Oleh : Mulyadi
Dia menghadap Sang Khalik, Ahad (6/10) malam dalam usia 77 tahun setelah menderita komplikasi penyakit yang dideritanya sejak lama.
Almarhum sempat dirawat berganti-ganti rumah sakit. Di Melaka, Singapura sampai Awal Bros di Pekanbaru.
Terakhir ketika diopname di Rumah Sakit Awal Bros, penulis beberapa kali menjenguknya. Dia sudah tidak dapat berkata-kata lagi.
Hidungnya diinfus, tubuhnya juga dibatasi geraknya agar tidak mengganggu organ lain. Di tempat tidur, turut mendampinginya anak-anaknya Indra Muchlis, Lukman Edy dan sejumlah anggota keluarga lain.
Penulis membisikkan ke telinganya ucapan “Allah, Allah” berulang kali. Seperti ada firasat, dia membuka matanya lebar-lebar. Mulutnya nampak komat-kamit. Penulis genggam tangannya seraya berkata, “Ini Mulyadi yang datang”.
Penulis kenal dekat dengan sejumlah anggota DPRD Riau periode 1982-1987, karena sering bertatap muka dan ngobrol di Gedung Lancang Kuning (kini Gedung Badan Perpustakaan dan Arsip Riau). Sekretaris DPRD Riau adalah Ismail Suko. Beberapa teman diskusi boleh dibilang lintas partai. Dari Fraksi Karya Pembangunan (FKP) misalnya ada Kolonel (Pur) Abbas Djamil, Thamrin Nasution, Harun Ghazali, HM Adnan, Syed Abdullah Ghazaly, H Bachtiar Daud dan H Intan Juddin.
Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) yang acap berbual yaitu Abdul Kadir Abbas, HM Amin dan Dun Usul dan Nurbay Juss. Sedangkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (kini F-PDIP) Malik Mansyur. Biasanya kalau tidak ada sidang, pergi ramai-ramai ke Simpang Tiga makan soto. Ismail Suko menjadi driver. Meski berdesak-desak, tetapi kebersamaannya itu menyenangkan.
“Any good news sir,” begitu kata penulis kepada Thamrin Nasution. Dia teman penulis di di IKIP Jurusan Sastra Inggris. Penulis memperdalam Sastra Prancis. Namun ada sejumlah mata kuliah yang sama, misalnya didaktik, psikologi, filsafat dan lainnya. Jadi kuliahnya bareng.
Penulis juga mengenal sosok Abbas Djamil dengan leadership baik. Kadang-kadang sedikit keras. Maklum latar belakangnya tentara.Tapi dia orang yang semangatnya tinggi, terutama dalam memberi inspirasi generasi muda.
Di balik itu, HM Adnan punya catatan tersendiri.Tutur katanya lembut. Kalau disindir teman-temannya cukup dibalas dengan tertawa . “Orangnya jarang marah. Malah anaknya Indra Muchlis lebih emosional,” begitu komentar Rivaie Rachman, mantan Wagub Riau.
Beberapa tahun lalu dalam ramah tamah masyarakat Riau di Jakarta, Adnan bertemu penulis. Anaknya, Lukman Edy baru saja diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal. “Hallo wartawan senior,” tegurnya sambil memeluk penulis.
Penampilannya memang nice guy. Ramah tidak dibuat-buat. Hubungan baik dengannya sewaktu di DPRD Riau terus berlanjut. Meski sekali-sekali ketemu. Itupun dalam suasana kebetulan. Menjalani masa tuanya, laki-laki yang mengajarkan anak-anaknya bekerja keras dan tidak sombong ini, boleh dibilang bersyukur.
Sebab anaknya yang tua, Indra Muchlis dua periode jadi Bupati Indragiri Hilir. Anak laki-laki lainnya, Lukman Edy dipilih SBY sebagai anggota kabinet dengan usia termuda. Kini merupakan anggota DPR RI.
Baik Indra maupun Lukman, aktif di politik. Boleh jadi berkat gemblengan ayahnya, kedua sosok anak muda yang berhasil ini senang menggeluti politik yang penuh liku-liku, terkadang meninggalkan kawan seiring jika tuntutan menghendaki demikian. Ada pepatah bahasa Belanda yang mengatakan, De appel valt niet ver van de boom. Buah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya. Dalam kaitan ini, Indra dan Lukman terjun ke politik karena pengaruh ayahnya.
Ada sebuah kejadian yang menarik dalam perjalanan karir politiknya. Adnan merupakan salah satu pelaku sejarah peristiwa 2 September 1985. Saat itu di DPRD Riau berlangsung pemilihan Gubernur Riau, periode 1985-1990.
Tiga calon yang memperebutkan posisi orang nomor satu di Bumi Lancang Kuning tersebut. Mereka adalah Mayjen (Pur) Imam Munandar (gubernur incumbent), Ismail Suko (Sekretaris DPRD Riau) dan Abdul Rachman Hamid (Pembantu Gubernur).
Pusat menghendaki agar calon incumbent memenangkan pemilihan. Sejumlah pejabat dan pimpinan partai turun ke Riau. Akan tetapi hal ini mendapat tantangan, terutama sejumlah anggota DPRD Riau menghendaki agar pusat tidak terlalu jauh memaksakan keinginannya.
Mayjen (Pur) Imam Munandar dianggap cukup satu periode saja. Tiba giliran putra daerah mendapat kesempatan memimpin. Dambaan ini cukup lama, karena Riau selalu saja dikaitkan sebagai daerah rawan. Secara diam-diam muncul perlawanan. Namun semuanya berjalan damai.
Tidak ada kekerasan dan aksi-aksi destruktif. “Pesoalan politik kita selesaikan dengan baik, tanpa harus merusak kehidupan masyarakat,” begitu ujar seorang penentang. Namun bukan hanya, kalangan politisi saja yang menghendaki perubahan. Diam-diam pejabat pemerintah, seperti Rivaie Rachman (ketika itu Ketua Bappeda) dan Baharuddin Yusuf ikut ambil bagian.
“Nama saya tidak masuk struktur, tapi saya ikut berpartisipasi menyambut perubahan. Saya dua kali menghadiri pertemuan dengan sejumlah eksponen. Yang pertama di rumah HM Adnan. Yang kedua di rumah Said Wahid,” begitu kata Rivaie Rachman. Kedua pertemuan itu, ternyata merupakan kebulatan menentang intervensi pusat dalam pemilihan Gubernur Riau.
Thamrin Nasution ketika itu mengatakan, “Kita lawan kehendak pusat dengan cara-cara demokratis dan tidak anarkis,” tuturnya. Dalam posisi ini Adnan setuju memakai cara-cara konstitusional. Kolonel (Pur) Abbas Djamil juga menyerukan, aksi yang tidak merusak dan menimbulkan kegelisahan publik.
Secara diam-diam digalang kekuatan. Namun caranya tidak berupa pengerahan besar-besaran. Ditempuh cara seperti tokoh James Bond. Tenang, tanpa banyak bicara, namun fokus. Kelompok ini setuju memilih Ismail Suko sebagai calon gubernur.
Pertemuan yang diselenggarakan kelompok tersebut, selalu berpindah-pindah. Bukan hit and run, bantai dan kabur. Namun hide and run. Artinya sembunyi dan lari. Sehingga jejak tidak bisa dideteksi. Inilah salah satu kemampuan intelijen yang baik. Memantau perkembangan dengan berubah-ubah.
Yang unik, dalam pertemuan di rumah Said Wahid para peserta yang bertekad melakukan perubahan dengan konsitusional, sempat mengangkat sumpah dengan Alquran. Cara ini untuk meyakinkan agar tidak terjadi pembelotan dalam pemungutan suara di DPRD Riau, 2 September 1985.
Bagaikan agen dinas rahasia James Bond, ketika berlangsungnya perhitungan suara di DPRD Riau, ternyata kelompok pendukung Ismail Suko unggul dengan memperoleh 19 suara. Sedangkan pengikut Imam Munandar mendapat 17 suara.
Abdul Rachman Hamid hanya menyabet satu suara. Proses pemilihan berlangsung dengan bebas dan rahasia. Tidak ada intimidasi dan kecurangan. “Begitu cara masyarakat Riau berdemokrasi. Tidak perlu dengan kekerasan, namun demokratis”, penuturan tokoh Golkar yang ikut membelot.
Pejabat pemerintah, yang diam-diam ikut bermain dan namanya tidak pernah keluar adalah Baharuddin Yusuf. Dalam pertemuan di Hotel Indonesia, penulis melihat Rivaie Rachman juga ikut hadir.
Demikian pula H Akil dan Muzni Tambusai, keduanya anggota DPR RI. Apa yang penulis ungkapkan mirip kisah dinas rahasia James Bond, yang terkenal dengan kode 007. Perjuangan yang tidak sia-sia. Selamat jalan HM Adnan. Nama dan jasamu selalu dikenang.***
Mulyadi, Wartawan Senior
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.