Oleh : UU Hamidy
[ArtikelKeren] OPINI - Allah Maharaja umat manusia telah menyampaikan kebenaran ada pula yang memakai perumpamaan atau perlambangan.
Allah Yang Maha Indah telah memakai perlambangan seperti nyamuk, laba-laba, anjing, lebah dan lalat, sehingga bahasa Alquran kitab rujukan alam semesta itu benar-benar memancarkan keindahan lagi mempesona.
Begitulah, ulama sebagai orang patut Melayu yang terpandang telah merancang bahasa dan budaya Melayu dengan semangat Alquran dan Assunnah. Mereka menggesa mencari ilmu agar dapat menjadi pendendeng api neraka.
Pesan-pesan kebenaran Islam disampaikan oleh para pengarang yang bertakwa dengan bahasa yang halus, sehingga kemudian disebut peribahasa. Karena peribahasa itu selaras dengan syariah Islam, maka disebut juga hadis Melayu.
Perhatikanlah di antaranya: "jika kail panjang sejengkal jangan laut hendak diduga", "kalau takut dilanggar pasang jangan berumah di tepi pantai", "harapkan burung terbang tinggi punai di tangan dilepaskan".
Dunia Melayu yang islami memakai perlambangan untuk memberikan cermin akhlak mulia, punya adab yang benar yang bersandar kepada Alquran dan Sunnah Nabi SAW.
Untuk merancang budi pekerti yang luhur itu maka akidah dan syariah Islam dilarutkan ke dalam bahasa dan budaya Melayu. Sirih pinang sebagai budaya Melayu yang dominan dilapisi dengan makna ajaran Islam.
Semula, sirih pinang hanya untuk pemerah bibir, penahan gigi, obat luka dan gatal-gatal. Kemudian mendapat makna kehidupan dalam bingkai akidah dan syariah Islam. Maka sirih pinang dipakai untuk basa-basi pergaulan.
Di mana bertemu, di situ sirih disorongkan. Pembuka kata disebut juga sekapur sirih. Undangan atau jemputan memakai sirih pinang. Lantas yang paling utama menyampaikan pinangan dengan cerana atau tepak yang berisi sirih pinang.
Namun demikian, makna sirih pinang ini hampir telah pupus dalam perjalanan sejarah dunia Melayu, sehingga makna dan pesannya tak terbaca lagi oleh zuriat masa kini.
Ini terjadi, karena dunia Melayu yang semula dikawal dengan akidah dan syariah Islam, kemudian menyimpang kepada panduan demokrasi sekuler yang menentang pedoman hidup menurut bimbingan Alquran dan Assunnah.
Sirih pinang yang dilengkapi dengan gambir dan kapur telah menimbulkan aroma rasa manis, pedas, pahit dan kelat. Manis adalah perumpamaan rasa senang dan bahagia.
Pahit adalah lambang penderitaan dan cobaan. Kelat menjadi lambang rasa kecewa atau kesal. Sedangkan pedas adalah perumpamaan rasa marah.
Inilah cita rasa kehidupan dunia yang niscaya akan dilalui. Sebab, sudah menjadi sunatullah jalan nasib umat manusia.
Sementara itu orang Melayu memakai pula perumpamaan asam garam kehidupan. Inilah makna keseimbangan atau takaran yang sesuai fitrah penciptaan umat manusia.
Bayangkanlah kalau takaran asam dengan garam tidak seimbang dalam makanan, niscaya makanan itu tidak enak. Begitu pula kalau nilai budi pekerti tidak seimbang dengan penampilan bahasa, maka padanannya tidak harmonis sehingga tidak menentramkan dan tidak melapangkan dada.
Karena itu, tidak boleh terjadi rusak budi oleh bahasa atau sebaliknya bahasa merusak budi pekerti. Budi pekerti yang mulia hendaklah terpancar dari bahasa indah pula.
Maka patutlah kiranya direnungkan kembali apa makna pinangan disampaikan dengan sirih pinang.
Pinangan disampaikan dengan sirih pinang oleh pihak lelaki kepada pihak perempuan, bagaikan mengajukan pertanyaan, apakah pihak perempuan itu bersedia hidup suami-isteri dengan menanggung akibat merasakan 4 macam medan kehidupan yakni bahagia, menderita, kecewa (kesal) dan marah. Ini harus ditimbang dengan saksama, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pasangan hidup tersebut.
Jika sirih disentuh atau diambil, ini mengandung makna bahwa pinangan itu diterima. Ini juga berarti bahwa yang bersangkutan bersedia mengharungi lautan kehidupan dengan menempuh empat risiko tersebut.
Tapi, kalau tidak disentuh, bermakna masih ada keraguan, sehingga bahtera kehidupan itu tidak jadi berlayar.
Begitulah kehalusan budi bahasa terpancar melalui perumpamaan sirih pinang. Pihak perempuan yang mendapat pinangan dengan lambang sirih pinang, tidak mau memakai bahasa kata, tetapi bahasa kias.
Sebab manusia itu tahan kias, bukan tahan palu. Dengan perumpamaan itu mereka sudah saling menjaga perasaan sebagai lubuk budi manusia, sehingga persaudaraan seiman tetap terpelihara.
Inilah insan yang menjunjung tinggi akhlak mulia mengikuti jejak Nabi SAW, yang Beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak umat manusia.***(ak27)
UU Hamidy
Budayawan
[ArtikelKeren] OPINI - Allah Maharaja umat manusia telah menyampaikan kebenaran ada pula yang memakai perumpamaan atau perlambangan.
Allah Yang Maha Indah telah memakai perlambangan seperti nyamuk, laba-laba, anjing, lebah dan lalat, sehingga bahasa Alquran kitab rujukan alam semesta itu benar-benar memancarkan keindahan lagi mempesona.
Begitulah, ulama sebagai orang patut Melayu yang terpandang telah merancang bahasa dan budaya Melayu dengan semangat Alquran dan Assunnah. Mereka menggesa mencari ilmu agar dapat menjadi pendendeng api neraka.
Pesan-pesan kebenaran Islam disampaikan oleh para pengarang yang bertakwa dengan bahasa yang halus, sehingga kemudian disebut peribahasa. Karena peribahasa itu selaras dengan syariah Islam, maka disebut juga hadis Melayu.
Perhatikanlah di antaranya: "jika kail panjang sejengkal jangan laut hendak diduga", "kalau takut dilanggar pasang jangan berumah di tepi pantai", "harapkan burung terbang tinggi punai di tangan dilepaskan".
Dunia Melayu yang islami memakai perlambangan untuk memberikan cermin akhlak mulia, punya adab yang benar yang bersandar kepada Alquran dan Sunnah Nabi SAW.
Untuk merancang budi pekerti yang luhur itu maka akidah dan syariah Islam dilarutkan ke dalam bahasa dan budaya Melayu. Sirih pinang sebagai budaya Melayu yang dominan dilapisi dengan makna ajaran Islam.
Semula, sirih pinang hanya untuk pemerah bibir, penahan gigi, obat luka dan gatal-gatal. Kemudian mendapat makna kehidupan dalam bingkai akidah dan syariah Islam. Maka sirih pinang dipakai untuk basa-basi pergaulan.
Di mana bertemu, di situ sirih disorongkan. Pembuka kata disebut juga sekapur sirih. Undangan atau jemputan memakai sirih pinang. Lantas yang paling utama menyampaikan pinangan dengan cerana atau tepak yang berisi sirih pinang.
Namun demikian, makna sirih pinang ini hampir telah pupus dalam perjalanan sejarah dunia Melayu, sehingga makna dan pesannya tak terbaca lagi oleh zuriat masa kini.
Ini terjadi, karena dunia Melayu yang semula dikawal dengan akidah dan syariah Islam, kemudian menyimpang kepada panduan demokrasi sekuler yang menentang pedoman hidup menurut bimbingan Alquran dan Assunnah.
Sirih pinang yang dilengkapi dengan gambir dan kapur telah menimbulkan aroma rasa manis, pedas, pahit dan kelat. Manis adalah perumpamaan rasa senang dan bahagia.
Pahit adalah lambang penderitaan dan cobaan. Kelat menjadi lambang rasa kecewa atau kesal. Sedangkan pedas adalah perumpamaan rasa marah.
Inilah cita rasa kehidupan dunia yang niscaya akan dilalui. Sebab, sudah menjadi sunatullah jalan nasib umat manusia.
Sementara itu orang Melayu memakai pula perumpamaan asam garam kehidupan. Inilah makna keseimbangan atau takaran yang sesuai fitrah penciptaan umat manusia.
Bayangkanlah kalau takaran asam dengan garam tidak seimbang dalam makanan, niscaya makanan itu tidak enak. Begitu pula kalau nilai budi pekerti tidak seimbang dengan penampilan bahasa, maka padanannya tidak harmonis sehingga tidak menentramkan dan tidak melapangkan dada.
Karena itu, tidak boleh terjadi rusak budi oleh bahasa atau sebaliknya bahasa merusak budi pekerti. Budi pekerti yang mulia hendaklah terpancar dari bahasa indah pula.
Maka patutlah kiranya direnungkan kembali apa makna pinangan disampaikan dengan sirih pinang.
Pinangan disampaikan dengan sirih pinang oleh pihak lelaki kepada pihak perempuan, bagaikan mengajukan pertanyaan, apakah pihak perempuan itu bersedia hidup suami-isteri dengan menanggung akibat merasakan 4 macam medan kehidupan yakni bahagia, menderita, kecewa (kesal) dan marah. Ini harus ditimbang dengan saksama, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pasangan hidup tersebut.
Jika sirih disentuh atau diambil, ini mengandung makna bahwa pinangan itu diterima. Ini juga berarti bahwa yang bersangkutan bersedia mengharungi lautan kehidupan dengan menempuh empat risiko tersebut.
Tapi, kalau tidak disentuh, bermakna masih ada keraguan, sehingga bahtera kehidupan itu tidak jadi berlayar.
Begitulah kehalusan budi bahasa terpancar melalui perumpamaan sirih pinang. Pihak perempuan yang mendapat pinangan dengan lambang sirih pinang, tidak mau memakai bahasa kata, tetapi bahasa kias.
Sebab manusia itu tahan kias, bukan tahan palu. Dengan perumpamaan itu mereka sudah saling menjaga perasaan sebagai lubuk budi manusia, sehingga persaudaraan seiman tetap terpelihara.
Inilah insan yang menjunjung tinggi akhlak mulia mengikuti jejak Nabi SAW, yang Beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak umat manusia.***(ak27)
UU Hamidy
Budayawan
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.