Oleh : Mexsasai Indra Nuri
[ArtikelKeren] OPINI - Keinginan Menteri Dalam Negeri untuk melantik Hambit sebagai Bupati Gunung Mas memunculkan kontroversi, pasalnya Hambit telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK atas kasus dugaan suap sengketa Pemilukada Gunung Mas terhadap Mantan Ketua MK Akil Mochtar.
Cerita tentang pelantikan kepala daerah yang berstatus tersangka bukanlah cerita baru, berdasarkan penelusuran ICW setidaknya terdapat sembilan kepala daerah lainnya yang juga dilantik oleh Mendagri meskipun telah ditetapkan tersangka korupsi baik oleh KPK maupun kepolisian dan kejaksaan.
Pertama, Bupati Rembang Mochamad Salim, dalam kasus penyertaan modal PT Rembang Bangkit Sejahtera Jaya (RBS) senilai Rp5,2 M yang bersumber dari APBD 2006 dan 2007.
Kedua, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, terlibat perkara penyalahgunaan dana APBD 2006-2007 senilai Rp42,5 M. Ketiga, Bupati Lampung Timur Satono yang terlibat dalam perkara penyalahgunaan dana BPR Tripanca.
Keempat, Wakil Bupati Bangka Selatan Jamro H Jalil, terlibat dana perkara dana KUT senilai Rp388 juta. Kelima, Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin, terlibat perkara penyalahgunaan dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Keenam, Wakil Bupati Jember Kusen Andalas yang terlibat perkara dana operasional DPRD 2004-2009.
Ketujuh, Bupati Boven Digul Yusak Waluyo, terlibat perkara pengadaan satu unit kapal tanker LCT 180 dan penggelapan dana kas daerah Januari 2006 hingga November 2007. Kedelapan, Wali Kota Tomohon Jefferson Rumanjar, terlibat perkara dana APBD Tomohon 2006-2008.
Kesembilan, Bupati Mesuji Ismail Ishak, dia terlibat perkara suap atau gratifikasi penyertaan dana APBD ke BUMD Tulang Bawang tahun 2006.
Berdasarkan bentangan fakta tersebut di atas sesuatu yang memiliki landasan pikir yang kuat kalau Mendagri Gamawan Fauzi bersikukuh untuk melantik Hamid Bintih, meskipun yang bersangkutan betstatus tersangka, karena sudah ada semacam konvensi ketatanegaraan sebelumnya terhadap sembilan kepala daerah tersebut, meskipun juga akan menimbulkan perdebatan karena konvensi ketatanegaraan, juga dianggap sebagai etika ketatanegaraan atau akhlak ketatanegaraan, pertanyaannya apakah pelantikan seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah yang telah berstatus tersangka sesuai dengan nilai etik ketatanegaraan?
Dalam perspektif berpikir yang normatif keberadaan sumpah terhadap seorang pejabat bukanlah sesuatu yang bersifat seremonial belaka karena berdasarkan ketentuan Pasal 110 (1) UU No 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik”.
Selanjutnya dalam ayat (3) ditegaskan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dari ketentuan Pasal 110 UU No 32 Tahun 2004 tersebut di atas terlihat jelas bahwa pembuat undang-undang mengganggap bahwa pelantikan merupakan sesuatu yang bermakna yuridis, oleh karena itu perhitungan masa jabatan seorang kepala daerah terhitung semenjak pelantikan, meskipun secara administrasi kekuatan yuridis berada pada SK pengesahan pengangkatan kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih oleh Mendagri atas nama Presiden.
Oleh karena itu antara SK dan Pelantikan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah merupakan satu kesatuan apabila dilihat dari konstruksi hukum yang dibangun oleh Pasal 110 UU No 32 Tahun 2004.
Apabila mengikuti konstruksi hukum yang dibangun dalam ketentuan Pasal 110 UU No 32 Tahun 2004 tersebut di atas tidak dapat tidak Hambit harus dilantik sebagai Bupati Gunung Mas terpilih, karena secara yuridis terlepas dari adanya dugaan suap yang dilakukan Hambit terhadap mantan Ketua MK Akil Mochtar, Hambit merupakan bupati terpilih Gunung Mas yang ditetapkan oleh KPU Gunung Mas dan dikukuhkan berdasarkan putusan MK.
Proses selanjutnya apakah Mendagri langsung menonaktifkan yang bersangkutan atau menunggu yang bersangkutan berstatus terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 126 ayat (2) PP No 6 tahun 2005 merupakan pilihan hukum berikutnya yang bisa diambil oleh Mendagri dan dalam konteks ini KPK bisa saja meminta Mendagri untuk segera menonaktifkan Hambit.
Kalau mengikuti kontruski hukum yang diabngun oleh KPK bahwa Hambit tidak usah dilantik, dan menyarankan agar Mendagri melakukan terobosan hukum, lantas pertanyaan yang dapat diajukan, bagaimanakah status hukum Hambit sebagai Bupati Gunung Mas terpilih?
Bukankah penetapan Hambit atas dasar putusan KPU Gunung Mas dan dikukuhkan putusan MK? Selanjutnya atas dasar apa Kementerian Dalam Negeri memberhentikan Hambit sebagai Bupati Gunung Mas, sementara yang bersangkutan belum pernah dinyatakan secara yuridis formal sebagai Bupati Gunung Mas, dan yang bersangkutan belum pernah dilantik?
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pelantikan terhadap Hambit merupakan sesuatu yang harus dilakukan karena pelantikan merupakan pintu masuk utama untuk melakukan proses adminitrasi berikutnya termasuk hal yang sangat penting yakni dasar hukum untuk menunjuk Wakil Bupati untuk melaksanakan tugas Bupati sampai adanya putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.***(ak27)
Mexsasai Indra Nuri
Ketua Badan Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Riau
[ArtikelKeren] OPINI - Keinginan Menteri Dalam Negeri untuk melantik Hambit sebagai Bupati Gunung Mas memunculkan kontroversi, pasalnya Hambit telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK atas kasus dugaan suap sengketa Pemilukada Gunung Mas terhadap Mantan Ketua MK Akil Mochtar.
Cerita tentang pelantikan kepala daerah yang berstatus tersangka bukanlah cerita baru, berdasarkan penelusuran ICW setidaknya terdapat sembilan kepala daerah lainnya yang juga dilantik oleh Mendagri meskipun telah ditetapkan tersangka korupsi baik oleh KPK maupun kepolisian dan kejaksaan.
Pertama, Bupati Rembang Mochamad Salim, dalam kasus penyertaan modal PT Rembang Bangkit Sejahtera Jaya (RBS) senilai Rp5,2 M yang bersumber dari APBD 2006 dan 2007.
Kedua, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, terlibat perkara penyalahgunaan dana APBD 2006-2007 senilai Rp42,5 M. Ketiga, Bupati Lampung Timur Satono yang terlibat dalam perkara penyalahgunaan dana BPR Tripanca.
Keempat, Wakil Bupati Bangka Selatan Jamro H Jalil, terlibat dana perkara dana KUT senilai Rp388 juta. Kelima, Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin, terlibat perkara penyalahgunaan dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Keenam, Wakil Bupati Jember Kusen Andalas yang terlibat perkara dana operasional DPRD 2004-2009.
Ketujuh, Bupati Boven Digul Yusak Waluyo, terlibat perkara pengadaan satu unit kapal tanker LCT 180 dan penggelapan dana kas daerah Januari 2006 hingga November 2007. Kedelapan, Wali Kota Tomohon Jefferson Rumanjar, terlibat perkara dana APBD Tomohon 2006-2008.
Kesembilan, Bupati Mesuji Ismail Ishak, dia terlibat perkara suap atau gratifikasi penyertaan dana APBD ke BUMD Tulang Bawang tahun 2006.
Berdasarkan bentangan fakta tersebut di atas sesuatu yang memiliki landasan pikir yang kuat kalau Mendagri Gamawan Fauzi bersikukuh untuk melantik Hamid Bintih, meskipun yang bersangkutan betstatus tersangka, karena sudah ada semacam konvensi ketatanegaraan sebelumnya terhadap sembilan kepala daerah tersebut, meskipun juga akan menimbulkan perdebatan karena konvensi ketatanegaraan, juga dianggap sebagai etika ketatanegaraan atau akhlak ketatanegaraan, pertanyaannya apakah pelantikan seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah yang telah berstatus tersangka sesuai dengan nilai etik ketatanegaraan?
Dalam perspektif berpikir yang normatif keberadaan sumpah terhadap seorang pejabat bukanlah sesuatu yang bersifat seremonial belaka karena berdasarkan ketentuan Pasal 110 (1) UU No 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik”.
Selanjutnya dalam ayat (3) ditegaskan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dari ketentuan Pasal 110 UU No 32 Tahun 2004 tersebut di atas terlihat jelas bahwa pembuat undang-undang mengganggap bahwa pelantikan merupakan sesuatu yang bermakna yuridis, oleh karena itu perhitungan masa jabatan seorang kepala daerah terhitung semenjak pelantikan, meskipun secara administrasi kekuatan yuridis berada pada SK pengesahan pengangkatan kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih oleh Mendagri atas nama Presiden.
Oleh karena itu antara SK dan Pelantikan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah merupakan satu kesatuan apabila dilihat dari konstruksi hukum yang dibangun oleh Pasal 110 UU No 32 Tahun 2004.
Apabila mengikuti konstruksi hukum yang dibangun dalam ketentuan Pasal 110 UU No 32 Tahun 2004 tersebut di atas tidak dapat tidak Hambit harus dilantik sebagai Bupati Gunung Mas terpilih, karena secara yuridis terlepas dari adanya dugaan suap yang dilakukan Hambit terhadap mantan Ketua MK Akil Mochtar, Hambit merupakan bupati terpilih Gunung Mas yang ditetapkan oleh KPU Gunung Mas dan dikukuhkan berdasarkan putusan MK.
Proses selanjutnya apakah Mendagri langsung menonaktifkan yang bersangkutan atau menunggu yang bersangkutan berstatus terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 126 ayat (2) PP No 6 tahun 2005 merupakan pilihan hukum berikutnya yang bisa diambil oleh Mendagri dan dalam konteks ini KPK bisa saja meminta Mendagri untuk segera menonaktifkan Hambit.
Kalau mengikuti kontruski hukum yang diabngun oleh KPK bahwa Hambit tidak usah dilantik, dan menyarankan agar Mendagri melakukan terobosan hukum, lantas pertanyaan yang dapat diajukan, bagaimanakah status hukum Hambit sebagai Bupati Gunung Mas terpilih?
Bukankah penetapan Hambit atas dasar putusan KPU Gunung Mas dan dikukuhkan putusan MK? Selanjutnya atas dasar apa Kementerian Dalam Negeri memberhentikan Hambit sebagai Bupati Gunung Mas, sementara yang bersangkutan belum pernah dinyatakan secara yuridis formal sebagai Bupati Gunung Mas, dan yang bersangkutan belum pernah dilantik?
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pelantikan terhadap Hambit merupakan sesuatu yang harus dilakukan karena pelantikan merupakan pintu masuk utama untuk melakukan proses adminitrasi berikutnya termasuk hal yang sangat penting yakni dasar hukum untuk menunjuk Wakil Bupati untuk melaksanakan tugas Bupati sampai adanya putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.***(ak27)
Mexsasai Indra Nuri
Ketua Badan Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Riau
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.