan BUMDES apakah akan menjadi koperasi atau menjadi Perseroan Terbatas (PT).
Bila koperasi menjadi pilihan badan hukum LKM maka segmentasi bisnisnya hanya bisa dilakukan untuk anggota saja.
Namun bila ternyata LKM ini banyak melayani aspek bisnis dengan non anggota menjadi PT lebih tepat menjadi pilihan.
Setelah permasalahan legalitas, titik krusial berikutnya dari pemberdayaan LKM di Riau adalah persoalan pengawasan.
Pada UED SP misalnya titik krusial pengawasannya adalah pada saat UED SP telah mandiri dan lepas dari BPM Bangdes Provinsi Riau.
Sedangkan khusus BUMDES kita perlu memikirkan apakah pengawasan BUMDES se Riau akan disentralisasi oleh BPM Bangdes Provinsi sebagaimana UED SP ataukah dilepaskan secara mandiri kepada BPMPD kabupaten/ kota.
Hal-hal di atas perlu kita cermati lebih dalam apabila kita semua menginginkan LKM di Riau dapat berlari lebih kencang dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Oleh itu kita perlu mempersiapkan kesiapan sistem, administrasi dan prosedur serta sumber daya insaninya supaya pada akhirnya keberadaan LKM yang ada Riau dapat menjadi barokah dan bermanfaat bagi ekonomi Riau 2014. Bagaimana menurut Anda?***(ak27/rp)
Bambang R Rustam
Praktisi Perbankan
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.