Oleh : Apriyan D Rakhmat
[ArtikelKeren] OPINI - Kita sepantasnya bersyukur kehadirat Allah Yang Maha Pemurah atas karunia sumber daya alam (SDA) dan lingkungan yang dianugerahkan di Bumi Pertiwi.
Tidak salah yang mengatakan bahwa Indonesia adalah zamrud khatulistiwa, dengan kekayaan alam yang melimpah ruah; perikanan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, serta pesona alam dan budaya yang cantik dan menarik; sungai, danau, pantai, laut, terumbu karang, hutan, gunung, peninggalan sejarah, etnis dan budaya yang unik dan beraneka ragam, yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Sehingga, sejak dahulu hingga kini selalu menjadi incaran dan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain.
Sayangnya kekayaan SDA yang dimiliki tidak dapat dimanfaatkan dan dikelola secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Justru, kekayaan yang kita miliki lebih banyak diambil manfaatnya oleh bangsa-bangsa lain yang memiliki teknologi, kepakaran, manajemen dan modal yang lebih baik.
Bahkan, sebagian SDA seperti sumber daya perikanan banyak yang (terbuang) percuma karena tidak dapat diambil karena keterbatasan alat tangkap, kapal, teknologi, dan kualitas sumberdaya manusia (SDM), khususnya yang berada di lautan lepas dan zona ekonomi eklusif (ZEE).
Dengan kekayaan SDA melimpah, hingga kini belum lagi dapat mengangkat status menjadi negaru maju. Masih terdapat sekitar 30 juta jiwa masyarakat Indonesia yang melarat, alias masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Dan yang hidup mendekati garis kemiskinan, jumlahnya juga sekitar 30 juta jiwa.
Fakta dan kenyataan inilah yang mencemaskan dan merisaukan sebagian para ahli, bagaimana jadinya Indonesia pada tahun 2045, pasca 100 tahun memproklamirkan kemerdekaannya.
Kenapa? Karena SDA yang masih menjadi andalan dan komoditas utama pencetak uang dan pertumbuhan ekonomi sudah semakin menyusut dan habis.
Hutan sudah punah ranah. Sumber energi dan mineral (minyak bumi, gas dan batubara) semakin menipis stoknya. Ikan, udang, kepiting, kerang-kerangan semakin berkurang jumlahnya akibat semakin rusaknya habitat. Madu hutan, rotan, damar, beserta flora-fauna dan kekayaan hayati lainnya juga terus berkurang jumlahnya.
Padahal, selama ini kita masih bergantung kepada SDA untuk penggerak pertumbuhan ekonomi, sementara di sisi lain, yaitu kualitas SDM dan penguasan teknologi tidak sebanding dengan tingkat kehilangan SDA.
Ini bukan berarti tidak ada peningkatan SDM dan teknologi, namun negara-negara lain bergerak lebih gesit dan cepat. Dalam hal ini daya saing produk kita sering kalah bersaing dengan produk negara lainnya.
Rezim Ekonomi
Mengapa kekayaan SDA terus menyusut dan berkurang dari tahun ke tahun? Karena SDA terus diekspolitasi dan dikuras tanpa mempertimbangkan kelestariannya di masa yang akan datang. Kalaupun ada kebijaksanaan pelestarian atau konservasi SDA dan lingkungan, lebih bermuatan politis, pencitraan dan promosi, bukan merupakan suatu substansi yang semestinya dijadikan prioritas agenda pembangunan.
Buktinya, SDA terus dikuras secara rakus oleh para pengusaha (hitam) yang berkolaborasi dengan penguasa (korup) dan politisi (busuk).
Yang lebih dipentingkan di sini adalah kepentingan ekonomi sesaat, tanpa mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan lingkungan jangka panjang.
Hutan habis diperjualbelikan dalam bentuk hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI) dan yang semisalnya.
Begitu juga dengan eksploitasi sumber daya energi dan mineral seperti pertambangan batubara yang lebih berorientasi untuk mengejar uang, tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya alam.
Termasuk juga di sini adalah pertambangan emas tanpa izin (PETI) dan juga yang memiliki izin, pertambangan pasir laut yang turut menambah luka ekosistem dan kelestarian lingkungan, termasuk di Provinsi Riau.
Yang berkuasa di sini adalah uang dan ekonomi, sehingga dapat dikatakan sebagai rezim ekonomi. SDA dan lingkungan dan apa saja dapat dikorbankan jika berseberangan dengan kepentingan syahwat ekonomi sesaat.
Berbagai dalih dan argumen dikemukakan untuk pembenaran aktivitas yang dilakukan. Jika di kemudian hari terbukti ketidakbenaran argumen dan alasan yang digunakan, itu adalah urusan lain. Urusan komisi pemberantasan korupsi (KPK), yang telah banyak korbannya.
Rezim ekonomi juga identik dengan kerakusan. Malangnya, rezim ini juga ada argumen dan para ahli pendukungnya, termasuk di dalam perspektif eksploitasi SDA dan lingkungan.
Bencana Lingkungan
Tidak dapat dinafikan bahwa berbagai bencana lingkungan (banjir, kebakaran hutan, longsor, badai, dan yang sejenisnya) juga berkaitan dengan kemerosotan SDA dan lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dengan ekplositasi SDA secara rakus dan masif, harus dibayar mahal dengan berbagai bencana lingkungan yang kini semakin mengkhawatirkan.
Inilah “hadiah” yang harus diterima hasil dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan pembangunan dengan mengorbankan SDA dan lingkungan.
Hemat saya, yang jauh lebih penting dan mendesak adalah menanamkan nilai-nilai dan persepsi yang benar di dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA dan lingkungan.
Nilai-nilai ini kemudian yang akan menjadi pegangan dan pedoman di dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA dan lingkungan, terutama oleh para pengambil kebijakan.
Berbagai sanksi, hukuman, denda yang dikenakan bagi pelaku kejahatan lingkungan, seolah tidak mampu membendung laju kerusakan SDA dan lingkungan. Termasuk juga berbagai peraturan dan undang-undang berkenaan pengelolaan lingkungan, juga seringkali diabaikan.
Pelaku utama atau dalang utama perusakan SDA dan lingkungan pada umumnya adalah orang-orang terpelajar dan terdidik secara akademik dan sebagian lagi orang-orang yang terpandang di tengah masyarakat.
Namun, karena nilai-nilai dan pegangan yang digunakan adalah nilai dan fahaman yang lebih mementingkan ekonomi jangka pendek, maka beginilah jadinya negeri ini.
Tahun 2013 akan segera berakhir. Catatan SDA dan lingkungan seperti apa yang terpatri dalam benak anak bangsa selama tahun 2013, khususnya di Bumi Lancang Kuning tercinta.
Apakah kenangan dan catatan indah yang pantas ditoreh dalam tinta emas sejarah peradaban bangsa, atau sebaliknya cerita pilu dan bencana lingkungan yang tergambar dalam ingatan kita; banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, badai dan gempa bumi?***(ak27)
Apriyan D Rakhmat
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik UIR
[ArtikelKeren] OPINI - Kita sepantasnya bersyukur kehadirat Allah Yang Maha Pemurah atas karunia sumber daya alam (SDA) dan lingkungan yang dianugerahkan di Bumi Pertiwi.
Tidak salah yang mengatakan bahwa Indonesia adalah zamrud khatulistiwa, dengan kekayaan alam yang melimpah ruah; perikanan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, serta pesona alam dan budaya yang cantik dan menarik; sungai, danau, pantai, laut, terumbu karang, hutan, gunung, peninggalan sejarah, etnis dan budaya yang unik dan beraneka ragam, yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Sehingga, sejak dahulu hingga kini selalu menjadi incaran dan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain.
Sayangnya kekayaan SDA yang dimiliki tidak dapat dimanfaatkan dan dikelola secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Justru, kekayaan yang kita miliki lebih banyak diambil manfaatnya oleh bangsa-bangsa lain yang memiliki teknologi, kepakaran, manajemen dan modal yang lebih baik.
Bahkan, sebagian SDA seperti sumber daya perikanan banyak yang (terbuang) percuma karena tidak dapat diambil karena keterbatasan alat tangkap, kapal, teknologi, dan kualitas sumberdaya manusia (SDM), khususnya yang berada di lautan lepas dan zona ekonomi eklusif (ZEE).
Dengan kekayaan SDA melimpah, hingga kini belum lagi dapat mengangkat status menjadi negaru maju. Masih terdapat sekitar 30 juta jiwa masyarakat Indonesia yang melarat, alias masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Dan yang hidup mendekati garis kemiskinan, jumlahnya juga sekitar 30 juta jiwa.
Fakta dan kenyataan inilah yang mencemaskan dan merisaukan sebagian para ahli, bagaimana jadinya Indonesia pada tahun 2045, pasca 100 tahun memproklamirkan kemerdekaannya.
Kenapa? Karena SDA yang masih menjadi andalan dan komoditas utama pencetak uang dan pertumbuhan ekonomi sudah semakin menyusut dan habis.
Hutan sudah punah ranah. Sumber energi dan mineral (minyak bumi, gas dan batubara) semakin menipis stoknya. Ikan, udang, kepiting, kerang-kerangan semakin berkurang jumlahnya akibat semakin rusaknya habitat. Madu hutan, rotan, damar, beserta flora-fauna dan kekayaan hayati lainnya juga terus berkurang jumlahnya.
Padahal, selama ini kita masih bergantung kepada SDA untuk penggerak pertumbuhan ekonomi, sementara di sisi lain, yaitu kualitas SDM dan penguasan teknologi tidak sebanding dengan tingkat kehilangan SDA.
Ini bukan berarti tidak ada peningkatan SDM dan teknologi, namun negara-negara lain bergerak lebih gesit dan cepat. Dalam hal ini daya saing produk kita sering kalah bersaing dengan produk negara lainnya.
Rezim Ekonomi
Mengapa kekayaan SDA terus menyusut dan berkurang dari tahun ke tahun? Karena SDA terus diekspolitasi dan dikuras tanpa mempertimbangkan kelestariannya di masa yang akan datang. Kalaupun ada kebijaksanaan pelestarian atau konservasi SDA dan lingkungan, lebih bermuatan politis, pencitraan dan promosi, bukan merupakan suatu substansi yang semestinya dijadikan prioritas agenda pembangunan.
Buktinya, SDA terus dikuras secara rakus oleh para pengusaha (hitam) yang berkolaborasi dengan penguasa (korup) dan politisi (busuk).
Yang lebih dipentingkan di sini adalah kepentingan ekonomi sesaat, tanpa mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan lingkungan jangka panjang.
Hutan habis diperjualbelikan dalam bentuk hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI) dan yang semisalnya.
Begitu juga dengan eksploitasi sumber daya energi dan mineral seperti pertambangan batubara yang lebih berorientasi untuk mengejar uang, tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya alam.
Termasuk juga di sini adalah pertambangan emas tanpa izin (PETI) dan juga yang memiliki izin, pertambangan pasir laut yang turut menambah luka ekosistem dan kelestarian lingkungan, termasuk di Provinsi Riau.
Yang berkuasa di sini adalah uang dan ekonomi, sehingga dapat dikatakan sebagai rezim ekonomi. SDA dan lingkungan dan apa saja dapat dikorbankan jika berseberangan dengan kepentingan syahwat ekonomi sesaat.
Berbagai dalih dan argumen dikemukakan untuk pembenaran aktivitas yang dilakukan. Jika di kemudian hari terbukti ketidakbenaran argumen dan alasan yang digunakan, itu adalah urusan lain. Urusan komisi pemberantasan korupsi (KPK), yang telah banyak korbannya.
Rezim ekonomi juga identik dengan kerakusan. Malangnya, rezim ini juga ada argumen dan para ahli pendukungnya, termasuk di dalam perspektif eksploitasi SDA dan lingkungan.
Bencana Lingkungan
Tidak dapat dinafikan bahwa berbagai bencana lingkungan (banjir, kebakaran hutan, longsor, badai, dan yang sejenisnya) juga berkaitan dengan kemerosotan SDA dan lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dengan ekplositasi SDA secara rakus dan masif, harus dibayar mahal dengan berbagai bencana lingkungan yang kini semakin mengkhawatirkan.
Inilah “hadiah” yang harus diterima hasil dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan pembangunan dengan mengorbankan SDA dan lingkungan.
Hemat saya, yang jauh lebih penting dan mendesak adalah menanamkan nilai-nilai dan persepsi yang benar di dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA dan lingkungan.
Nilai-nilai ini kemudian yang akan menjadi pegangan dan pedoman di dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA dan lingkungan, terutama oleh para pengambil kebijakan.
Berbagai sanksi, hukuman, denda yang dikenakan bagi pelaku kejahatan lingkungan, seolah tidak mampu membendung laju kerusakan SDA dan lingkungan. Termasuk juga berbagai peraturan dan undang-undang berkenaan pengelolaan lingkungan, juga seringkali diabaikan.
Pelaku utama atau dalang utama perusakan SDA dan lingkungan pada umumnya adalah orang-orang terpelajar dan terdidik secara akademik dan sebagian lagi orang-orang yang terpandang di tengah masyarakat.
Namun, karena nilai-nilai dan pegangan yang digunakan adalah nilai dan fahaman yang lebih mementingkan ekonomi jangka pendek, maka beginilah jadinya negeri ini.
Tahun 2013 akan segera berakhir. Catatan SDA dan lingkungan seperti apa yang terpatri dalam benak anak bangsa selama tahun 2013, khususnya di Bumi Lancang Kuning tercinta.
Apakah kenangan dan catatan indah yang pantas ditoreh dalam tinta emas sejarah peradaban bangsa, atau sebaliknya cerita pilu dan bencana lingkungan yang tergambar dalam ingatan kita; banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, badai dan gempa bumi?***(ak27)
Apriyan D Rakhmat
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik UIR
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.