Namun apa jadinya jika obat yang diperlukan tidak masuk dalam fornas? Padahal pasien tentu sangat membutuhkan obat-obatan yang lengkap. Masalah ini pula yang dialami seorang pasien pascaoperasi batu empedu di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Zulfarman, mengaku kesulitan memperoleh obat-obatan saat menggunakan fasilitas JKN . Ia memerlukan dua jenis obat resep untuk mengatasi rasa nyeri pada perutnya usai menjalani operasi endoskopi.
Tindakan endoskopi dilakukan pada Selasa (4/2/2014) lalu, dan ia sempat mengalami keluhan nyeri pada Rabu (5/2/2014) kemarin.
"Rasanya betul-betul sakit. Saya perlu obat setelah endoskopi. Tapi kata dokter obat itu tidak ada dalam INA-CBG's, sehingga dokter menolak menuliskan resepnya. Padahal resep tersebut dibutuhkan supaya saya bisa mendapatkan obat di luar," ujar pria yang pernah menjabat sebagai direktur SDM PT. ASKES itu.
Setelah proses negosiasi, akhinya resep obat bernama petidine dan nexium tersebut didapatkan Zulfarman. Kedua obat seharga Rp. 220 ribu tersebut diperolehnya di 2 lokasi berbeda, yaitu apotik RSCM tempatnya dirawat dan apotik di wilayah Senen, Jakarta Pusat untuk. Uang pembelian obat berasal dari kantong pribadinya.
"Saya bersyukur masih bisa mendapatkan obat meski harus nego. Namun bagaimana dengan masyarakat biasa yang bahkan tak mengerti JKN atau BPJS," tuturnya.
Berkaca dari pengalaman ini, Zulfarman meminta pemerintah dan BPJS kembali mengevaluasi sistem JKN termasuk INA-CBG's. Pemerintah dan BPJS juga diharap melakukan sosialisasi JKN pada para penyedia layanan kesehatan khususnya rumah sakit. Sehingga, pemahaman penyedia layanan kesehatan bisa sama, dan tak perlu takut untung rugi.
Menurut Zulfarman, sulitnya pemberian obat dikarenakan rumah sakit belum mengerti JKN dan ketakutan timbulnya kerugian. "Kuncinya ada pada sosialisasi, supaya tenaga kesehatan tidak terlalu kaku melaksanakan aturan. Sosialisasi juga diperlukan untuk menyamakan permahaman, JKN adalah asuransi sosial yang tidak berorientasi profit," terangnya. Zulfarman juga meminta pemerintah dan BPJS meriview daftar obat untuk JKN. Hal ini dikarenakan beberapa obat yang terbukti tidak ada dalam fornas. Ketiadaan obat, yang ditambah kekakuan mekanisme, akan menambah derita pasien. Terkait penyebab kurangnya sosialisasi dan reviewdaftar obat, Zulfarman menilai, sempitnya waktu menjadi penyebab utama.
"ASKES itu sudah disiapkan sejak 1960-an saat BPJS masih bernama Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), sedangkan JKN hanya disiapkan dalam waktu 4 tahun. Mungkin sebaiknya perubahan menjadi JKN dilakukan bertahap dan tidak buru-buru, diawali perluasan peserta, pembagian kartu, dan diakhiri pengenalan sistem pembiayaan," tuturnya. (ak27)
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.