Oleh : Edyanus Herman Halim
[ArtikelKeren] OPINI - Kehidupan perekonomian masyarakat saat ini sangat rentan terhadap berbagai guncangan dan krisis.
Putus saja jalan dari Sumatera Barat atau Sumatera Utara harga-harga keperluan pokok langsung melonjak dan rakyat menjerit untuk membeli cabai, bawang dan segala macam keperluan pengganjal perut.
Dari sisi pendapatan, turunnya harga CPO dan karet di pasar internasional langsung berkontribusi pada menciutnya daya beli masyarakat.
Bila kedua sisi tersebut terjadi bersamaan maka tingkat kesengsaraan kian tinggi.
Alternatif mata pencaharian untuk mengatasi surutnya pendapatan dari perkebunan sudah sulit dikembangkan. Pola perkebunan mono kultur membuat lahan-lahan kian sempit.
Lahan pertanian tanaman pangan berganti fungsi jadi perkebunan. Hutan-hutan yang dulu menjadi sumber penghasilan alternatif kini tinggal padang sawit yang tak memiliki ragam pemanfaatan.
Mungkin peternakan masih dapat dikembangkan di celah-celah jejeran pohon sawit dan tersedianya pakan ternak dari daun dan pelepah sawit. Hanya saja teknologi peternakannya sangat jauh dari budaya beternak orang-orang kampung.
Perubahan pendapatan dari berkebun sawit memang terasa meningkatkan kesejahteraan pada satu sisi, namun di sisi lain meningkatnya pendapatan membawa dampak pada peningkatan pola konsumsi.
Kecenderungan untuk membelanjakan uang memang sangat menggoda. Itu menjadi celah bagi para tengkulak untuk masuk dengan menawarkan berbagai barang-barang pemuas hasrat, bukannya barang-barang keperluan pokok utama.
Pola penjualan yang ditawarkan lebih banyak berbasis kredit. Masyarakat terperangkap pada harga beli yang mahal dan terperangkat pada beban bunga yang relatif tinggi.
Meskipun dengan uang muka yang rendah, bahkan dapat pula tanpa uang muka, hasrat masyarakat petani untuk memiliki, televisi, sepeda motor dan barang-barang belanjaan lain terpenuhi dengan tanggungan biaya yang relatif tinggi.
Terlenakan kenaikan pendapatan masyarakat petani justru melupakan pula kebiasaan mereka untuk hidup dengan cara self-service.
Lahan pangan dan lahan pekarangan yang selama ini digarap untuk memenuhi keperluan pokok sendiri terabaikan. Tidak sedikit lahan kosong dan terlantar yang dulunya berfungsi sebagai ladang padi dan jagung sekarang menjadi semak belukar tanpa isi.
Lahan-lahan pekarangan dan kebun sayur-sayuran tidak diolah seperti sedia kala. Sebelumnya lahan-lahan tersebut berisikan ubi kayu dan segala macam ”barang muda” (tanaman yang dapat dipanen dalam jangka pendek) untuk memenuhi keperluan sendiri.
Bahkan hasilnya dapat dijual dipasar untuk memperoleh pendapatan tambahan bagi memenuhi keperluan hidup sehari-hari seperti garam, gula, teh, kopi, dan lain-lain.
Kini semua keperluan hidup tersebut didapatkan dengan membelanjakan pendapatan dari sumber mata pencaharian pokok, yakni perkebunan sawit dan karet.
Strategi pembangunan yang berorientasi pada efisiensi ekonomi dan perbaikan taraf hidup masyarakat memang memerlukan waktu.
Pemerintah harus bersedia untuk tidak populer di mata masyarakat bila ingin menempatkan langkah-langkah logis kepada penyelesaian yang fundamental.
Berat memang menciptakan suatu situasi di mana masyarakat memiliki beragam sumber pendapatan. Jumlah penduduk kian membengkak, lahan kian terbatas, ragam keinginan makin bertambah sehingga solusi komprehensif sulit ditemukan. Kian banyak kepala kian banyak pula hasrat dan keinginannya.
Pembangunan tentunya tidak dapat diarahkan untuk mengurangi pendapatan. Justru sebaliknya peningkatan pendapatan harus senantiasa ditumbuhkan.
Namun demikian meredam kenaikan pengeluaran dari kenaikan pendapatan menjadi penting untuk dikerjakan. Masyarakat harus tetap ditumbuhkan kesadarannya untuk mengendalikan hasrat belanja yang tidak produktif. Ini berarti celah-celah investasi produktif rakyat harus dibuka oleh pemerintah.
Di sinilah peran APBD yang sesungguhnya dalam menumbuhkan kreativitas dan produktivitas masyarakat. Anggaran pemerintah harus mampu menstimulus lahirnya peluang-peluang masyarakat untuk menciptakan berbagai alternatif pendapatan dan mengurangi beban hidup.
Kemandirian rakyat merupakan kunci utama bagi kesuksesan meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Kemandirian bukan berarti semata-mata dalam aspek ekonomi tetapi juga meliputi aspek integritas dan aktualitas rakyat untuk menjadi dirinya sendiri. Dahulu kala, meski pun hidup di pedesaan, rakyat terkesan sangat mandiri.
Di Kuantan Singingi misalnya, sangat terkenal dengan istilah gotah lantuak. Penyadap karet tak akan menjual getah hasil sadapannya bila harga kurang bersahabat.
Getah yang sudah diasadap akan ditumpuk (dilantuak) menunggu harga bagus atau dijual bila memang ada keperluan yang perlu dan mendesak.
Mereka seakan tak hirau dengan tekanan toke dan aparatur pemerintah karena mereka memiliki berbagai alternatif mata pencaharian.
Musim dan cuaca menjadi sesuatu yang silih berganti tanpa henti dan tak perlu dirisaukan. Setiap musim mereka memiliki cara memenuhi segala kebutuhan pokoknya dan setiap waktu mereka punya kemampuan mendapatkan segala keperluan hidupnya.
Menghadapi krisis ekonomi rakyat tak gentar. Harapan tetap mereka gantungkan untuk nuansa kehidupan yang kian membaik, tetapi mereka punya kesadaran dan kebiasaan untuk hidup dalam kewajaran.
Dolar naik dan inflasi membumbung bagi mereka justru hanya sebuah nyanyian kehidupan.
Kemana melangkah ada sumber kehidupan dan hasrat berbandulkan kepatutan sehingga tidak terjerat nafsu keserakahan.
Tata kekerabatan dirajut untuk meninggikan yang patut berdiri tegak dan menselesakan yang mesti harus duduk bersimpai sila.
Institusi kemasyarakatan, mulai dari sosial dan ekonomi terhindar dari praktek pemburu rente yang kemaruk dan memecah belah.
Membangun kemandirian tidak mungkin berhasil dengan mengandalkan bantuan sosial yang masif dan tak terukur. Itu hanya akan membuat rakyat menjadi peminta-minta dan sungguh nista.
Hanya tiga yang utama untuk diupayakan bagi mengubah potret pilu masyarakat apatis tersebut oleh pemerintah.
Pertama, cukupi keperluan infrastruktur dasar rakyat agar mereka mampu megupayakan kecukupan hidup mereka dan menurunkan beban kehidupannya.
Kedua, perbaiki kualitasnya, baik dari segi ketrampilan dan pengetahuan serta kesehatannya.
Ini penting karena waktu tak mungkin berhenti berputar, apa lagi balik ke belakang.
Rakyat harus siap menghadapi perubahan dengan segala kepekaan dan kecakapan. Ketiga, perkuat benteng pertahanan jiwanya. Ini memerlukan perbaikan yang terus menerus dalam keimanan dan ketaqwaannya pada Tuhan Yang Esa. Insya Allah.***(ak27)
Edyanus Herman Halim
Dosen Fakultas Ekonomi Unri
[ArtikelKeren] OPINI - Kehidupan perekonomian masyarakat saat ini sangat rentan terhadap berbagai guncangan dan krisis.
Putus saja jalan dari Sumatera Barat atau Sumatera Utara harga-harga keperluan pokok langsung melonjak dan rakyat menjerit untuk membeli cabai, bawang dan segala macam keperluan pengganjal perut.
Dari sisi pendapatan, turunnya harga CPO dan karet di pasar internasional langsung berkontribusi pada menciutnya daya beli masyarakat.
Bila kedua sisi tersebut terjadi bersamaan maka tingkat kesengsaraan kian tinggi.
Alternatif mata pencaharian untuk mengatasi surutnya pendapatan dari perkebunan sudah sulit dikembangkan. Pola perkebunan mono kultur membuat lahan-lahan kian sempit.
Lahan pertanian tanaman pangan berganti fungsi jadi perkebunan. Hutan-hutan yang dulu menjadi sumber penghasilan alternatif kini tinggal padang sawit yang tak memiliki ragam pemanfaatan.
Mungkin peternakan masih dapat dikembangkan di celah-celah jejeran pohon sawit dan tersedianya pakan ternak dari daun dan pelepah sawit. Hanya saja teknologi peternakannya sangat jauh dari budaya beternak orang-orang kampung.
Perubahan pendapatan dari berkebun sawit memang terasa meningkatkan kesejahteraan pada satu sisi, namun di sisi lain meningkatnya pendapatan membawa dampak pada peningkatan pola konsumsi.
Kecenderungan untuk membelanjakan uang memang sangat menggoda. Itu menjadi celah bagi para tengkulak untuk masuk dengan menawarkan berbagai barang-barang pemuas hasrat, bukannya barang-barang keperluan pokok utama.
Pola penjualan yang ditawarkan lebih banyak berbasis kredit. Masyarakat terperangkap pada harga beli yang mahal dan terperangkat pada beban bunga yang relatif tinggi.
Meskipun dengan uang muka yang rendah, bahkan dapat pula tanpa uang muka, hasrat masyarakat petani untuk memiliki, televisi, sepeda motor dan barang-barang belanjaan lain terpenuhi dengan tanggungan biaya yang relatif tinggi.
Terlenakan kenaikan pendapatan masyarakat petani justru melupakan pula kebiasaan mereka untuk hidup dengan cara self-service.
Lahan pangan dan lahan pekarangan yang selama ini digarap untuk memenuhi keperluan pokok sendiri terabaikan. Tidak sedikit lahan kosong dan terlantar yang dulunya berfungsi sebagai ladang padi dan jagung sekarang menjadi semak belukar tanpa isi.
Lahan-lahan pekarangan dan kebun sayur-sayuran tidak diolah seperti sedia kala. Sebelumnya lahan-lahan tersebut berisikan ubi kayu dan segala macam ”barang muda” (tanaman yang dapat dipanen dalam jangka pendek) untuk memenuhi keperluan sendiri.
Bahkan hasilnya dapat dijual dipasar untuk memperoleh pendapatan tambahan bagi memenuhi keperluan hidup sehari-hari seperti garam, gula, teh, kopi, dan lain-lain.
Kini semua keperluan hidup tersebut didapatkan dengan membelanjakan pendapatan dari sumber mata pencaharian pokok, yakni perkebunan sawit dan karet.
Strategi pembangunan yang berorientasi pada efisiensi ekonomi dan perbaikan taraf hidup masyarakat memang memerlukan waktu.
Pemerintah harus bersedia untuk tidak populer di mata masyarakat bila ingin menempatkan langkah-langkah logis kepada penyelesaian yang fundamental.
Berat memang menciptakan suatu situasi di mana masyarakat memiliki beragam sumber pendapatan. Jumlah penduduk kian membengkak, lahan kian terbatas, ragam keinginan makin bertambah sehingga solusi komprehensif sulit ditemukan. Kian banyak kepala kian banyak pula hasrat dan keinginannya.
Pembangunan tentunya tidak dapat diarahkan untuk mengurangi pendapatan. Justru sebaliknya peningkatan pendapatan harus senantiasa ditumbuhkan.
Namun demikian meredam kenaikan pengeluaran dari kenaikan pendapatan menjadi penting untuk dikerjakan. Masyarakat harus tetap ditumbuhkan kesadarannya untuk mengendalikan hasrat belanja yang tidak produktif. Ini berarti celah-celah investasi produktif rakyat harus dibuka oleh pemerintah.
Di sinilah peran APBD yang sesungguhnya dalam menumbuhkan kreativitas dan produktivitas masyarakat. Anggaran pemerintah harus mampu menstimulus lahirnya peluang-peluang masyarakat untuk menciptakan berbagai alternatif pendapatan dan mengurangi beban hidup.
Kemandirian rakyat merupakan kunci utama bagi kesuksesan meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Kemandirian bukan berarti semata-mata dalam aspek ekonomi tetapi juga meliputi aspek integritas dan aktualitas rakyat untuk menjadi dirinya sendiri. Dahulu kala, meski pun hidup di pedesaan, rakyat terkesan sangat mandiri.
Di Kuantan Singingi misalnya, sangat terkenal dengan istilah gotah lantuak. Penyadap karet tak akan menjual getah hasil sadapannya bila harga kurang bersahabat.
Getah yang sudah diasadap akan ditumpuk (dilantuak) menunggu harga bagus atau dijual bila memang ada keperluan yang perlu dan mendesak.
Mereka seakan tak hirau dengan tekanan toke dan aparatur pemerintah karena mereka memiliki berbagai alternatif mata pencaharian.
Musim dan cuaca menjadi sesuatu yang silih berganti tanpa henti dan tak perlu dirisaukan. Setiap musim mereka memiliki cara memenuhi segala kebutuhan pokoknya dan setiap waktu mereka punya kemampuan mendapatkan segala keperluan hidupnya.
Menghadapi krisis ekonomi rakyat tak gentar. Harapan tetap mereka gantungkan untuk nuansa kehidupan yang kian membaik, tetapi mereka punya kesadaran dan kebiasaan untuk hidup dalam kewajaran.
Dolar naik dan inflasi membumbung bagi mereka justru hanya sebuah nyanyian kehidupan.
Kemana melangkah ada sumber kehidupan dan hasrat berbandulkan kepatutan sehingga tidak terjerat nafsu keserakahan.
Tata kekerabatan dirajut untuk meninggikan yang patut berdiri tegak dan menselesakan yang mesti harus duduk bersimpai sila.
Institusi kemasyarakatan, mulai dari sosial dan ekonomi terhindar dari praktek pemburu rente yang kemaruk dan memecah belah.
Membangun kemandirian tidak mungkin berhasil dengan mengandalkan bantuan sosial yang masif dan tak terukur. Itu hanya akan membuat rakyat menjadi peminta-minta dan sungguh nista.
Hanya tiga yang utama untuk diupayakan bagi mengubah potret pilu masyarakat apatis tersebut oleh pemerintah.
Pertama, cukupi keperluan infrastruktur dasar rakyat agar mereka mampu megupayakan kecukupan hidup mereka dan menurunkan beban kehidupannya.
Kedua, perbaiki kualitasnya, baik dari segi ketrampilan dan pengetahuan serta kesehatannya.
Ini penting karena waktu tak mungkin berhenti berputar, apa lagi balik ke belakang.
Rakyat harus siap menghadapi perubahan dengan segala kepekaan dan kecakapan. Ketiga, perkuat benteng pertahanan jiwanya. Ini memerlukan perbaikan yang terus menerus dalam keimanan dan ketaqwaannya pada Tuhan Yang Esa. Insya Allah.***(ak27)
Edyanus Herman Halim
Dosen Fakultas Ekonomi Unri
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.