Oleh : Samsul Nizar
Sosoknya jangan dikaburkan dengan menggunakan intelektualitas dengan bentuk “pseudo karakter” yang membingungkan dengan pesan-pesan ketidakjelasan.
Intelektual harus tampil pada posisi merdeka, tanpa rantai pesan kepentingan yang melilit tubuhnya.
Kemerdekaan seorang intelektual menyuarakan kebenaran adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Eksistensinya senantiasa memberi kecerdasan di tengah kebuntuan yang membelenggu.
Sosoknya selalu menjadi pioneer perubahan dengan kesantunan yang mencerdaskan. Bukanlah dikatakan intelektual tatkala hanya bisa diam dengan anggukan setuju atas kealpaan dunia, apatah lagi sampai menjadi pemegang skenario untuk mengalpakan peradaban manusia.
Tidaklah menjadi dosa tatkala intelektual bermain dalam permainan catur dunia nyata. Namun, asalkan seorang intelektual tidak kemudian terlupa akan posisinya dengan membiarkan hanyut oleh bidak catur yang dimainkan.
Ia mesti meletakkan kebenaran yang cerdas dalam permainan catur dunia nyata. Bila justru ia dipaksa mengubah idealisme sesuai dengan keinginan permainan, maka eksistensinya akan gugur, bahkan mengakibatkan kerusakan yang sangat serius.
Bila persoalan di atas terjadi, maka umat akan kehilangan arah untuk mengatur langkah ke depan yang lebih baik, bahkan akan kehilangan kepercayaan.
Saat ini umat membutuhkan sentuhan intelektual yang memposisikan dirinya pada posisi ideal. Umat membutuhkan sosok bagaikan punggawa intelektual Islam abad keemasan seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, al-Khawarizmi, dan lainnya.
Atau paling tidak bagaikan Galileo dan Galiley yang tafaquh atas intelektualitasnya sehingga mampu mengalahkan kekaburan yang terjadi pada masanya.
Sosok intelektual di atas mencerminkan posisi ideal intelektual yang saat ini didambakan. Mereka tidak anti koreksi, selama koreksian yang diberikan adalah kebenaran.
Mereka tidak arogan dengan tindakan kesewenang-wenangan tatkala mendapatkan jabatan. Mereka tidak silau oleh gemerlap materi, apatah lagi bila diraih dengan menjual idealisme dan bertentangan dengan kebenaran.
Meski berbeda pendapat, namun selalu dibangun dengan pakaian kesantunan, bukan caci maki dan saling menghujat.
Mereka selalu melihat dan menghargai kebenaran tanpa dibatasi oleh sekat-sekat teritorial kerdil. Mereka selalu melihat profesionalitas dan kualitas intelektual orang lain secara obyektif. Mereka selalu melihat kebenaran dan bingkai yang equivalen, bukan subyektif yang menampilkan pepatah “sampai di perut dikempiskan, sampai di mata dipicingkan”. Justeru tampilan intelektulitas yang mereka miliki mampu membuat perubahan besar bagi peradaban dunia.
Namun, tatkala intelektualitas telah dijajah oleh kepalsuan dan kepura-puraan, maka yang akan terjadi hancurnya posisi intelektual yang dimiliki.
Posisi intelektual adalah posisi “besar” yang harus dipelihara. Bukankah pepatah pernah mengungkap, bahwa orang besar bukan karena memiliki kewenangan yang besar dengan penghasilan yang besar.
Akan tetapi orang besar adalah orang yang selalu memikirkan persoalan besar untuk memaslahatan masyarakat yang lebih besar.
Sementara orang kecil adalah intelektual yang hanya mengurusi hal-hal kecil untuk memenuhi kepentingan segelintir masyarakat yang kecil saja.
Sejarah mencatat, penyebab Eropa mundur pada abad pertengahan dikarenakan para kaisar saat itu yang tak menghargai para intelektual dan bahkan memusuhi kaum intelektual.
Para kaisar justeru menginginkan mereka yang memiliki kemampuan biasa-biasa saja atau mereka yang menjadikan pakaian intelektual sesuai dengan kehendak kaisar sebagai pengatur negeri.
Kondisi ini dilakukan agar eksistensi kekuasaan bisa langgeng dan menyuburkan prinsip kolegial dan bagi-bagi kekuasaan.
Kekuasaan hanya berputar-putar pada segelintir orang yang tak memiliki kemampuan atau bersembunyi dengan pakaian intelektualitas yang tak menunjukkan kecerdasan.
Begitu banyak cendikia di negeri ini, namun belum menunjukkan korelasi yang signifikan atas perubahan besar yang seyogyanya terjadi.
Himpitan dan hiruk pikuk persoalan yang membahana, seakan mempertanyakan dimanakah para intelektual di negeri ini.
Apakah sudah berbuat tapi hampa dan kurang mendapat sambutan, masa bodoh karena begitu lelah melihat fenomena papan catur yang memusingkan kepala, atau meletakkan intelektualitas sebagai modal mendapat kekuasaan yang semu dengan putaran yang saling bergantian.
Negeri ini begitu banyak intelektual yang berkualitas. Mereka tak menganut adat “angguk dan bicara besar”.
Singsingkan kekuatan untuk bersama mencerdaskan umat, Posisi intelektualitas yang seperti ini sesungguhnya wujud pemegang amanah Rasulullah “intelektual adalah pewaris ajaran para nabi”.
Begitu tinggi derajat yang dimiliki tatkala predikat tersebut terpelihara, apatah lagi bila secara realitas dapat dirasakan kebermanfaatannya oleh seluruh lapisan masyarakat.
Di manakah posisi kita sesungguhnya? Hanya masing-masing kita yang menjawab dengan timbangan hati nurani dan kebenaran yang benar.***(ak27)
Samsul Nizar
Guru Besar UIN Suska dan Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bengkalis
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.