Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Selasa, 08 Oktober 2013

Pola Hidup Setengah (-setengah)

Selasa, Oktober 08, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Samsul Nizar




[ArtikelKeren] OPINI - Kata setengah (-setengah) biasanya berkonotasi negatif. Bendera dinaikkan setengah tiang, berkonotasi negara sedang berkabung dan berduka.

Orang dikatakan setengah, berkonotasi orang tersebut tidak waras (gila). Nasi setengah matang membuat sakit perut bagi yang memakannya.

Beragama setengah (-setengah) hanya akan menjadikan agama sebagai “topeng kebaikan” untuk menutupi kebobrokan yang dimiliki.

Orang yang demikian hanya menjadikan agama sebagai asesoris tampilan permukaan, bukan ruh dan harga dirinya. Orang seperti ini sangat berbahaya. Untuk itu, wajar bila Allah memerintahkan hamba-Nya untuk “masuklah dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)”.

Demikian pula pekerjaan yang dilakukan setengah (-setengah), pasti hasilnya amburadul dan tidak maksimal. Hal ini akibat meletakkan kepentingan golongan lebih dominan dan matinya profesional sebagai ukuran. Penerima amanah untuk melakukan pembangunan di negeri ini juga akan mengalami ketidakpercayaan bila melakukan amanah pembangunan dengan kualitas kerja yang setengah (-setengah).

Bahkan, supremasi hukum saat ini sedang diuji kekuatannya akibat oknum penegak hokum yang melaksanakan aturan setengah-setengah. Fenomena yang menimpa hakim MK Akil Mochtar merupakan contoh konkret hukum setengah (-setengah). Begitu banyak aturan yang dilakukan setengah (-setengah).

Tatkala untuk diri dan kelompoknya aturan seakan bisa dimultitafsirkan. Sedangkan untuk “lawan dan orang kecil” aturan berlaku dan dipahami secara literal. Mungkin inilah pesan pepatah orang tua dulu yang menyindir prilaku setengah-setengah dengan ungkapan; sampai di mata dipicingkan, sampai di perut dikempiskan atau tungau di seberang lautan kelihatan, akan tetapi gajah di pelupuk mata tak terlihat.

Negeri ini bisa melepaskan diri dari cengkeraman penjajah disebabkan karena para pejuang tak pernah berjuang setengah (-setengah). Mereka berjuang secara total dengan apa yang bisa dilakukan untuk keluar dari tirani penjajah. Sebuah contoh yang patut ditiru, namun sayang semakin hilang dari peredaran tata surya kehidupan modern.

Bila dibawa pada ranah pemimpin, agar tidak tergelincir pada pola hidup setengah (-setengah), maka paling tidak perlu memiliki empat kompetensi bila ingin membawa rakyat maju, yaitu: komitmen, konsisten, konsekuen, konsen. Bila pemimpin tidak memiliki keempat kompetensi tersebut, maka negeri akan kolaps (hancur) dan semakin suburnya praktik pola hidup setengah (-setengah).

Tatkala pola hidup setengah (-setengah) dilakukan oleh kaum jelata, maka dampaknya tak terlalu berbahaya. Namun, bila pola hidup setengah (-setengah) dilakukan oleh para penentndradimuka dan cendekia, maka bayangkan dampak sistemik yang ditimbulkan akan berakibat fatal.

Bila pola hidup setengah (-setengah) dapat terhindar dari pribadi seseorang, maka ia akan mampu tampil menjadi penyelamat jagat raya. Bila ia seorang pemimpin, maka meski setelah ia tak lagi menjadi pemimpin, bagi rakyat jelata ia adalah pemimpin ideal yang abadi.

Sementara tatkala pola hidup setengah (-setengah) masih menjadi acuan “mumpung berkuasa”, maka terkadang meski masih berkuasa ia dianggap telah tiada, apatahlagi bila ia benar-benar telah lengser, kehadirannya justeru hanya menjadi cemoohan yang menyakitkan.

Pola hidup setengah (-setengah) sesungguhnya lahir akibat matinya hati dan terjualnya harga diri akibat kepentingan kuasa sesaat yang membutakan. Baginya yang penting menjadi penguasa yang memiliki kekuatan sesaat, bukan pengelola yang justeru lebih mengedepankan kemaslahatan umat manusia.

Negeri ini sudah saatnya menyingkirkan pola hidup setengah (-setengah) pada seluruh dimensi. Bila pola setengah (-setengah) telah mampu dihilangkan, maka akan muncul profesionalisme yang berdimensi amanah, baik vertical maupun horizontal.

Tatkala profesionalisme yang berdimensi amanah mampu tumbuh subur dalam kehidupan, maka otomatis akan lahir keadilan. Bila keadilan tumbuh, maka akan terpelihara martabat diri.

Persoalannya saat ini adalah, pilihan yang mana akan diambil. Apakah masih ingin melestarikan pola hidup setengah (-setengah) sebagai pola abadi.

Sebab, pola ini menjanjikan kenikmatan sesaat. Atau memilih keluar dari pola hidup setengah (-setengah) yang dianggap sebagai anasir yang membahayakan. Sebab hanya dengan pola ini kebahagiaan abadi akan diperoleh.

Pilihan selalu ada bagi yang bijak berpikir. Namun, tak semua yang ahli dalam berpikir mampu memperoleh kebijaksanaan dalam bertindak.

Semoga dengan kejernihan hati dan kualitas intelektual yang dibalut amanah yang dilandasi agama secara kaffah, maka kehidupan setengah (-setengah) dapat dihindari.***


Samsul Nizar, Guru besar Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan UIN Suska 


Sumber : riaupos.co

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN