[ArtikelKeren] CERPEN - Tepat ketika pulang dari sembahyang Isya, Haji Adnan hilang raib begitu saja. Terakhir, beberapa anak muda yang asyik bergitar di simpang jalan melihat Haji Adnan berjalan memasuki gang menuju rumahnya. Tapi setelah itu Haji Adnan hilang ditelan gelap dan tidak ada yang menyangka ternyata ia benar-benar lenyap. Berita kehilangan itu diketahui setelah keluarganya melapor kepada penghulu bahwa sampai tengah malam Haji Adnan tak kunjung sampai ke rumah.
Malam itu juga, beberapa orang yang masih terjaga mengaduk seisi kampung untuk mengetahui keberadaan Haji Adnan. Sekelip mata saja, kampung itu haruk pikuk dengan berita kehilangan tersebut. Setelah beberapa jam pencarian dilakukan, tidak ditemukan bukti dan kesan pasti yang dapat dijadikan pedoman. Semuanya hampir putus asa, namun selang beberapa menit kemudian terdengar salah seorang warga berteriak. Ada jejak tapak binatang yang ternyata ditemukan di parit sekitar gang. Jejak tapak itu menuju ke semak belukar, persisnya sebelah rumah Haji Adnan yang kebetulan adalah tanah kosong.
Semula mereka semua sepakat bahwa jejak tapak tersebut adalah jejak tapak harimau tetapi setelah diperhatikan kembali dugaan itu belum tentu benar karena ada yang aneh dari jejak tersebut. Biasanya binatang berkaki empat itu tentulah meninggalkan jejak tapak empat buah atau dua pasang yaitu dua kaki depan dan dua kaki belakang. Tetapi yang mereka temukan hanya ada tiga buah, dua kaki belakang dan satu kaki depan.
‘’Untuk seukuran kaki harimau, jejak tapak ini terlalu besar. Dan yang membuat pelik lagi, jumlahnya hanye tige buah,’’ penghulu terdiam sejenak. ‘’Binatang ape pula yang berkaki tige?’’ Serombongan orang-orang yang ada pada saat itu juga tampak bingung untuk menjawab pertanyaan penghulu yang seperti teka-teki tersebut.
‘’Jangan-jangan ini jejak tapak binatang jadi-jadian tak Pak Penghulu?’’ jawab Usman, salah seorang pemuda kampung yang tadi juga duduk di simpang dan sempat melihat Haji Adnan berjalan memasuki gang rumahnya.
‘’Tak mungkin...’’
‘’Ye... tak mungkin,’’ jawab yang lainnya.
‘’Kalau pun ini binatang jadi-jadian, baik itu sijundai atau ape sajelah, tetap tak mungkin berkaki tige. Lagipula, dah dekat sepuluh tahun saye jadi penghulu di kampung ni, tak pernah lagi saye dengar masalah binatang jadi-jadian ni, zaman dah semakin canggih, ilmu-ilmu yang model begitu dah pun lame ditinggalkan,’’ ucap penghulu sambil memperhatikan dengan seksama jejak tapak yang menjadi satu-satunya bukti kehilangan Haji Adnan.
‘’Atau Haji Adnan kene sembunyi dak orang bunian Pak Penghulu,’’ sela yang lainnya.
‘’Ape pula hubungan orang bunian dengan jejak tapak ni,’’ sangkal Usman pula.
‘’Mungkin saje jejak tapak ni punye binatang orang bunian, kite mane tahu alam bunian tu!’’
‘’Sudahlah...jangan nak mengarut pula. Begini sajalah, kalau nak lebih jelasnye, kite harus cari orang yang paham dengan seluk beluk kampung kite ni’’. Penghulu sengaja memotong praduga orang-orang kampung yang mulai menyimpang. Apalagi setelah melihat kesedihan yang mulai bersidai di wajah keluarga Haji Adnan.
Sebagai penghulu di kampung itu ia harus cepat membuat keputusan agar masalah ini tidak berlarut-larut. Oleh karena itulah ia memerintah anak Haji Adnan dan beberapa orang untuk mencari Haji Adnan ke rumah-rumah kawannya yang biasa ia kunjungi. Sementara itu, Usman dan beberapa orang yang lainnya pula disuruh menjemput Pak Yayo untuk memastikan jejak tapak yang masih menjadi pertanyaan besar di kepala orang-orang kampung.
Pak Yayo adalah orang tetua kampung yang masih hidup dari beberapa yang tersisa. Beliau dulunya adalah seorang bomo yang handal. Namun saat ini beliau sudah lama melepaskan profesinya itu dan berkhidmat penuh di sebuah mesjid menjadi Tun Siak atau penjaga mesjid. Sebagai orang yang sudah banyak makan asam garam, tentu ia mengetahui sedikit banyaknya tentang seluk beluk kampung dan berikut bagaimana sejarah berdirinya. Untuk itulah penghulu meminta Pak Yayo untuk sama-sama mencari titik terang tentang misteri kehilangan Haji Adnan.
Sementara itu, orang-orang yang ada di TKP juga tidak tinggal diam. Mereka merambah semak-semak yang tumbuh meninggi di tanah kosong tempat ditemukannya jejak tapak tadi. Tapi ternyata jejak itu hilang tak berbekas. Jejak itu raib serupa raibnya Haji Adnan.
Malam semakin kelam, desah-desah ilalang yang ditebas menambah galau dan cemas di hati warga terutama tentunya keluarga Haji Adnan. Suara pekik-pingkau orang memanggil-manggil nama Haji Adnan yang dibalas dengan diam turut pula mendukung suasana kehilangan di malam itu. Seolah-olah Haji Adnan memang telah hilang, luncas entah kemana berada. Sungguh pun demikian mereka tak cepat berputus asa, segala kemungkinan mereka jejaki untuk mencari dan terus mencari. Meskipun hal itu dilakukan lebih sebagai upaya untuk mengurangi kesedihan istri Haji Adnan yang kini tampak sudah berurai air mata.
Setibanya Pak Yayo di tempat kejadian, semua orang berkumpul kembali untuk mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi. Semuanya diam membisu sambil memperhatikan gerak-gerik orang tua yang kurus pendek itu. Dengan masih berkemban kain, ia khusuk memperhatikan jejak tapak yang masih misterius tersebut. Sejenak Pak Yayo tampak terperanjat dan kemudian ia berdiri, matanya jauh nyalang ke depan sambil berujar, ‘’Gimau tengkes...!’’ gumamnya penuh makna.
‘’Gimau Tengkes?’’ ucap beberapa orang spontan dengan raut tanda tanya. Sebagiannya lagi hanya saling pandang termasuklah pak penghulu.
Pak Yayo pun akhirnya menceritakan semua yang diketahuinya. Bahwa gimau atau harimau tengkes itu dulu dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai binatang siluman penjaga kampung. Seekor harimau dengan ukuran tubuh melebihi harimau kebanyakan. Salah satu kaki depannya memanglah pincang. Kemunculan binatang siluman itu biasanya memberikan pertanda apabila di kampung itu akan dilanda bencana. Kemunculan Harimau itu juga biasanya ditandai dengan maraknya ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat yang dapat mencemari nama baik dan identitas kampung mereka itu.
‘’Jadi, apakah selame ini memang sudah ade yang menjadi korban?’’ tanya pak penghulu penuh selidik.
Pak Yayo tampak diam sejenak sambil berusaha mengingat-ingat. Matanya menatap tajam wajah-wajah warga yang kini seperti tak sabar menunggu jawabannya. ‘’Tidak! setahu aku, belum ade seorang pun yang menjadi korban selame ini. Sebab binatang itu bukanlah jenis pemangse tetapi die cume penjage di kampung kite ni,’’ jawab Pak Yayo tegas.
‘’Kalau begitu ke mane laki aku tuk? Mane die pergi sebetulnye ni? Kalau macam gini, naik serap aku tuk...tolonglah tuk...tolonglah...’’ istri Haji Adnan tampaknya mulai kehilangan kesabaran. Ia pun merentang-rentang setelah kejap kemudian jatuh pingsan. Melihat kondisi tersebut, akhirnya penghulu memerintahkan warga untuk membawa istri Haji Adnan menuju rumahnya dan diharapkan seluruh warga juga berkumpul bersama di sana.
Setelah semuanya tiba di rumah Haji Adnan, tampak penghulu berbincang-bincang dengan Pak Yayo sementara yang lain duduk sembari menunggu perintah selanjutnya. Suasana semakin mencengkam. Suara tangis istri Haji Adnan dan anak serta kaum kerabat menambah muramnya malam itu. Bagaimana tidak? Ini bukan kasus kehilangan yang biasa tapi hilang tak tentu rimba. Mau dikatakan mati, mayatnya tak ada, mau dikatakan masih hidup pun tak cukup alasan untuk menyebutkannya.
Sementara itu, di luar orang mulai bertambah ramai. Karena memang Haji Adnan selama ini dikenal seseorang yang baik hati, rajin beribadah, gemar menolong antar sesama. Gambaran sosok yang islami dan keMelayuan berbancuh di dalam dirinya. Sadar atau tidak, ia selalu menjadi panutan di kampung tersebut. Oleh karena itulah begitu terdengar orang-orang mengatakan Haji Adnan menghilang, mereka tidak merasa rugi untuk meluangkan masa guna turut mencari atau sekedar datang menjengah.
‘’Begini sajalah...!’’ pak penghulu membuka bicara. ‘’Saye selaku Penghulu mengharapkan malam ini juge untuk same-same kite menggeledah setiap tempat yang mencurigakan di kampung ini, jadi biar lebih efektif, kite pecah beberapa kelompok...’’
Belum sempat penghulu melanjutkan ucapannya, dari jauh terdengar jeritan seseorang. ‘’Tolong... tolong... laki aku... tolong...’’ seorang perempuan paruh baya berlari menuju rumah Haji Adnan. Begitu sampai ia pun menceritakan prihal suaminya yang belum pulang dari sejak tadi pagi. Suaminya itu pergi ke laut untuk mencari nafkah. Tetapi sampai malam begini belum juga tiba di rumah sementara sampan yang digunakan telah ditambat di tempat biasa. Dan yang membuat ia ketakutan adalah di sekitar pantai tempat sampan ditambat ada jejak tapak binatang.
‘’Macamnye, jejak tapak binatang itu, jejak tapak harimau Penghulu...tolonglah saye ni...’’
Mendengar penuturan dari perempuan yang bernama Biah itu semua orang yang ada tak berbunyi. Diam menyimpan raut kebingungan sekaligus ketakutan yang bertambah-tambah.
‘’Ade ape ni? Mengape semue diam? ni, ape hal semue berkumpul di rumah ni? Tolonglah...saye ni...’’
Dalam kebingungan akhirnya Biah diajak oleh penghulu masuk ke rumah Haji Adnan. Lalu diceritakanlah apa yang menimpa dirinya juga sedang dialami istri Haji Adnan. Mendengar hal itu, kedua istri yang kehilangan suami itu pun berpelukan sambil meratap tangis atas nasib serupa yang menimpa mereka.
Penghulu tampak semakin bingung. Ia hanya mondar-mandir masuk ke rumah sebentar kemudian keluar lagi. Dalam pada itulah, ia merasa kehilangan Pak Yayo. Ia pun segera bertanya kepada orang-orang yang ada di luar tapi tak seorang pun tahu apalagi tadi ketika Biah datang semuanya bergegas menuju ke halaman depan sehingga tak satu orang pun yang melihatnya. Usman pun diperintah kembali untuk mencari Pak Yayo di rumahnya.
Tak berapa lama Usman kembali sambil berlari-lari. Mukanya tampak pucat pasi begitu juga yang lainnya. Mereka tidak menemukan siapa-siapa di rumah Pak Yayo selain mendapati jejak tapak binatang yang sama di depan pintu rumah.
‘’Engkau jangan main-main Man!’’ bentak penghulu.
Dengan nafasnya yang masih terengah-engah Usman menjawab ‘’main-main ape pula Pak Penghulu. Tengoklah kami ni, berlari macam tak jejak tanah rasenye untuk sampai ke sini, begitulah saking dak takutnye...’’
Mendengar pernyataan Usman tersebut, spontan saja seluruh yang ada di sana pun menjadi semakin ketakutan. Tanpa diperintah semuanya sudah saling merapat dan mendekat, tak ada lagi yang berani duduk sendiri berjauh-jauhan. Kini apalagi yang mesti dilakukan sementara orang yang satu-satunya diharapkan untuk memberi petunjuk dalam masalah ini pun sudah hilang pula.
Akhirnya malam itu tak ada tindakan yang lebih jauh bisa dilakukan kecuali berjaga-jaga di sekitar rumah Haji Adnan. Rencana untuk mencari orang yang hilang ditunda menjelang siang karena begitulah kesepakatan yang telah diputuskan bersama. Mengingat jumlah mereka juga tidak terlalu ramai jika memang benar mereka harus berhadapan dengan binatang siluman tersebut. Siapa pula yang berani mengantar nyawa dengan sia-sia?
Begitulah akhirnya, di rumah Haji Adnan mereka berjaga-jaga sepanjang malam. Dengan sisa kebersamaan yang ada setidaknya mampu mengusir ketakutan pada diri masing-masing. Demikian juga dengan kesedihan akan kehilangan dari keluarga yang bersangkutan. Dalam hal ini, penghulu dan beberapa orang lainnya menjelaskan kepada mereka bahwa jika sekiranya orang-orang yang hilang tersebut diterkam dan kemudian mati tentu saja ada darah atau sobekan baju misalnya. Namun bukti itu tidak ditemukan sama sekali, hal ini berarti berkemungkinan si korban masih hidup, barangkali hanya disembunyikan. Berbagai pengertian dan pejelasan yang sifatnya menghibur mengucur mengimbangi kesedihan yang ada. Apakah cara itu berhasil? entahlah. Tetapi setidaknya untuk sementara hanya itu yang dapat mengurangi meskipun sesungguhnya tak ada yang bisa merasakan kehilangan jika tidak benar-benar kita yang merasakannya sendiri.
Akhirnya pagi yang dinanti-nanti pun menjelang. Suasana mencengkam telah pun berangkat seiring cahaya mentari yang menyapu jagat. Tidak dapat dielak lagi, rumah Haji Adnan pun bertambah ramai tentunya. Selain dari warga, sejumlah petugas keamanan pun telah bekerja sesuai dengan prosedurnya. Begitu juga para pencari berita sibuk pula mengumpulkan data-data untuk dijadikan bahan berita nantinya.
Berita kehilangan ini ternyata memang menjadi berita yang hangat dan akbar selama berbulan-bulan. Karena pada setiap malamnya seorang demi seorang kembali hilang dengan modus yang sama. Ke manakah raibnya mereka yang hilang? Benarkah gimau tengkes yang menyembunyikan atau memangsanya? Siapakah lagi yang akan menjadi korban berikutnya? Apakah mereka yang hilang itu akan kembali? Tapi bilakah masanya? Berbagai pertayaan memburai begitu saja tanpa ada jawaban yang pasti.
Masyarakat di kampung yang didera bencana serupa kutukan itu seolah-olah sudah pasrah. Tak ada yang bisa diupayakan karena semakin dicoba untuk diselamatkan semakin banyak pula yang hilang. Termasuk juga penghulu turut raib hilang entah kemana. Masih banyak lagi, diantaranya pemuda dan pemudi yang seharusnya menjadi regenarasi di kampung tersebut, ibu rumah tangga, anak-anak, janda, duda. Semuanya seolah menunggu giliran saja. Bila disimak dengan lebih teliti, proses kehilangan tersebut dimulai dari tokoh-tokoh yang menjadi panutan, tokoh masyarakat sampailah kelapisan masyarakat biasa. Tapi siapakah yang sempat peduli akan hal itu sementara tiap-tiap orang dicemaskan dengan gilirannya yang akan turut menghilang.
Satu hal yang mereka yakini setelah melihat persitiwa demi peristiwa kehilangan tersebut bahwa segenap masyarakat yang berasal dari kampung itu tampaknya memang akan hilang. Oleh karenanya, beberapa orang yang menyadari hal tersebut segera pergi dari kampung itu. Kalau pun ada sebagian, mereka telah mengungsi ke pinggir-pinggir atau perbatasan kampung terdekat. Tak ada alasan untuk mereka tetap tinggal, selain dari tidak adanya harapan untuk bisa bertahan hidup, pun semua tokoh yang selama ini menjadi panutan atau yang dipercaya untuk menjadi pemimpin sudah tidak ada lagi yang tersisa, akhirnya kebersamaan selama ini dimiliki luncas seiring lenyapnya mereka satu persatu.
Tetapi meskipun demikian, kampung yang ditinggal tersebut tidak lantas menjadi sepi atau mati. Aneh memang. Kampung itu seolah-olah seperti dibangun kembali. Yang hilang tetap hilang namun justru yang datang semakin tak terbendung pula. Entah dari sudut bumi mana mereka datang, yang pasti kedatangan mereka cukup dapat mengimbangi dan menenggelamkan berita kehilangan yang pernah terjadi. Mereka berkeluarga dan beranak pinak di kampung itu. Membangun kehidupan yang baru dengan nafas peradaban yang baru pula.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Tentu saja kemudian lambat laun peristiwa kehilangan yang begitu menakutkan menjadi sesuatu yang lazim. Ia menjadi semacam kebiasaan yang tak perlu dihiraukan. Ia hanya menjadi berita biasa saja seperti berita-berita korupsi, pembunuhan, perampokan, yang kerap kita baca di koran atau yang ditonton di layar televisi.
Lantas perlukah dipertanyakan lagi atau diselediki lebih jauh berita kehilangan itu jika semuanya sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan tentu saja sudah menjadi bagian dari sejarah. Perlukah kita mengetahui kebenaran sesungguhnya atau katakanlah hakikat atas jejak tapak yang ada di setiap peristiwa kehilangan tersebut? Terserahlah...! jika ada yang menganggap sangat perlu, mungkin suatu hari nanti akan ada pula yang bekerja keras mencari jawabannya. Tetapi jika itu tak lebih penting dari pada menyelamatkan diri sendiri, nikmati sajalah hidup ini.***
Gimau Tengkes: Harimau penjaga kampung yang dipercaya oleh beberapa masyarakat, terutama masyarakat Bukit Batu, Sungai Pakning dan sekitarnya. Binatang ini dulu diyakini sebagai binatang sakti yang bertugas sebagai penungu dan penjaga kampung.
Pulau Rindu, 30 Agustus - 5 September 2010
Jefri al Malay,
anak jati Sei Pakning adalah sastrawan muda Riau yang cukup produktif.
Malam itu juga, beberapa orang yang masih terjaga mengaduk seisi kampung untuk mengetahui keberadaan Haji Adnan. Sekelip mata saja, kampung itu haruk pikuk dengan berita kehilangan tersebut. Setelah beberapa jam pencarian dilakukan, tidak ditemukan bukti dan kesan pasti yang dapat dijadikan pedoman. Semuanya hampir putus asa, namun selang beberapa menit kemudian terdengar salah seorang warga berteriak. Ada jejak tapak binatang yang ternyata ditemukan di parit sekitar gang. Jejak tapak itu menuju ke semak belukar, persisnya sebelah rumah Haji Adnan yang kebetulan adalah tanah kosong.
Semula mereka semua sepakat bahwa jejak tapak tersebut adalah jejak tapak harimau tetapi setelah diperhatikan kembali dugaan itu belum tentu benar karena ada yang aneh dari jejak tersebut. Biasanya binatang berkaki empat itu tentulah meninggalkan jejak tapak empat buah atau dua pasang yaitu dua kaki depan dan dua kaki belakang. Tetapi yang mereka temukan hanya ada tiga buah, dua kaki belakang dan satu kaki depan.
‘’Untuk seukuran kaki harimau, jejak tapak ini terlalu besar. Dan yang membuat pelik lagi, jumlahnya hanye tige buah,’’ penghulu terdiam sejenak. ‘’Binatang ape pula yang berkaki tige?’’ Serombongan orang-orang yang ada pada saat itu juga tampak bingung untuk menjawab pertanyaan penghulu yang seperti teka-teki tersebut.
‘’Jangan-jangan ini jejak tapak binatang jadi-jadian tak Pak Penghulu?’’ jawab Usman, salah seorang pemuda kampung yang tadi juga duduk di simpang dan sempat melihat Haji Adnan berjalan memasuki gang rumahnya.
‘’Tak mungkin...’’
‘’Ye... tak mungkin,’’ jawab yang lainnya.
‘’Kalau pun ini binatang jadi-jadian, baik itu sijundai atau ape sajelah, tetap tak mungkin berkaki tige. Lagipula, dah dekat sepuluh tahun saye jadi penghulu di kampung ni, tak pernah lagi saye dengar masalah binatang jadi-jadian ni, zaman dah semakin canggih, ilmu-ilmu yang model begitu dah pun lame ditinggalkan,’’ ucap penghulu sambil memperhatikan dengan seksama jejak tapak yang menjadi satu-satunya bukti kehilangan Haji Adnan.
‘’Atau Haji Adnan kene sembunyi dak orang bunian Pak Penghulu,’’ sela yang lainnya.
‘’Ape pula hubungan orang bunian dengan jejak tapak ni,’’ sangkal Usman pula.
‘’Mungkin saje jejak tapak ni punye binatang orang bunian, kite mane tahu alam bunian tu!’’
‘’Sudahlah...jangan nak mengarut pula. Begini sajalah, kalau nak lebih jelasnye, kite harus cari orang yang paham dengan seluk beluk kampung kite ni’’. Penghulu sengaja memotong praduga orang-orang kampung yang mulai menyimpang. Apalagi setelah melihat kesedihan yang mulai bersidai di wajah keluarga Haji Adnan.
Sebagai penghulu di kampung itu ia harus cepat membuat keputusan agar masalah ini tidak berlarut-larut. Oleh karena itulah ia memerintah anak Haji Adnan dan beberapa orang untuk mencari Haji Adnan ke rumah-rumah kawannya yang biasa ia kunjungi. Sementara itu, Usman dan beberapa orang yang lainnya pula disuruh menjemput Pak Yayo untuk memastikan jejak tapak yang masih menjadi pertanyaan besar di kepala orang-orang kampung.
Pak Yayo adalah orang tetua kampung yang masih hidup dari beberapa yang tersisa. Beliau dulunya adalah seorang bomo yang handal. Namun saat ini beliau sudah lama melepaskan profesinya itu dan berkhidmat penuh di sebuah mesjid menjadi Tun Siak atau penjaga mesjid. Sebagai orang yang sudah banyak makan asam garam, tentu ia mengetahui sedikit banyaknya tentang seluk beluk kampung dan berikut bagaimana sejarah berdirinya. Untuk itulah penghulu meminta Pak Yayo untuk sama-sama mencari titik terang tentang misteri kehilangan Haji Adnan.
Sementara itu, orang-orang yang ada di TKP juga tidak tinggal diam. Mereka merambah semak-semak yang tumbuh meninggi di tanah kosong tempat ditemukannya jejak tapak tadi. Tapi ternyata jejak itu hilang tak berbekas. Jejak itu raib serupa raibnya Haji Adnan.
Malam semakin kelam, desah-desah ilalang yang ditebas menambah galau dan cemas di hati warga terutama tentunya keluarga Haji Adnan. Suara pekik-pingkau orang memanggil-manggil nama Haji Adnan yang dibalas dengan diam turut pula mendukung suasana kehilangan di malam itu. Seolah-olah Haji Adnan memang telah hilang, luncas entah kemana berada. Sungguh pun demikian mereka tak cepat berputus asa, segala kemungkinan mereka jejaki untuk mencari dan terus mencari. Meskipun hal itu dilakukan lebih sebagai upaya untuk mengurangi kesedihan istri Haji Adnan yang kini tampak sudah berurai air mata.
Setibanya Pak Yayo di tempat kejadian, semua orang berkumpul kembali untuk mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi. Semuanya diam membisu sambil memperhatikan gerak-gerik orang tua yang kurus pendek itu. Dengan masih berkemban kain, ia khusuk memperhatikan jejak tapak yang masih misterius tersebut. Sejenak Pak Yayo tampak terperanjat dan kemudian ia berdiri, matanya jauh nyalang ke depan sambil berujar, ‘’Gimau tengkes...!’’ gumamnya penuh makna.
‘’Gimau Tengkes?’’ ucap beberapa orang spontan dengan raut tanda tanya. Sebagiannya lagi hanya saling pandang termasuklah pak penghulu.
Pak Yayo pun akhirnya menceritakan semua yang diketahuinya. Bahwa gimau atau harimau tengkes itu dulu dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai binatang siluman penjaga kampung. Seekor harimau dengan ukuran tubuh melebihi harimau kebanyakan. Salah satu kaki depannya memanglah pincang. Kemunculan binatang siluman itu biasanya memberikan pertanda apabila di kampung itu akan dilanda bencana. Kemunculan Harimau itu juga biasanya ditandai dengan maraknya ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat yang dapat mencemari nama baik dan identitas kampung mereka itu.
‘’Jadi, apakah selame ini memang sudah ade yang menjadi korban?’’ tanya pak penghulu penuh selidik.
Pak Yayo tampak diam sejenak sambil berusaha mengingat-ingat. Matanya menatap tajam wajah-wajah warga yang kini seperti tak sabar menunggu jawabannya. ‘’Tidak! setahu aku, belum ade seorang pun yang menjadi korban selame ini. Sebab binatang itu bukanlah jenis pemangse tetapi die cume penjage di kampung kite ni,’’ jawab Pak Yayo tegas.
‘’Kalau begitu ke mane laki aku tuk? Mane die pergi sebetulnye ni? Kalau macam gini, naik serap aku tuk...tolonglah tuk...tolonglah...’’ istri Haji Adnan tampaknya mulai kehilangan kesabaran. Ia pun merentang-rentang setelah kejap kemudian jatuh pingsan. Melihat kondisi tersebut, akhirnya penghulu memerintahkan warga untuk membawa istri Haji Adnan menuju rumahnya dan diharapkan seluruh warga juga berkumpul bersama di sana.
Setelah semuanya tiba di rumah Haji Adnan, tampak penghulu berbincang-bincang dengan Pak Yayo sementara yang lain duduk sembari menunggu perintah selanjutnya. Suasana semakin mencengkam. Suara tangis istri Haji Adnan dan anak serta kaum kerabat menambah muramnya malam itu. Bagaimana tidak? Ini bukan kasus kehilangan yang biasa tapi hilang tak tentu rimba. Mau dikatakan mati, mayatnya tak ada, mau dikatakan masih hidup pun tak cukup alasan untuk menyebutkannya.
Sementara itu, di luar orang mulai bertambah ramai. Karena memang Haji Adnan selama ini dikenal seseorang yang baik hati, rajin beribadah, gemar menolong antar sesama. Gambaran sosok yang islami dan keMelayuan berbancuh di dalam dirinya. Sadar atau tidak, ia selalu menjadi panutan di kampung tersebut. Oleh karena itulah begitu terdengar orang-orang mengatakan Haji Adnan menghilang, mereka tidak merasa rugi untuk meluangkan masa guna turut mencari atau sekedar datang menjengah.
‘’Begini sajalah...!’’ pak penghulu membuka bicara. ‘’Saye selaku Penghulu mengharapkan malam ini juge untuk same-same kite menggeledah setiap tempat yang mencurigakan di kampung ini, jadi biar lebih efektif, kite pecah beberapa kelompok...’’
Belum sempat penghulu melanjutkan ucapannya, dari jauh terdengar jeritan seseorang. ‘’Tolong... tolong... laki aku... tolong...’’ seorang perempuan paruh baya berlari menuju rumah Haji Adnan. Begitu sampai ia pun menceritakan prihal suaminya yang belum pulang dari sejak tadi pagi. Suaminya itu pergi ke laut untuk mencari nafkah. Tetapi sampai malam begini belum juga tiba di rumah sementara sampan yang digunakan telah ditambat di tempat biasa. Dan yang membuat ia ketakutan adalah di sekitar pantai tempat sampan ditambat ada jejak tapak binatang.
‘’Macamnye, jejak tapak binatang itu, jejak tapak harimau Penghulu...tolonglah saye ni...’’
Mendengar penuturan dari perempuan yang bernama Biah itu semua orang yang ada tak berbunyi. Diam menyimpan raut kebingungan sekaligus ketakutan yang bertambah-tambah.
‘’Ade ape ni? Mengape semue diam? ni, ape hal semue berkumpul di rumah ni? Tolonglah...saye ni...’’
Dalam kebingungan akhirnya Biah diajak oleh penghulu masuk ke rumah Haji Adnan. Lalu diceritakanlah apa yang menimpa dirinya juga sedang dialami istri Haji Adnan. Mendengar hal itu, kedua istri yang kehilangan suami itu pun berpelukan sambil meratap tangis atas nasib serupa yang menimpa mereka.
Penghulu tampak semakin bingung. Ia hanya mondar-mandir masuk ke rumah sebentar kemudian keluar lagi. Dalam pada itulah, ia merasa kehilangan Pak Yayo. Ia pun segera bertanya kepada orang-orang yang ada di luar tapi tak seorang pun tahu apalagi tadi ketika Biah datang semuanya bergegas menuju ke halaman depan sehingga tak satu orang pun yang melihatnya. Usman pun diperintah kembali untuk mencari Pak Yayo di rumahnya.
Tak berapa lama Usman kembali sambil berlari-lari. Mukanya tampak pucat pasi begitu juga yang lainnya. Mereka tidak menemukan siapa-siapa di rumah Pak Yayo selain mendapati jejak tapak binatang yang sama di depan pintu rumah.
‘’Engkau jangan main-main Man!’’ bentak penghulu.
Dengan nafasnya yang masih terengah-engah Usman menjawab ‘’main-main ape pula Pak Penghulu. Tengoklah kami ni, berlari macam tak jejak tanah rasenye untuk sampai ke sini, begitulah saking dak takutnye...’’
Mendengar pernyataan Usman tersebut, spontan saja seluruh yang ada di sana pun menjadi semakin ketakutan. Tanpa diperintah semuanya sudah saling merapat dan mendekat, tak ada lagi yang berani duduk sendiri berjauh-jauhan. Kini apalagi yang mesti dilakukan sementara orang yang satu-satunya diharapkan untuk memberi petunjuk dalam masalah ini pun sudah hilang pula.
Akhirnya malam itu tak ada tindakan yang lebih jauh bisa dilakukan kecuali berjaga-jaga di sekitar rumah Haji Adnan. Rencana untuk mencari orang yang hilang ditunda menjelang siang karena begitulah kesepakatan yang telah diputuskan bersama. Mengingat jumlah mereka juga tidak terlalu ramai jika memang benar mereka harus berhadapan dengan binatang siluman tersebut. Siapa pula yang berani mengantar nyawa dengan sia-sia?
Begitulah akhirnya, di rumah Haji Adnan mereka berjaga-jaga sepanjang malam. Dengan sisa kebersamaan yang ada setidaknya mampu mengusir ketakutan pada diri masing-masing. Demikian juga dengan kesedihan akan kehilangan dari keluarga yang bersangkutan. Dalam hal ini, penghulu dan beberapa orang lainnya menjelaskan kepada mereka bahwa jika sekiranya orang-orang yang hilang tersebut diterkam dan kemudian mati tentu saja ada darah atau sobekan baju misalnya. Namun bukti itu tidak ditemukan sama sekali, hal ini berarti berkemungkinan si korban masih hidup, barangkali hanya disembunyikan. Berbagai pengertian dan pejelasan yang sifatnya menghibur mengucur mengimbangi kesedihan yang ada. Apakah cara itu berhasil? entahlah. Tetapi setidaknya untuk sementara hanya itu yang dapat mengurangi meskipun sesungguhnya tak ada yang bisa merasakan kehilangan jika tidak benar-benar kita yang merasakannya sendiri.
Akhirnya pagi yang dinanti-nanti pun menjelang. Suasana mencengkam telah pun berangkat seiring cahaya mentari yang menyapu jagat. Tidak dapat dielak lagi, rumah Haji Adnan pun bertambah ramai tentunya. Selain dari warga, sejumlah petugas keamanan pun telah bekerja sesuai dengan prosedurnya. Begitu juga para pencari berita sibuk pula mengumpulkan data-data untuk dijadikan bahan berita nantinya.
Berita kehilangan ini ternyata memang menjadi berita yang hangat dan akbar selama berbulan-bulan. Karena pada setiap malamnya seorang demi seorang kembali hilang dengan modus yang sama. Ke manakah raibnya mereka yang hilang? Benarkah gimau tengkes yang menyembunyikan atau memangsanya? Siapakah lagi yang akan menjadi korban berikutnya? Apakah mereka yang hilang itu akan kembali? Tapi bilakah masanya? Berbagai pertayaan memburai begitu saja tanpa ada jawaban yang pasti.
Masyarakat di kampung yang didera bencana serupa kutukan itu seolah-olah sudah pasrah. Tak ada yang bisa diupayakan karena semakin dicoba untuk diselamatkan semakin banyak pula yang hilang. Termasuk juga penghulu turut raib hilang entah kemana. Masih banyak lagi, diantaranya pemuda dan pemudi yang seharusnya menjadi regenarasi di kampung tersebut, ibu rumah tangga, anak-anak, janda, duda. Semuanya seolah menunggu giliran saja. Bila disimak dengan lebih teliti, proses kehilangan tersebut dimulai dari tokoh-tokoh yang menjadi panutan, tokoh masyarakat sampailah kelapisan masyarakat biasa. Tapi siapakah yang sempat peduli akan hal itu sementara tiap-tiap orang dicemaskan dengan gilirannya yang akan turut menghilang.
Satu hal yang mereka yakini setelah melihat persitiwa demi peristiwa kehilangan tersebut bahwa segenap masyarakat yang berasal dari kampung itu tampaknya memang akan hilang. Oleh karenanya, beberapa orang yang menyadari hal tersebut segera pergi dari kampung itu. Kalau pun ada sebagian, mereka telah mengungsi ke pinggir-pinggir atau perbatasan kampung terdekat. Tak ada alasan untuk mereka tetap tinggal, selain dari tidak adanya harapan untuk bisa bertahan hidup, pun semua tokoh yang selama ini menjadi panutan atau yang dipercaya untuk menjadi pemimpin sudah tidak ada lagi yang tersisa, akhirnya kebersamaan selama ini dimiliki luncas seiring lenyapnya mereka satu persatu.
Tetapi meskipun demikian, kampung yang ditinggal tersebut tidak lantas menjadi sepi atau mati. Aneh memang. Kampung itu seolah-olah seperti dibangun kembali. Yang hilang tetap hilang namun justru yang datang semakin tak terbendung pula. Entah dari sudut bumi mana mereka datang, yang pasti kedatangan mereka cukup dapat mengimbangi dan menenggelamkan berita kehilangan yang pernah terjadi. Mereka berkeluarga dan beranak pinak di kampung itu. Membangun kehidupan yang baru dengan nafas peradaban yang baru pula.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Tentu saja kemudian lambat laun peristiwa kehilangan yang begitu menakutkan menjadi sesuatu yang lazim. Ia menjadi semacam kebiasaan yang tak perlu dihiraukan. Ia hanya menjadi berita biasa saja seperti berita-berita korupsi, pembunuhan, perampokan, yang kerap kita baca di koran atau yang ditonton di layar televisi.
Lantas perlukah dipertanyakan lagi atau diselediki lebih jauh berita kehilangan itu jika semuanya sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan tentu saja sudah menjadi bagian dari sejarah. Perlukah kita mengetahui kebenaran sesungguhnya atau katakanlah hakikat atas jejak tapak yang ada di setiap peristiwa kehilangan tersebut? Terserahlah...! jika ada yang menganggap sangat perlu, mungkin suatu hari nanti akan ada pula yang bekerja keras mencari jawabannya. Tetapi jika itu tak lebih penting dari pada menyelamatkan diri sendiri, nikmati sajalah hidup ini.***
Gimau Tengkes: Harimau penjaga kampung yang dipercaya oleh beberapa masyarakat, terutama masyarakat Bukit Batu, Sungai Pakning dan sekitarnya. Binatang ini dulu diyakini sebagai binatang sakti yang bertugas sebagai penungu dan penjaga kampung.
Pulau Rindu, 30 Agustus - 5 September 2010
Jefri al Malay,
anak jati Sei Pakning adalah sastrawan muda Riau yang cukup produktif.
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.