Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Rabu, 18 Desember 2013

Mainan Orang Pintar

Rabu, Desember 18, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Luerdi


[ArtikelKeren] OPINI - Integritas penegak hukum nampaknya kembali tercoreng terkait masalah korupsi. Kali ini adalah kasus tangkap tangan Kajari Praya, Provinsi NTB oleh KPK dalam kamar hotelnya bersama beberapa barang bukti Sabtu lalu.

Sang Kajari diduga terlibat kasus dugaan suap sengketa dan pemalsuan sertifikat tanah di wilayah Lombok tengah, Riau Pos (16/12).

Bukanlah hal yang baru bila korupsi menjadi tema yang cukup sering dalam pemberitaan ataupun topik diskusi di berbagai media.

Kita pun menjadi melek informasi berkaitan dengan kasus yang satu ini, mulai dari penggerebekan tangkap tangan, investigasi kasus, pemanggilan saksi, pemeriksaan tersangka, persidangan terdakwa, sampai pada vonis hakim.

Setiap perjalanan satu kasus korupsi bisa diikuti dari awal hingga akhir. Kita pun sering memberikan penilaian beragam terhadap suatu vonis; wajar atau tidaknya vonis tersebut.

Kasus-kasusnya pun beragam, dan nampaknya suap (bribery) yang melibatkan penyelenggara negara menjadi trending case. Mulai dari keterlibatan kepada daerah, anggota legislatif, kepolisian, jaksa, hakim, auditor pajak dan lain sebagainya.

Kasus-kasus yang telah dan sedang diproses menunjukkan adanya kemiripan dari pelaku-pelaku korupsi. Mereka adalah orang-orang berpendidikan, intelektual malahan, dan sebahagiannya bersekolah tinggi.

Mereka adalah orang-orang pintar; istilah yang kebanyakan orang-orang awam gunakan untuk menunjuk pada kelompok orang yang memiliki jabatan dan status sosial yang lebih baik.

Salah satu kasus korupsi yang sempat mengejutkan publik beberapa waktu yang lalu adalah tersangka suap seorang hakim MK; Akil Mochtar.

Bukanlah karena nilai korupsi dalam kasusnya. Kasus ini membuat kita benar-benar kaget sebab dulunya korupsi di MK hanya dianggap sebatas mitos, dan kini mitos tersebut akhirnya runtuh.

Sitaan KPK terhadap 30 mobil Akil beberapa waktu lalu mungkin dianggap sebagai jumlah sitaan terbanyak dalam kasus yang penah ditangani.

Publik tentu masih mengikuti perkembangan kasus ini. Tentunya masih banyak pula kasus-kasus lain, bahkan nilai korupsinya jauh lebih besar dari Akil.

Bila dihitung-hitung, sudah begitu banyak kasus korupsi ditangani oleh KPK dan sudah begitu banyak pula pelaku korupsi menghuni bui-bui akibat vonis hakim-hakim tipikor.

Tapi tetap saja perilaku-perilaku korupsi tidak berkurang bahkan sebaran pelaku-pelakunya semakin melebar. Tak dapat disangkal, kini telah terjadi distribusi perilaku dan pelaku korupsi, mulai merata di institusi-institusi negara.

Korupsi selalu mengikuti kekuasaan. Siapun pelakunya, korupsi tak bisa lepas dari adanya kekuasaan, baik itu berupa jabatan, wewenang, ataupun pengaruh.

Seseorang dengan kekuasaan yang dimiliki bisa saja melakukan tindakan korupsi seperti menerima suap, ketika kekuatan moral untuk menentukan baik-buruknya tindakan tersebut mampu dikalahkan oleh godaan nilai ratusan juta atau milyaran rupiah yang akan diterimanya.

Ditambah lagi ketika pengawasan yang ada tidak begitu efektif dalam mencegah perbuatan tersebut. Pernyataan Lord Acton pada abad ke-19 yang lalu masih sangat relevan dan semakin populer rasanya untuk menguatkan logika diatas: power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.

Begitu pula dengan pernyataan William Pit the Elder pada abad ke-18 yang lalu: unlimited power is apt to corrupt the minds of those who possess it.

Ramirez Torres dalam karyanya Corrupt Cities mengungkapkan sebuah teori tentang korupsi dengan menghubungkan beberapa variabel; reward, penalty, dan probability.

Menurut Torres, korupsi adalah kejahatan perhitungan (crime of calculation) bukan sekadar keinginan (passion). Seseorang akan melakukan korupsi bila hasil yang didapat dari korupsi tinggi atau lebih besar (reward) ketimbang hukuman yang didapat (penalty).

Selain karena rendahnya hukuman, dorongan untuk melakukan korupsi semakin kuat bila kemungkinan tertangkapnya kecil (probability).

Beda lagi dengan apa yang diungkapkan Jack Bologne tentang empat penyebab terjadinya korupsi; greed, opportunity, need, dan expose.

Greed ialah keserakahan yang dimiliki oleh pelaku korupsi yang tidak pernah puas akan keadaan dirinya.

Opportunity adalah peluang yang diberikan oleh sistem untuk melakukan tindakan korupsi.

Need adalah sikap mental yang tidak pernah merasa cukup dan sarat dengan kebutuhan yang tak pernah usai. Sedangkan expose adalah hukuman yang dijatuhkan pada pelaku korupsi namun tidak memberikan efek jera bagi pelaku tersebut ataupun orang lain.

Bila mencermati hal-hal seperti reward, penalty, probability dan expose yang tersebut di atas, nampaknya hanya orang-orang yang memiliki kekuasaan berkalkulasi untuk melakukan korupsi.

Tidak tertutup bagi orang-orang pintar yang diberikan amanah untuk berkuasa. Kita tidak tahu apakah pelaku-pelaku korupsi yang telah diproses secara hukum memiliki cara pikir demikian sebelum mereka benar-benar memutuskan untuk melakukan tindakan korupsi.

Dengan banyaknya kasus korupsi yang kita konsumsi hampir setiap hari, tidaklah aneh bila korupsi kini menjadi rahasia umum.

Kita sudah lama terbiasa dengan kasus-kasus korupsi bahkan kasus-kasus yang berkelas.

Pelaku-pelakunya pun menjadi populer, mengalahkan figur-figur infotainment. Takutnya korupsi tidak lagi dianggap sebagai perbuatan yang tabu dan dilarang.

Bisa dibayangkan bila saja kalimat-kalimat seperti “korupsi itu biasa”, “tidak korupsi itu aneh”, “bukanlah pejabat bila tidak korupsi”, dan lain semacamnya menjadi wajar di tengah-tengah masyarakat.

Bila ini terjadi, kita hanya menunggu bangsa ini semakin tenggelam dalam lumpur hisap korupsi.

Kini korupsi seolah-olah telah menjadi semacam mainannya orang-orang pintar; mengutip istilah yang digunakan Bung Chaidir dalam kolom Sigai Riau Pos beberapa waktu yang lalu.

Penulis tidak bermaksud menggeneralisir bahwa orang-orang pintar adalah pelaku-pelaku korupsi.

Tentu masih banyak orang-orang pintar yang secara moral relatif baik dan masih bisa diandalkan dalam mengelola negara ini.

Namun melihat realitas para pemain yang ada dalam arena korupsi yang sudah tampak, kebanyakan mereka adalah orang-orang pintar atau berlatarbelakang pendidikan yang lebih baik.

Mereka memainkan permainan korupsi tanpa adanya rasa malu apalagi bersalah. Mungkin mereka tidak sadar penonton-penonton sedang menghujat permainan yang mereka tunjukkan.***(ak27)



Luerdi
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Ilmu Politik Universitas Riau


0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN