Oleh : Syamsul Nizal
[ArtikelKeren] OPINI - Kehadiran seorang pemimpin merupakan suatu keniscayaan. Bahkan Rasulullah menyuruh untuk mengangkat seorang pemimpin, sebagaimana maksud sabdanya “tatkala kamu berpergian, maka angkatlah salah seorang di antara kamu sebagai pemimpin”.
Eksistensi seorang pemimpin sangat diperlukan agar ada yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Namun, perlu dipahami bahwa seorang pemimpin merupakan pemegang amanah yang harus dipertanggungjawabkan, baik secara vertikal kepada Allah maupun horizontal kepada seluruh umat yang dipimpinnya.
Hal senada diingatkan oleh Rasulullah, “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban (di yaumil hisab) atas apa yang dipimpinnya”.
Ketegasan yang diingatkan Rasulullah menyadarkan bahwa amanah sebagai seorang pemimpin bukan sebatas prestise yang menjadi kebanggaan, akan tetapi amanah berat yang harus dipikul dan dijalankan sesuai aturan Allah.
Mungkin pertanggungjawaban horizontal mampu dilaksanakan dengan berbagai strategi yang disusun, namun pertanggungjawaban vertikal tak akan mampu ditutupi dengan retorika kebohongan meski andal.
Seorang pemimpin bagaikan berada antara surga dan neraka. Sebelah kakinya mengarah ke surga dan kaki sebelahnya lagi mengarah ke neraka. Agar ia selamat, maka seorang pemimpin harus menggunakan akal dan hatinya yang terbimbing dengan ajaran-Nya yang akan mampu membawa kepada keselamatan.
Namun, tatkala akal, hati, dan agama-Nya berada pada garis yang terpisah, maka ia akan mudah tertipu oleh kepentingan dan gemerlap kehidupan yang menyilaukan.
Hadirnya seorang pemimpin secara substansi bertugas menjadi “khalifah di muka bumi” dengan titik akhir kebahagiaan seluruh alam semesta. Kebahagiaan tersebut secara sederhana dapat terlihat dari tingkat kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.
Pasca kenaikan BBM yang dilanjutkan dengan BLSM sebagai konsekuensi kompensasi subsidi pemerintah, rakyat dibantu untuk keluar dari kemiskinan. Namun, apakah melalui BLSM masalah kemiskinan akan terselesaikan dan kesejahteraan rakyat akan tercapai.
Atau malah dengan kenaikan BBM justru akan semakin memperluas kemiskinan dan semakin ternganga. Kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan sangat mulia.
Namun, indikator kesejahteraan rakyat masih berada pada wilayah paradigmatik dan belum terukur secara signifikan, bahkan acapkali berada pada tataran logika dan retorika.
Apapun alasan dan teori modern yang dimunculkan untuk mengukur kesejahteraan rakyat, namun acapkali rakyat tak memahami dan bingung akan makna kesejahteraan yang dimaksud.
Rakyat hanya menginginkan indikator sederhana, namun terasa makna dan langsung dinikmatinya. Rakyat tak terlalu bermimpi seorang pemimpin mampu membawa mereka melayang tinggi ke angkasa dengan program teoritis.
Rakyat pun tak pernah bermimpi untuk rekreasi ke planet Mars nan jauh. Rakyat hanya menginginkan 1 Kg hasil bumi yang dimilikinya dapat membeli beras sebagai keperluan pokoknya sebanyak 3 Kg.
Bukan justru sebaliknya, 3 Kg hasil bumi rakyat hanya mampu membeli 1 Kg beras atau bahkan kurang. Bila hal ini terjadi, maka penderitaan rakyat akan semakin berat. Jurang antara si kaya dan si miskin akan semakin terbuka lebar menganga, seiring kepedulian dengan sesama terkelupas oleh kepentingan individual yang semakin subur.
Di samping itu, rakyat tak pernah bermimpi seluruh kekayaan negeri ini dibagi sama rata, akan tetapi yang mereka harapkan hanya kepastian dan keadilan hukum yang setara. Rakyat mungkin tak terlalu berharap pendidikan gratis, namun yang mereka harapkan adalah pendidikan yang mencerdaskan IQ (intelligence quotient atau kecerdesan otak), EQ (emotional quotient atau kecerdasan emosi), dan SQ (spiritual quotient atau kecerdasan spiritual) generasinya.
Rakyat sadar bahwa tak mungkin semua masyarakat bisa menjadi pemimpin, karena toh pemimpin biasanya hanya tunggal (dalam sebuah kelembagaan), namun rakyat hanya mengharapkan ketenangan dan kesejukan jiwa yang jauh dari arogansi pribadi.
Rakyat sesungguhnya menginginkan indikator kesejahteraan dan sekaligus impian yang sederhana untuk dititipkan kepada sang pemimpin. Indikator yang sederhana ini menjadi tugas yang seyogyanya menjadi acuan utama bagi para pemimpin.
Rakyat hanya berpikir sederhana, negeri ini telah 68 tahun merdeka. Tatkala berkaca dengan negeri lain yang masih muda dibandingkan negeri ini, namun indikator yang sederhana mereka inginkan telah terlihat hasilnya.
Namun, rakyat menjadi heran, kenapa kita tak meniru mereka yang berhasil agar harapan rakyat yang sederhana dapat diwujudkan. Rakyat berpikir sederhana, tak perlu digiring pada pemikiran yang rumit dan penuh teori.
Rakyat hanya ingin menikmati makna kesejahteraan yang dibawa oleh tangan “dingin “ sang pemimpin, bukan tangan besi dengan kuku yang tajam. Jangan buat rakyat berteriak kelaparan, sengsara akibat ketidakadilan. Upayakan senyuman kebahagian menghiasi bibir mereka, sebab suara mereka adalah doa.
Untuk itu, rakyat perlu sadar dan bijak dalam menetapkan seseorang sebagai pemimpin. Rakyat perlu cerdas dan tak mudah tertipu oleh janji. Sedangkan para pemilik janji harus mampu mengkonkritkan janji yang terbukti.
Rakyat dan pemimpin bagaikan dua sisi mata uang yang saling memerlukan. Tatkala keduanya bersinergi, maka negeri akan maju dan kesejahteraan rakyat akan tercapai.
Keduanya harus berangkat dengan tujuan yang sama dan niat yang sama untuk memakmurkan alam ciptaan-Nya. Tatkala sinergi kedua pihak sirna akibat pergeseran kepentingan, maka kesejahteraan hanya sebatas mimpi belaka. Semoga kita terhindar dari sebatas mimpi belaka. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Syamsul Nizar, Guru Besar UIN Suska Riau
[ArtikelKeren] OPINI - Kehadiran seorang pemimpin merupakan suatu keniscayaan. Bahkan Rasulullah menyuruh untuk mengangkat seorang pemimpin, sebagaimana maksud sabdanya “tatkala kamu berpergian, maka angkatlah salah seorang di antara kamu sebagai pemimpin”.
Eksistensi seorang pemimpin sangat diperlukan agar ada yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Namun, perlu dipahami bahwa seorang pemimpin merupakan pemegang amanah yang harus dipertanggungjawabkan, baik secara vertikal kepada Allah maupun horizontal kepada seluruh umat yang dipimpinnya.
Hal senada diingatkan oleh Rasulullah, “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban (di yaumil hisab) atas apa yang dipimpinnya”.
Ketegasan yang diingatkan Rasulullah menyadarkan bahwa amanah sebagai seorang pemimpin bukan sebatas prestise yang menjadi kebanggaan, akan tetapi amanah berat yang harus dipikul dan dijalankan sesuai aturan Allah.
Mungkin pertanggungjawaban horizontal mampu dilaksanakan dengan berbagai strategi yang disusun, namun pertanggungjawaban vertikal tak akan mampu ditutupi dengan retorika kebohongan meski andal.
Seorang pemimpin bagaikan berada antara surga dan neraka. Sebelah kakinya mengarah ke surga dan kaki sebelahnya lagi mengarah ke neraka. Agar ia selamat, maka seorang pemimpin harus menggunakan akal dan hatinya yang terbimbing dengan ajaran-Nya yang akan mampu membawa kepada keselamatan.
Namun, tatkala akal, hati, dan agama-Nya berada pada garis yang terpisah, maka ia akan mudah tertipu oleh kepentingan dan gemerlap kehidupan yang menyilaukan.
Hadirnya seorang pemimpin secara substansi bertugas menjadi “khalifah di muka bumi” dengan titik akhir kebahagiaan seluruh alam semesta. Kebahagiaan tersebut secara sederhana dapat terlihat dari tingkat kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.
Pasca kenaikan BBM yang dilanjutkan dengan BLSM sebagai konsekuensi kompensasi subsidi pemerintah, rakyat dibantu untuk keluar dari kemiskinan. Namun, apakah melalui BLSM masalah kemiskinan akan terselesaikan dan kesejahteraan rakyat akan tercapai.
Atau malah dengan kenaikan BBM justru akan semakin memperluas kemiskinan dan semakin ternganga. Kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan sangat mulia.
Namun, indikator kesejahteraan rakyat masih berada pada wilayah paradigmatik dan belum terukur secara signifikan, bahkan acapkali berada pada tataran logika dan retorika.
Apapun alasan dan teori modern yang dimunculkan untuk mengukur kesejahteraan rakyat, namun acapkali rakyat tak memahami dan bingung akan makna kesejahteraan yang dimaksud.
Rakyat hanya menginginkan indikator sederhana, namun terasa makna dan langsung dinikmatinya. Rakyat tak terlalu bermimpi seorang pemimpin mampu membawa mereka melayang tinggi ke angkasa dengan program teoritis.
Rakyat pun tak pernah bermimpi untuk rekreasi ke planet Mars nan jauh. Rakyat hanya menginginkan 1 Kg hasil bumi yang dimilikinya dapat membeli beras sebagai keperluan pokoknya sebanyak 3 Kg.
Bukan justru sebaliknya, 3 Kg hasil bumi rakyat hanya mampu membeli 1 Kg beras atau bahkan kurang. Bila hal ini terjadi, maka penderitaan rakyat akan semakin berat. Jurang antara si kaya dan si miskin akan semakin terbuka lebar menganga, seiring kepedulian dengan sesama terkelupas oleh kepentingan individual yang semakin subur.
Di samping itu, rakyat tak pernah bermimpi seluruh kekayaan negeri ini dibagi sama rata, akan tetapi yang mereka harapkan hanya kepastian dan keadilan hukum yang setara. Rakyat mungkin tak terlalu berharap pendidikan gratis, namun yang mereka harapkan adalah pendidikan yang mencerdaskan IQ (intelligence quotient atau kecerdesan otak), EQ (emotional quotient atau kecerdasan emosi), dan SQ (spiritual quotient atau kecerdasan spiritual) generasinya.
Rakyat sadar bahwa tak mungkin semua masyarakat bisa menjadi pemimpin, karena toh pemimpin biasanya hanya tunggal (dalam sebuah kelembagaan), namun rakyat hanya mengharapkan ketenangan dan kesejukan jiwa yang jauh dari arogansi pribadi.
Rakyat sesungguhnya menginginkan indikator kesejahteraan dan sekaligus impian yang sederhana untuk dititipkan kepada sang pemimpin. Indikator yang sederhana ini menjadi tugas yang seyogyanya menjadi acuan utama bagi para pemimpin.
Rakyat hanya berpikir sederhana, negeri ini telah 68 tahun merdeka. Tatkala berkaca dengan negeri lain yang masih muda dibandingkan negeri ini, namun indikator yang sederhana mereka inginkan telah terlihat hasilnya.
Namun, rakyat menjadi heran, kenapa kita tak meniru mereka yang berhasil agar harapan rakyat yang sederhana dapat diwujudkan. Rakyat berpikir sederhana, tak perlu digiring pada pemikiran yang rumit dan penuh teori.
Rakyat hanya ingin menikmati makna kesejahteraan yang dibawa oleh tangan “dingin “ sang pemimpin, bukan tangan besi dengan kuku yang tajam. Jangan buat rakyat berteriak kelaparan, sengsara akibat ketidakadilan. Upayakan senyuman kebahagian menghiasi bibir mereka, sebab suara mereka adalah doa.
Untuk itu, rakyat perlu sadar dan bijak dalam menetapkan seseorang sebagai pemimpin. Rakyat perlu cerdas dan tak mudah tertipu oleh janji. Sedangkan para pemilik janji harus mampu mengkonkritkan janji yang terbukti.
Rakyat dan pemimpin bagaikan dua sisi mata uang yang saling memerlukan. Tatkala keduanya bersinergi, maka negeri akan maju dan kesejahteraan rakyat akan tercapai.
Keduanya harus berangkat dengan tujuan yang sama dan niat yang sama untuk memakmurkan alam ciptaan-Nya. Tatkala sinergi kedua pihak sirna akibat pergeseran kepentingan, maka kesejahteraan hanya sebatas mimpi belaka. Semoga kita terhindar dari sebatas mimpi belaka. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Syamsul Nizar, Guru Besar UIN Suska Riau
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.