Oleh : Muhammad Ikhsan
[ArtikelKeren] OPINI - Sudah lama sekali sebenarnya kami ingin menuangkan cerita tentang Pak Tari ini dalam sebuah tulisan. Barangkali momen Hari Guru ini adalah waktu yang paling tepat untuk mewujudkannya.
Hati ini bergelora mengingat masa-masa sekolah dulu. Mudah-mudahan beliau masih cergas untuk membaca tulisan ini dan menghibur beliau untuk mengurangi sakit yang sedang diderita.
Rasanya tidak ada di antara alumni SMA Negeri 1 Dumai yang tidak kenal dengan guru yang satu ini. Setiap namanya disebut, kami semua langsung tersenyum.
Senyum penuh kenangan dan kebanggaan. Kami memanggilnya Pak Tari, singkatan dari Tarihoran. Dia adalah seorang guru matematika. Kebetulan dia berasal dari suku Batak. Tapi kami tidak peduli benar dengan itu.
Yang kami tahu —atau paling tidak— yang saya tahu, dia adalah salah satu dari guru favorit kami, dan guru teladan buat kami.
Kesungguhannya mengajar dari nuraninya yang tulus terpancar dari mimik dan sikap tubuhnya di dalam kelas ketika selangkah demi selangkah mengajarkan kami prinsip-prinsip matematika mulai dari yang paling dasar sampai yang paling sulit menurut saya waktu itu.
Saya masih ingat bagaimana dia mengajarkan persamaan kuadrat, menggambar elips, titik fokus dan hiperbola dengan menggunakan paku dan benang sebagai alat peraga. Logika matematika yang diajarkannya sangat sederhana dan mudah dimengerti.
Dimulai dari hal yang paling dasar sedetil-detilnya. Sebuah totalitas pengajaran matematika dari seseorang yang merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan ilmunya kepada muridnya yang akan mengarungi dunia ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan.
Bagi saya, Pak Tari mengajarkan ilmunya bagaikan seorang suhu pelatih ilmu perang yang mengajarkan ilmu perang sedetil-detilnya kepada prajurit yang akan pergi perang. Semua trik dan siasat diajarkan kepada kami supaya bisa menyerang dan mengelak dengan sempurna dari tebasan pedang atau senjata musuh.
Seorang guru yang bertanggung jawab, bukan hanya asal menyampaikan dan asal selesai kepada muridnya yang bodoh dan lugu seperti kami waktu itu.
Kami bisa merasakan totalitas pengajaran materi matematika yang disampaikan Pak Tari adalah ketika kami berkesempatan kuliah di ITB jurusan Teknik Sipil yang banyak berkutat dengan persoalan matematika.
Begitupun ketika bekerja sebagai konsultan teknik sipil dan melanjutkan kuliah S2 di Amerika. Pak Tari mengatakan bahwa matematika adalah ibu (mother) nya ilmu yang melayani ilmu-ilmu lain di dalam keteknikan (engineering).
Karena itu, ia merasakan adalah sangat penting untuk bisa mengajarkan dasar-dasar matematika yang benar untuk muridnya seperti saya ini. Hal ini terbukti ketika saya memecahkan persoalan-persoalan matematika di bidang teknik sipil, dunia desain, perencanaan dan kepentingan praktis matematika sehari-hari, prinsip-prinsip matematika yang kuat yang telah diajarkan kepada kami membuat persoalan-persoalan matematika itu bisa dikembalikan kepada logika penyelesaian yang sangat sederhana dan mudah dipecahkan.
Bahkan ketika kuliah S3 teknik sipil di Amerika pun, kami tetap percaya diri karena bekal matematika yang kuat tadi.
Mengajar bagi Pak Tari bukan hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Mengajar baginya adalah sebuah passion, sebuah pekerjaan yang merupakan gabungan dari hobi, totalitas, kesenangan, dan kenikmatan hidup.
Seperti keseriusan seorang Michael Angelo yang melukis langit-langit katedral masa Renaisance dulu yang sangat indah dan bisa dinikmati sampai saat ini.
Hampir setiap kali ia masuk, ia meninggalkan PR untuk dikerjakan. Setiap kali ada PR itu pula, ia periksa di kantornya untuk kemudian dibahas di kelas.
Padahal jumlah kami sekelas waktu itu mencapai lebih dari 40 orang satu kelasnya, dan Pak Tari mengajar banyak sekali kelas yang lain. Saya baru sadar sekarang setelah menjadi dosen, betapa beratnya tugas mengajar itu, yang lebih berat lagi adalah memeriksa tugas dan membahasnya di kelas seperti yang dilakukan oleh Pak Tari.
Pak Tari tidak pernah menawarkan produk-produk buku atau apapun kepada kami untuk kami beli. Saya baru tahu bahwa beliau juga mengajarkan les matematika kecil-kecilan ketika saya telah lulus. Ia tidak pernah memberitahukan atau menawarkannya kepada kami. Agaknya ia malu untuk menyampaikannya kepada kami.
Walau bagaimanapun, Pak Tari tetaplah seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Mungkin karena bosan atau capek melihat tingkah kami yang bandel, atau karena persoalan lain ia pernah menghabiskan waktu dua jam hanya untuk melawak sampai air mata kami keluar dan perut kami sakit menahan tawa.
Plong dan senang sekali rasanya ketika jam pelajaran matematika diganti dengan hiburan standing comedy ala Pak Tari.
Begitu pun ketika ia memarahi kami dengan logat Bataknya, kami juga tidak merasa tersinggung dan tetap bisa menikmatinya. Seingat saya, ia jarang sekali memukul. Kemampuannya menahan emosi dan keriangannya mengajar membuat matematika bagi saya justru mengasyikkan.
Ia tidak suka basa-basi dan bertele-tele. Pernah ketika ia diminta sebagai pembina upacara di sekolah, saat memberikan amanat, ia hanya berkata singkat: “Anak-anak! Belajarlah baik-baik”.
Ya, cuma itu. Kami pun tertawa terpingkal-pingkal, sementara guru-guru yang lain tersipu-sipu. Inilah yang saya suka dari Pak Tari, seolah-olah ia ingin mengatakan: tidak perlu terlalu banyak komentar dan berteori mendidik sana-sini, yang penting adalah produk yang engkau hasilkan dari ilmu yang engkau ajarkan.
Saya tidak tahu apakah masih banyak Pak Tari-Pak Tari yang lain di dunia pendidikan kita saat ini. Seorang guru dengan dedikasi dan totalitas pengajaran seperti Pak Tari adalah yang diperlukan oleh negeri ini.
Seorang guru yang tidak hanya pandai menghitung berapa gaji, honor dan tunjangan bulanannya.
Seorang guru yang bukan hanya menuntut hak, tetapi juga bergembira dan penuh semangat mengerjakan kewajibannya.
Seorang guru yang tidak hanya rajin mengurus sertifikasi dan kenaikan pangkatnya. Karena saya seorang dosen, Pak Tari pernah menanyakan kepada saya bagaimana caranya menulis sebuah tulisan ilmiah untuk kenaikan pangkat/ golongannya.
Ia sangat cemas karena tidak bisa menulis sebuah karangan ilmiah, dan karenanya kenaikan pangkat/ golongannya akan terhambat. Bagi saya, tidak menjadi persoalan bagi seorang guru seperti Pak Tari ini untuk menulis sebuah karangan ilmiah, karena karangannya yang sesungguhnya sudah terbukti dengan ilmu matematika mumpuni yang sudah diberikannya kepada murid-muridnya.
Sementara itu, banyak juga guru-guru yang asal jiplak karangan ilmiah temannya hanya untuk mengejar pangkat/ golongannya. Ujung-ujungnya tentu supaya pendapatannya lebih meningkat.
Perubahan kurikulum, penataan dunia pendidikan, sertifikasi guru, dan setiap usaha untuk memajukan pendidikan yang dilakukan di dalam institusi pendidikan kita saat ini hendaknya bukan hanya pada tataran teori dan konsep belaka, tidak membumi dan tidak berorientasi pada produk pendidikan yang sesungguhnya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jangan sampai profesi guru yang sangat mulia ini dikotori oleh guru-guru yang hanya mengejar kepentingan sesaat, hanya untuk mendapatkan jaminan hidup dan status sosial yang baik, tetapi melupakan tanggungnya sebagai seorang pendidik, pencerdas kehidupan bangsa!
Setelah pensiun dan tidak lagi mengajar, Pak Tari langsung sakit-sakitan. Agaknya obat yang sempurna baginya adalah mengajar dan bercanda dengan muridnya itulah.
Sekarang Pak Tari sedang sakit dan tidak bisa beraktivitas banyak. Bagi saya, seorang guru seperti Pak Tari yang memberikan kesan dan teladan yang sangat baik akan terus mewarnai kehidupan ke-matematika-an dan keilmuan saya.
Terus membekas dan menjadikan teladan dalam hidup dan dunia pengajaran. Ilmu yang berkah, terus berkembang, berbuah dan menyebar menghasilkan kebaikan demi kebaikan. Selamat Hari Guru!***(ak27/rp)
Muhammad Ikhsan
[ArtikelKeren] OPINI - Sudah lama sekali sebenarnya kami ingin menuangkan cerita tentang Pak Tari ini dalam sebuah tulisan. Barangkali momen Hari Guru ini adalah waktu yang paling tepat untuk mewujudkannya.
Hati ini bergelora mengingat masa-masa sekolah dulu. Mudah-mudahan beliau masih cergas untuk membaca tulisan ini dan menghibur beliau untuk mengurangi sakit yang sedang diderita.
Rasanya tidak ada di antara alumni SMA Negeri 1 Dumai yang tidak kenal dengan guru yang satu ini. Setiap namanya disebut, kami semua langsung tersenyum.
Senyum penuh kenangan dan kebanggaan. Kami memanggilnya Pak Tari, singkatan dari Tarihoran. Dia adalah seorang guru matematika. Kebetulan dia berasal dari suku Batak. Tapi kami tidak peduli benar dengan itu.
Yang kami tahu —atau paling tidak— yang saya tahu, dia adalah salah satu dari guru favorit kami, dan guru teladan buat kami.
Kesungguhannya mengajar dari nuraninya yang tulus terpancar dari mimik dan sikap tubuhnya di dalam kelas ketika selangkah demi selangkah mengajarkan kami prinsip-prinsip matematika mulai dari yang paling dasar sampai yang paling sulit menurut saya waktu itu.
Saya masih ingat bagaimana dia mengajarkan persamaan kuadrat, menggambar elips, titik fokus dan hiperbola dengan menggunakan paku dan benang sebagai alat peraga. Logika matematika yang diajarkannya sangat sederhana dan mudah dimengerti.
Dimulai dari hal yang paling dasar sedetil-detilnya. Sebuah totalitas pengajaran matematika dari seseorang yang merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan ilmunya kepada muridnya yang akan mengarungi dunia ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan.
Bagi saya, Pak Tari mengajarkan ilmunya bagaikan seorang suhu pelatih ilmu perang yang mengajarkan ilmu perang sedetil-detilnya kepada prajurit yang akan pergi perang. Semua trik dan siasat diajarkan kepada kami supaya bisa menyerang dan mengelak dengan sempurna dari tebasan pedang atau senjata musuh.
Seorang guru yang bertanggung jawab, bukan hanya asal menyampaikan dan asal selesai kepada muridnya yang bodoh dan lugu seperti kami waktu itu.
Kami bisa merasakan totalitas pengajaran materi matematika yang disampaikan Pak Tari adalah ketika kami berkesempatan kuliah di ITB jurusan Teknik Sipil yang banyak berkutat dengan persoalan matematika.
Begitupun ketika bekerja sebagai konsultan teknik sipil dan melanjutkan kuliah S2 di Amerika. Pak Tari mengatakan bahwa matematika adalah ibu (mother) nya ilmu yang melayani ilmu-ilmu lain di dalam keteknikan (engineering).
Karena itu, ia merasakan adalah sangat penting untuk bisa mengajarkan dasar-dasar matematika yang benar untuk muridnya seperti saya ini. Hal ini terbukti ketika saya memecahkan persoalan-persoalan matematika di bidang teknik sipil, dunia desain, perencanaan dan kepentingan praktis matematika sehari-hari, prinsip-prinsip matematika yang kuat yang telah diajarkan kepada kami membuat persoalan-persoalan matematika itu bisa dikembalikan kepada logika penyelesaian yang sangat sederhana dan mudah dipecahkan.
Bahkan ketika kuliah S3 teknik sipil di Amerika pun, kami tetap percaya diri karena bekal matematika yang kuat tadi.
Mengajar bagi Pak Tari bukan hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Mengajar baginya adalah sebuah passion, sebuah pekerjaan yang merupakan gabungan dari hobi, totalitas, kesenangan, dan kenikmatan hidup.
Seperti keseriusan seorang Michael Angelo yang melukis langit-langit katedral masa Renaisance dulu yang sangat indah dan bisa dinikmati sampai saat ini.
Hampir setiap kali ia masuk, ia meninggalkan PR untuk dikerjakan. Setiap kali ada PR itu pula, ia periksa di kantornya untuk kemudian dibahas di kelas.
Padahal jumlah kami sekelas waktu itu mencapai lebih dari 40 orang satu kelasnya, dan Pak Tari mengajar banyak sekali kelas yang lain. Saya baru sadar sekarang setelah menjadi dosen, betapa beratnya tugas mengajar itu, yang lebih berat lagi adalah memeriksa tugas dan membahasnya di kelas seperti yang dilakukan oleh Pak Tari.
Pak Tari tidak pernah menawarkan produk-produk buku atau apapun kepada kami untuk kami beli. Saya baru tahu bahwa beliau juga mengajarkan les matematika kecil-kecilan ketika saya telah lulus. Ia tidak pernah memberitahukan atau menawarkannya kepada kami. Agaknya ia malu untuk menyampaikannya kepada kami.
Walau bagaimanapun, Pak Tari tetaplah seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Mungkin karena bosan atau capek melihat tingkah kami yang bandel, atau karena persoalan lain ia pernah menghabiskan waktu dua jam hanya untuk melawak sampai air mata kami keluar dan perut kami sakit menahan tawa.
Plong dan senang sekali rasanya ketika jam pelajaran matematika diganti dengan hiburan standing comedy ala Pak Tari.
Begitu pun ketika ia memarahi kami dengan logat Bataknya, kami juga tidak merasa tersinggung dan tetap bisa menikmatinya. Seingat saya, ia jarang sekali memukul. Kemampuannya menahan emosi dan keriangannya mengajar membuat matematika bagi saya justru mengasyikkan.
Ia tidak suka basa-basi dan bertele-tele. Pernah ketika ia diminta sebagai pembina upacara di sekolah, saat memberikan amanat, ia hanya berkata singkat: “Anak-anak! Belajarlah baik-baik”.
Ya, cuma itu. Kami pun tertawa terpingkal-pingkal, sementara guru-guru yang lain tersipu-sipu. Inilah yang saya suka dari Pak Tari, seolah-olah ia ingin mengatakan: tidak perlu terlalu banyak komentar dan berteori mendidik sana-sini, yang penting adalah produk yang engkau hasilkan dari ilmu yang engkau ajarkan.
Saya tidak tahu apakah masih banyak Pak Tari-Pak Tari yang lain di dunia pendidikan kita saat ini. Seorang guru dengan dedikasi dan totalitas pengajaran seperti Pak Tari adalah yang diperlukan oleh negeri ini.
Seorang guru yang tidak hanya pandai menghitung berapa gaji, honor dan tunjangan bulanannya.
Seorang guru yang bukan hanya menuntut hak, tetapi juga bergembira dan penuh semangat mengerjakan kewajibannya.
Seorang guru yang tidak hanya rajin mengurus sertifikasi dan kenaikan pangkatnya. Karena saya seorang dosen, Pak Tari pernah menanyakan kepada saya bagaimana caranya menulis sebuah tulisan ilmiah untuk kenaikan pangkat/ golongannya.
Ia sangat cemas karena tidak bisa menulis sebuah karangan ilmiah, dan karenanya kenaikan pangkat/ golongannya akan terhambat. Bagi saya, tidak menjadi persoalan bagi seorang guru seperti Pak Tari ini untuk menulis sebuah karangan ilmiah, karena karangannya yang sesungguhnya sudah terbukti dengan ilmu matematika mumpuni yang sudah diberikannya kepada murid-muridnya.
Sementara itu, banyak juga guru-guru yang asal jiplak karangan ilmiah temannya hanya untuk mengejar pangkat/ golongannya. Ujung-ujungnya tentu supaya pendapatannya lebih meningkat.
Perubahan kurikulum, penataan dunia pendidikan, sertifikasi guru, dan setiap usaha untuk memajukan pendidikan yang dilakukan di dalam institusi pendidikan kita saat ini hendaknya bukan hanya pada tataran teori dan konsep belaka, tidak membumi dan tidak berorientasi pada produk pendidikan yang sesungguhnya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jangan sampai profesi guru yang sangat mulia ini dikotori oleh guru-guru yang hanya mengejar kepentingan sesaat, hanya untuk mendapatkan jaminan hidup dan status sosial yang baik, tetapi melupakan tanggungnya sebagai seorang pendidik, pencerdas kehidupan bangsa!
Setelah pensiun dan tidak lagi mengajar, Pak Tari langsung sakit-sakitan. Agaknya obat yang sempurna baginya adalah mengajar dan bercanda dengan muridnya itulah.
Sekarang Pak Tari sedang sakit dan tidak bisa beraktivitas banyak. Bagi saya, seorang guru seperti Pak Tari yang memberikan kesan dan teladan yang sangat baik akan terus mewarnai kehidupan ke-matematika-an dan keilmuan saya.
Terus membekas dan menjadikan teladan dalam hidup dan dunia pengajaran. Ilmu yang berkah, terus berkembang, berbuah dan menyebar menghasilkan kebaikan demi kebaikan. Selamat Hari Guru!***(ak27/rp)
Muhammad Ikhsan
Alumni SMAN 1 Dumai, ITB Bandung dan Utah State University USA
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.