Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Kamis, 19 September 2013

Ketika Pidato Politik Tak Lagi Menarik

Kamis, September 19, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Dimas Kuncoro Jati



[ArtikelKeren] OPINI - Tumbangnya Orde Baru telah mampu membuka tabir lahirnya reformasi politik dan demokratisasi di negara kita. Pengalaman yang telah diajarkan Orde Baru membuat bangsa kita sadar dan kembali bersepakat untuk melakukan terobosan demokratisasi di Indonesia. Salah satu bentuk terobosan yang paling mencolok adalah pemilihan secara langsung kursi wakil rakyat di parlemen serta kursi sang RI-1.

Dalam pemilihan langsung seyogyanya partai politik beserta calon yang diusungnya mampu menyerap berbagai aspirasi publik dan mengartikulasikannya ke dalam bentuk visi dan misi ke depan. Di dalam bentuk visi dan misi inilah terletak nasib publik lima tahun mendatang. Agar visi dan misi politik ini dapat tersosialisasikan dengan baik dan merata maka diperlukan sebuah pidato politik untuk menyampaikannya. Rakyat yang telah gerah dengan banyaknya masalah akan menunggu pidato politik ini dengan penuh gairah. Harapan yang besar nantinya akan disematkan pada punggung wakil-wakil mereka ini. Begitu juga dengan mereka yang sudah terpilih, pidato politik akan mengungkapkan bagaimana figur yang telah mereka pilih akan bersikap. Melalui pidato, mereka dapat memilih mana sekiranya figur politik yang membawa nasib mereka kepada perubahan dan mana yang membawa nasib mereka ke dalam jurang penderitaan.

Akhir-akhir ini kita juga tak dapat menutup mata akan fakta yang cukup mencengangkan dalam kehidupan berpolitik Indonesia. Di dalam berbagai kesempatan ketika para pejabat menyikapi suatu issue atau permasalahan dengan melakukan pidato politik, jauh sebelum berpidato mereka sudah terlebih dahulu ditinggalkan ”penontonnya”. Suatu kenyataannya yang nampak sulit diterima bagi akal sehat namun cukup mudah untuk ditebak. Pemandangan seperti ini tak sulit ditemukan dan banyak dilihat di berbagai sudut kota.

Tampak di sini ada beberapa penyebab yang mungkin dapat terjadi. Pertama, pidato yang mereka sampaikan seringkali dianggap sangat klise dan normatif sehingga tak sulit bagi masyarakat untuk menebak apa yang akan disampaikan oleh orang yang melakukan pidato. Yang kedua, bahasa pidato para elite negeri sesekali menggunakan bahasa yang ”tinggi” hingga menyulitkan masyarakat biasa untuk memahaminya. Kedua kemungkinan di atas ini terjadi hampir di semua level pemerintahan dan juga lembaga tinggi negara dari pusat sampai sampai ke tingkat daerah.

Degradasi Kepercayaan Publik
Pada hari Senin (16/9/2013) sebuah media nasional memuat survei jajak pendapat yang dilakukan oleh kurang lebih 700 orang untuk menguji apakah penyampaian pesan elite politik melalui pidato dapat memuaskan masyarakat kita. Dalam jajak pendapat tersebut ditemukan bahwa gaya penyampaian pesan elite politik sudah tak lagi menarik. Anggota DPR menempati posisi teratas dalam survei ini dengan memperoleh persentase sebesar 56,0 persen. Penyampaian pesan yang tak lagi menarik pada posisi kedua diraih oleh menteri dengan 63,8 persen. Disusul oleh presiden sebagai posisi terakhir dengan persentase sebesar 56,0 persen. Survei ini juga menyoroti tentang tingkat kepuasan publik terhadap pernyataan politik atas beberapa persoalan. Pada persoalan kriminalitas misalnya, 79,3 persen dari responden menyatakan tidak puas atas penyampaian elite politik atas persoalan ini. Contoh lainnya, pada kasus kelangkaan kedelai ketidakpuasan publik meningkat cukup tajam sebesar 86,2 persen.

Hasil dari survei tersebut menyimpulkan bahwa lebih dari 50 persen masyarakat tidak lagi peduli dan puas atas tanggapan elite negeri kita dalam menghadapi persoalan-persoalan negara. Suatu kondisi contradictio in terminis jika kita mengingat tugas-tugas yang diemban mereka sebagai nakhoda negara ini. Jajak pendapat ini sekaligus mengamini perkataan para pengamat politik bahwa rakyat sudah tak lagi percaya dengan perkataan dan janji-janji politik mereka. Rakyat sudah tidak bodoh lagi, mereka sudah tak bisa dibohongi. Degradasi kepercayaan publik terhadap para elite politik ini kembali menegaskan bahwa kursi mereka tak lagi nyaman untuk diduduki. Ada rasa ketidakpercayaan di antara setiap raut wajah masyarakat.

Hal ini juga digambarkan secara jelas melalui puisi Wiji Thukul yang berjudul Peringatan. Puisi tersebut secara gagah berbunyi “Jika rakyat pergi ketika penguasa pidato kita harus hati-hati, barangkali mereka putus asa.” “Kalau rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri, penguasa harus waspada dan belajar mendengar.”

Mereka, masyarakat bukan tidak lagi peduli terhadap persoalan negeri ini. Tetapi penyampaian elite politik dalam mengatasi masalah negara ini hanya dirasa tidak bersifat solutif dan menyelesaikan masalah. Bahkan kadangkala malah menambah keruwetan karena begitu mudahnya para elite politik menyampaikan opini yang menyasar k esana-ke sini. Jari mereka terlalu ringan untuk menunjuk akar masalah pada pihak lain, sehingga seringkali justru menimbulkan ketegangan di kalangan lembaga tinggi negara. Namun itulah pemandangan yang lagi-lagi harus kita terima sekarang. Untuk saat ini benar kata Wiji Thukul bahwa penguasa harus waspada atas degradasi kepercayaan yang dialaminya.

Perbaiki Komunikasi Politik
Dengan lahirnya sosok Jokowi sebagai Gubernur DKI sesungguhnya memperkenalkan cara yang baru dalam berkomunikasi dengan yang rakyat dipimpinnya. Jokowi dengan menggunakan jurus jitunya yakni, ”blusukan” mampu meraih hati masyarakat luas. Cara komunikasi politik ini dapat menyerap dan mengenali aspirasi masyarakat secara langsung. Seakan tak ada jarak yang memisahkan antara yang dipimpin dan memimpin, sehingga masyarakat mampu mengenali pemimpinnya yang dulu hanya bisa mereka jangkau di layar kaca. Blusukan ini secara jitu telah membuktikan bahwa cara berkomunikasi seperti ini mampu mambawa Jokowi ke tampuk kekuasaan tertinggi di ibu kota. Nampaknya fenomena sekarang telah mampu menunjukkan bahwa masyarakat lebih menyukai bentuk komunikasi politik dengan langsung bertemu dengan pemimpinnya daripada harus mendengarkan pidato dan janji politik yang tak berujung.

Saya tak berpendapat bahwa cara ”blusukan” ala Jokowi ini adalah cara yang harus dilakukan oleh para elite negeri ini. Cara seperti ini hanyalah salah satu cara komunikasi elite politik untuk menyapa dan menjangkau mereka yang ia pimpin. Mereka yang merasakan akibat dari berbagai kebijakan elite negeri yang selama ini tak tersentuh. Pun demikian cara berpidato politik elite negeri ini sekaligus juga perlu diperbaiki. Untuk saat ini tidak lagi dengan kata-kata yang ‘njelimet’ dan berbahasa tinggi namun ada kalanya juga mudah dipahami dan memuaskan masyarakat luas. Sebab tak usah khawatir bagi kita masyarakat biasa, karena ketika mereka tidak mengubah sikapnya maka Pemilu 2014 adalah hukuman yang pantas mereka terima.***



Dimas Kuncoro Jati
Asisten Peneliti di Fakultas Hukum UGM. 

Sumber : riaupos.co

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN