Oleh : Hasrin Saily
[ArtikelKeren] OPINI - Besok, Rabu 4 September 2013 adalah momentum yang ditunggu- tunggu oleh 6.456.322 jiwa masyarakat Riau. Dengan pemilih berjumlah 4.000.459 orang, berbagai harapan, keinginan dan cita-cita menggaruk hati sanubari digantungkan pada gubernur terpilih.
Rakyat Riau mendambakan pemimpin yang mampu mengevaluasi dan mengidentifikasi permasalahan kemiskinan, kebodohan, minim infrastruktur dari ceruk desa serta memperhatikan yang penting dari yang terpenting. Jangan lagi mempertonton kekeliruan, kebijakan yang melenceng dari amanah rakyat.
Suku Talang Mamak adalah bagian dari populasi suku yang dominan tinggal di ceruk desa di Riau di samping suku lain seperti Suku Sakai, Suku Laut, Suku Bonai, Suku Akit dan Suku Talang. Keberadaan suku-suku dimaksud identik dengan kemiskinan, kebodohan dan minimnya infrastruktur di lingkungan kediaman.
Keterbelakangan dalam berbagai aspek kehidupan, ekonomi, sosial, politik, hukum dan pendidikan menjadi potret Riau yang telah 56 tahun jadi provinsi. Selama 14 tahun menyelenggarakan otonomi daerah dan 68 tahun hidup merdeka, di zaman Orde Baru Riau dipimpin oleh gubernur yang bukan orang Riau kecuali Arifin Achmad dan Subrantas dDemikian juga DPRD-nya serta unsur pimpinan yudikatif.
Di era reformasi, Riau dipimpin para gubernur anak jati Riau demikian juga DPRD-nya, namun identitas suku pedalaman plus masyarakat desa masih melekat predikat komunitas masyarakat yang serba minimalis.
APBD Riau di zaman Orde Baru di bawah Rp2 triliun per tahun, demikian juga APBD kabupaten/kota. Setelah reformasi dan otonomi daerah, APBD Riau melebihi Rp6 triliun demikian juga kabupaten/kota melebihi Rp1 triliun.
Dari fenomena tersebut siapa kambing hitamnya, Talang Mamak kah? Masyarakat desa kah? Atau para pemimpin dan penentu kebijakan dari pusat sampai ke daerah tingkat II ada benang merah, benang putih, benang hitam dan menegakkan benang basah.
Berkaitan dengan itu, Suku Talang Mamak yang mewakili populasi suku pedalaman di Riau menyurati para pemimpin dan para pengambil kebijakan di Riau (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
Kepada Bapak/Ibu Yth, dalam suasana Idul Fitri 1 Syawal 1434 H diucapkan selamat hari raya, mohon maaf lahir batin. Ketika hari raya kami mencoba pergi ke kota baik ke ibu kota provinsi Riau maupun ibu kota kabupaten/kota untuk menikmati suasana yang lain dari kampung halaman di ceruk-ceruk desa. Terkejut, heran, termangu-mangu, ternganga melihat betapa banyak perubahan dan majunya perkotaan.
Betapa enak hidup di kota yang serba ada, serba terang-benderang serba mulus dan lancar, serba bersih, sehat, cantik dan serba menawan hati seperti bumi dan langit. Perbedaannya jika dibandingkan dengan desa dan lingkungan permukiman kami.
Terbetik di hati untuk hengkang ke kota meninggalkan kampung halaman yang tak optimal disentuh pembangunan. Tapi kami tak punya apa-apa, baik modal maupun keterampilan untuk bersaing hidup di kota.
Di bawah baliho calon gubernur Riau dan di depan spanduk calon legislatif Riau 2014 kami tertegun dan di hati diukir doa semoga Allah menetapkan terpilihnya gubernur dan anggota legislatif yang mengemban amanah dan peduli dengan jeritan masyarakat miskin, bodoh plus masyarakat desa yang minim infrastrukturnya.
Berbagai kriteria pemimpin yang didambakan untuk Riau ke depan yang akan membela dan mengangkat harkat martabat masyarakat desa plus miskin: Pertama, pemimpin yang tahu pasti penderitaan masyarakat miskin dan diimplementasikan melalui program pembangunan yang langsung menyentuh hajat hidup masyarakat desa.
Kedua, pemimpin yang jeli menentukan kebijakan dan prioritas pembangunan bagi kepentingan masyarakat miskin yang dominan hidup di desa. Ketiga, pemimpin yang tidak bangga dengan proyek monumental.
Keempat, pemimpin yang hanya pandai ngukir sejarah untuk dikenang bagi generasi penerus, bahwa dia sukses memimpin padahal kebijakannya bertolak belakang dengan kondisi masyarakatnya yang perlu disentuh hajat hidup dan sumber hidupnya untuk kesejahteraan.
Kelima, pemimpin yang tidak chauvinisme, fatamorgana dan bangga akan dosa-dosa serta berdiri di atas menara gading. Keenam, pemimpin yang adil dalam membagi kue pembangunan antara Riau Daratan dan Riau Pesisir.
Dan tidak memprioritaskan kebijakan pembangunan ke daerah tempat lahir sementara potensi daerah lain lebih menjanjikan jika dikembangkan untuk kesejahteraan global. Ketujuh, pemimpin yang tidak egois, selalu memaksa kehendak. Tidak komunikatif dengan bawahan, tidak menghargai usaha dan jasa para pendahulunya.
Kedelapan, pemimpin yang tidak dikomandoi oleh pihak III karena terkait balas jasa.
Kesembilan, pemimpin yang tidak primordialis, KKN dan menghargai dan menjunjung tinggi profesionalitas, kualitas dan pengalaman.
Kesepuluh, pemimpin yang tidak termotivasi dengan berbagai penghargaan, tropi, piagam, sertifikat agar dipuji sukses dalam mengembang amanah jabatan padahal di sebalik itu ada kelicikan berbagai pihak untuk mendapatkan prioritas kemudahan dan keuntungan.
Kesebelas, pemimpin yang tidak berlindung pada selembar daun ilalang memperbesar masalah kecil memperkecil masalah besar, gajah di pelupuk mata tak terlihat tetapi tungau di seberang lautan jelas terlihat. Hukum dan aturan bukan alat pemuas nafsu serakah, penindas yang lemah tapi pembela yang lemah .
Apabila kriteria itu dapat dipenuhi oleh para calon gubernur dan diemban dalam menjalankan amanah jabatan, maka dengan ikhlas akan dipilih jadi Gubernur Riau tanpa harus diperas melalui budaya money politik budaya proposal, budaya aji mumpung , budaya ambil kesempatan dalam kesempitan, budaya cari untung di saat kaki dan tangan buntung.
Demikian surat ini ditulis, selamat bagi gubernur, anggota legislatif tepilih dan pejabat yudikatif yang ditunjuk . Semoga Riau jaya di daratan dan pesisir, mohon maaf lahir batin, buang air yang keruh ambil yang jernih.***
Hasrin Saily, Peminat masalah sosial budaya
[ArtikelKeren] OPINI - Besok, Rabu 4 September 2013 adalah momentum yang ditunggu- tunggu oleh 6.456.322 jiwa masyarakat Riau. Dengan pemilih berjumlah 4.000.459 orang, berbagai harapan, keinginan dan cita-cita menggaruk hati sanubari digantungkan pada gubernur terpilih.
Rakyat Riau mendambakan pemimpin yang mampu mengevaluasi dan mengidentifikasi permasalahan kemiskinan, kebodohan, minim infrastruktur dari ceruk desa serta memperhatikan yang penting dari yang terpenting. Jangan lagi mempertonton kekeliruan, kebijakan yang melenceng dari amanah rakyat.
Suku Talang Mamak adalah bagian dari populasi suku yang dominan tinggal di ceruk desa di Riau di samping suku lain seperti Suku Sakai, Suku Laut, Suku Bonai, Suku Akit dan Suku Talang. Keberadaan suku-suku dimaksud identik dengan kemiskinan, kebodohan dan minimnya infrastruktur di lingkungan kediaman.
Keterbelakangan dalam berbagai aspek kehidupan, ekonomi, sosial, politik, hukum dan pendidikan menjadi potret Riau yang telah 56 tahun jadi provinsi. Selama 14 tahun menyelenggarakan otonomi daerah dan 68 tahun hidup merdeka, di zaman Orde Baru Riau dipimpin oleh gubernur yang bukan orang Riau kecuali Arifin Achmad dan Subrantas dDemikian juga DPRD-nya serta unsur pimpinan yudikatif.
Di era reformasi, Riau dipimpin para gubernur anak jati Riau demikian juga DPRD-nya, namun identitas suku pedalaman plus masyarakat desa masih melekat predikat komunitas masyarakat yang serba minimalis.
APBD Riau di zaman Orde Baru di bawah Rp2 triliun per tahun, demikian juga APBD kabupaten/kota. Setelah reformasi dan otonomi daerah, APBD Riau melebihi Rp6 triliun demikian juga kabupaten/kota melebihi Rp1 triliun.
Dari fenomena tersebut siapa kambing hitamnya, Talang Mamak kah? Masyarakat desa kah? Atau para pemimpin dan penentu kebijakan dari pusat sampai ke daerah tingkat II ada benang merah, benang putih, benang hitam dan menegakkan benang basah.
Berkaitan dengan itu, Suku Talang Mamak yang mewakili populasi suku pedalaman di Riau menyurati para pemimpin dan para pengambil kebijakan di Riau (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
Kepada Bapak/Ibu Yth, dalam suasana Idul Fitri 1 Syawal 1434 H diucapkan selamat hari raya, mohon maaf lahir batin. Ketika hari raya kami mencoba pergi ke kota baik ke ibu kota provinsi Riau maupun ibu kota kabupaten/kota untuk menikmati suasana yang lain dari kampung halaman di ceruk-ceruk desa. Terkejut, heran, termangu-mangu, ternganga melihat betapa banyak perubahan dan majunya perkotaan.
Betapa enak hidup di kota yang serba ada, serba terang-benderang serba mulus dan lancar, serba bersih, sehat, cantik dan serba menawan hati seperti bumi dan langit. Perbedaannya jika dibandingkan dengan desa dan lingkungan permukiman kami.
Terbetik di hati untuk hengkang ke kota meninggalkan kampung halaman yang tak optimal disentuh pembangunan. Tapi kami tak punya apa-apa, baik modal maupun keterampilan untuk bersaing hidup di kota.
Di bawah baliho calon gubernur Riau dan di depan spanduk calon legislatif Riau 2014 kami tertegun dan di hati diukir doa semoga Allah menetapkan terpilihnya gubernur dan anggota legislatif yang mengemban amanah dan peduli dengan jeritan masyarakat miskin, bodoh plus masyarakat desa yang minim infrastrukturnya.
Berbagai kriteria pemimpin yang didambakan untuk Riau ke depan yang akan membela dan mengangkat harkat martabat masyarakat desa plus miskin: Pertama, pemimpin yang tahu pasti penderitaan masyarakat miskin dan diimplementasikan melalui program pembangunan yang langsung menyentuh hajat hidup masyarakat desa.
Kedua, pemimpin yang jeli menentukan kebijakan dan prioritas pembangunan bagi kepentingan masyarakat miskin yang dominan hidup di desa. Ketiga, pemimpin yang tidak bangga dengan proyek monumental.
Keempat, pemimpin yang hanya pandai ngukir sejarah untuk dikenang bagi generasi penerus, bahwa dia sukses memimpin padahal kebijakannya bertolak belakang dengan kondisi masyarakatnya yang perlu disentuh hajat hidup dan sumber hidupnya untuk kesejahteraan.
Kelima, pemimpin yang tidak chauvinisme, fatamorgana dan bangga akan dosa-dosa serta berdiri di atas menara gading. Keenam, pemimpin yang adil dalam membagi kue pembangunan antara Riau Daratan dan Riau Pesisir.
Dan tidak memprioritaskan kebijakan pembangunan ke daerah tempat lahir sementara potensi daerah lain lebih menjanjikan jika dikembangkan untuk kesejahteraan global. Ketujuh, pemimpin yang tidak egois, selalu memaksa kehendak. Tidak komunikatif dengan bawahan, tidak menghargai usaha dan jasa para pendahulunya.
Kedelapan, pemimpin yang tidak dikomandoi oleh pihak III karena terkait balas jasa.
Kesembilan, pemimpin yang tidak primordialis, KKN dan menghargai dan menjunjung tinggi profesionalitas, kualitas dan pengalaman.
Kesepuluh, pemimpin yang tidak termotivasi dengan berbagai penghargaan, tropi, piagam, sertifikat agar dipuji sukses dalam mengembang amanah jabatan padahal di sebalik itu ada kelicikan berbagai pihak untuk mendapatkan prioritas kemudahan dan keuntungan.
Kesebelas, pemimpin yang tidak berlindung pada selembar daun ilalang memperbesar masalah kecil memperkecil masalah besar, gajah di pelupuk mata tak terlihat tetapi tungau di seberang lautan jelas terlihat. Hukum dan aturan bukan alat pemuas nafsu serakah, penindas yang lemah tapi pembela yang lemah .
Apabila kriteria itu dapat dipenuhi oleh para calon gubernur dan diemban dalam menjalankan amanah jabatan, maka dengan ikhlas akan dipilih jadi Gubernur Riau tanpa harus diperas melalui budaya money politik budaya proposal, budaya aji mumpung , budaya ambil kesempatan dalam kesempitan, budaya cari untung di saat kaki dan tangan buntung.
Demikian surat ini ditulis, selamat bagi gubernur, anggota legislatif tepilih dan pejabat yudikatif yang ditunjuk . Semoga Riau jaya di daratan dan pesisir, mohon maaf lahir batin, buang air yang keruh ambil yang jernih.***
Hasrin Saily, Peminat masalah sosial budaya
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.