Oleh : Fakhrunnas MA Jabbar
Sepanjang jalan kenangan
Kita selalu bergandeng tangan
...................
[ArtikelKeren] OPINI - Lirik lagu jadul (zaman dulu) tahun 1960-an ini pasti tak mudah luput bagi pasangan yang pernah muda di zamannya.
Jalan kenangan menyiratkan makna realis karena boleh jadi ruas jalan yang pernah dilintasi oleh sepasang kekasih itu benar-benar ada.
Sedangkan makna psikologis terkait ”jalan kenangan” semata-mata hanyalah metafora yang indah dan elok untuk melukiskan sebuah peristiwa yang patut diabadikan sepanjang masa.
Orang Melayu memiliki ungkapan khas untuk menggambarkan betapa tak mudah mengubur sebuah kenangan yang indah. Kata ungkapan itu: sedang tempat jatuh lagi dikenang, apatah lagi tempat bermain.
Setiap orang punya hak untuk memagar dan melindungi serpihan-serpihan kenangan sepanjang hidupnya. Tentu saja, secara semiotika, setiap wujud benda, pepohonan dan daun, matahari atau rembulan, waktu atau momentum dan tentu saja seruas jalan dan apa pun itu akan terpatri kuat dalam sanubari.
Tak selamanya sebuah ruas jalan akan menjadi jalan kenangan bertabur keindahan. Masih ada wujud jalan lain yang keberadaannya bertolak-belakang. Itulah yang dinamakan ”jalan genangan”.
Bahkan lebih buruk lagi bisa berubah jadi ”jalan kubangan”. Inilah ruas jalan yang dipenuhi genangan pada musim hujan. Hampir di semua kota, ruas jalan genangan ini memang tak bisa dihindari.
Persoalannya, bagaimana mungkin bermunculan jalan genangan setelah guyuran hujan deras.
Tata kota atau planologi dan sistem drainase jalan merupakan titik pangkal munculnya kasus jalan genangan atau jalan kubangan ini.
Para perencana, kontraktor dan konsultan yang ahli konstruksi jalan sudah paham betul bagaimana persyaratan normatif yang harus dipenuhi.
Kemampuan para ahli itu membuat prediksi kemungkinan posisi jalan secara topografis dengan curah hujan tak perlu diragukan lagi.
Begitu pula lebar dan dalam drainase di kiri-kanan jalan sudah harus diperhitungkan sesuai dengan daya tampung (kapasitas) air saat hujan deras.
Realitas yang terdedah di depan mata, kenapa banyak sekali ruas-ruas jalan baik di tengah kota apalagi di pedesaan dan perkampungan, benar-benar jadi genangan berjam-jam bahkan berhari-hari.
Tentu saja ruas-ruas jalan ini dalam jangka panjang akan mengalami dekonstruksi (penghancuran). Sebab, tak ada aspal jalan yang tak hancur bila terendam air terus-menerus.
Lihatlah ruas-ruas jalan yang biasanya jadi ‘jalan genangan’ itu di hampir semua kota dan desa, tak beranjak dari titik yang sama. Anehnya, bertahun-tahun, pihak pemerintah yang mengurus otorita jalan tersebut bagaikan tak peduli.
Setali tiga uang, kepala daerah dan kepala pemerintahan yang bertanggung jawab penuh atas wilayah yang dipimpinnya juga tak memberikan teguran atau instruksi pada dinas atau institusi yang mestinya bertanggung jawab.
Semua orang boleh curiga di negeri, jangan-jangan selain dikampanyekan selama ini motto ‘pembangunan terencana’ juga diam-diam berlangsung pula ‘penghancuran terencana’.
Sebab, dana pembangunan yang bersumber dari uang rakyat yang dikelola oleh negara dan pemerintah begitu mudah mengalir.
Secara manusiawi, siapa pun yang menjadi penguasa akan tergiur untuk menggunakan uang rakyat tersebut suka-sukanya.
Selain tindakan itu secara tak langsung bisa mendongkrak popularitas dan elektabilitas di mata rakyat juga tak tertutup kemungkinan dapat pula untuk menambah ‘proyek’ yang menguntungkan pribadi atau kelompok. Soal ini sudah jadi rahasia umum di negeri ini.
Di masa lalu, pada zaman Orde Baru, pernah dicanangkan apa yang dinamakan ‘Waskat’ alias pengawasan melekat. Pola ini sebenarnya cukup bagus untuk saling melakukan pengawasan secara struktural di jajaran pemerintah. Meskipun kebocoran dana pembangunan terus saja terjadi di luar kendali.
Pada masa itu, Prof Sumitro Djojohadikusumo yang menjabat salah satu menteri yang mengurus bidang perekonomian sudah memprediksi kebocoran dana proyek mencapai 30 persen.
Hal inilah yang menjadi salah satu biangkeladi buruknya kualitas bangunan proyek yang dikerjakan. Banyak pihak ikut ‘bermain’ dalam manajemen proyek semacam itu.
Ternyata pada masa pemerintahan reformasi, perilaku permainan dalam urusan proyek ini bukannya berkurang. Semakin banyak modus yang muncul.
Apalagi pola persetujuan proyek atau rencana pembangunan tak hanya berada di tangan pihak biorokrat melainkan juga harus atas persetujuan lembaga legislatif.
Fakta menunjukkan, dari waktu ke waktu semakin banyak para pejabat publik baik dari eksekutif maupun legislatif bahkan yudikatif yang tersandung kasus-kasus korupsi.
Tragedi rubuhnya bangunan-bangunan vital atau infrastruktur berupa bangunan gedung, jalan, jembatan atau obyek fasilitas publik lainnya semakin jadi berita biasa.
Masih ingat ketika salah satu jembatan terpanjang di Indonesia yakni Jembatan Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) tiba-tiba ambruk padahal jembatan tersebut baru berusia beberapa tahun.
Begitu pula, Jembatan Siak III di Pekanbaru yang dalam usia dini sudah melengkung yang sangat membahayakan pengguna.
Saatnya para pejabat publik mulai dari jajaran tertinggi hingga terendah lebih-lebih lagi dinas yang mengurus konstruksi jalan itu lebih membuka mata lebar-lebar.
Meningkatkan sensitivitas saat hujan deras baik siang atau malam untuk melakukan blusukan (on the spot) di lapangan untuk menyaksikan langsung bagaimana drama ‘jalan genangan’ bahkan ‘jalan kubangan’ itu dipentaskan di tengah-tengah rakyat.
Kadangkala, buruknya situasi ruas jalan itu pada musim hujan tersebut dapat diatasi dengan cukup membuat parit kecil yang mengalirkan genangan air di jalan ke parit besar (drainase) di kiri-kanan jalan.
Bila kapasitas atau daya tampung parit drainase itu tak mencukupi, bukankah saatnya untuk melakukan perbaikan atau perluasan parit drainase agar kasus ‘jalan genangan’ tidak jadi nyanyian rutin sepanjang tahun.
Jangan-jangan ada di antara oknum pejabat publik itu ingin membenarkan apa yang ditulis dalam puisi berjudul ‘Banjir’ karya penyair Ediruslan Pe Amanriza: “...di Riau, banjir jadi pantun sepanjang tahun...”.
Atau bila hendak berburuk sangka, jangan-jangan ada oknum pejabat publik yang terobsesi dengan ‘Kota Air’ Venice (Venisia) di Itali yang ruas-ruas jalan memang dihubungkan oleh bentangan air sepanjang waktu. Namun, kota itu hingga kini benar-benar jadi tujuan wisata dunia yang unik dan mendatangkan banyak devisa.***(ak27/rp)
Fakhrunnas MA Jabbar
Pensyarah Universitas Islam Riau
Sepanjang jalan kenangan
Kita selalu bergandeng tangan
...................
[ArtikelKeren] OPINI - Lirik lagu jadul (zaman dulu) tahun 1960-an ini pasti tak mudah luput bagi pasangan yang pernah muda di zamannya.
Jalan kenangan menyiratkan makna realis karena boleh jadi ruas jalan yang pernah dilintasi oleh sepasang kekasih itu benar-benar ada.
Sedangkan makna psikologis terkait ”jalan kenangan” semata-mata hanyalah metafora yang indah dan elok untuk melukiskan sebuah peristiwa yang patut diabadikan sepanjang masa.
Orang Melayu memiliki ungkapan khas untuk menggambarkan betapa tak mudah mengubur sebuah kenangan yang indah. Kata ungkapan itu: sedang tempat jatuh lagi dikenang, apatah lagi tempat bermain.
Setiap orang punya hak untuk memagar dan melindungi serpihan-serpihan kenangan sepanjang hidupnya. Tentu saja, secara semiotika, setiap wujud benda, pepohonan dan daun, matahari atau rembulan, waktu atau momentum dan tentu saja seruas jalan dan apa pun itu akan terpatri kuat dalam sanubari.
Tak selamanya sebuah ruas jalan akan menjadi jalan kenangan bertabur keindahan. Masih ada wujud jalan lain yang keberadaannya bertolak-belakang. Itulah yang dinamakan ”jalan genangan”.
Bahkan lebih buruk lagi bisa berubah jadi ”jalan kubangan”. Inilah ruas jalan yang dipenuhi genangan pada musim hujan. Hampir di semua kota, ruas jalan genangan ini memang tak bisa dihindari.
Persoalannya, bagaimana mungkin bermunculan jalan genangan setelah guyuran hujan deras.
Tata kota atau planologi dan sistem drainase jalan merupakan titik pangkal munculnya kasus jalan genangan atau jalan kubangan ini.
Para perencana, kontraktor dan konsultan yang ahli konstruksi jalan sudah paham betul bagaimana persyaratan normatif yang harus dipenuhi.
Kemampuan para ahli itu membuat prediksi kemungkinan posisi jalan secara topografis dengan curah hujan tak perlu diragukan lagi.
Begitu pula lebar dan dalam drainase di kiri-kanan jalan sudah harus diperhitungkan sesuai dengan daya tampung (kapasitas) air saat hujan deras.
Realitas yang terdedah di depan mata, kenapa banyak sekali ruas-ruas jalan baik di tengah kota apalagi di pedesaan dan perkampungan, benar-benar jadi genangan berjam-jam bahkan berhari-hari.
Tentu saja ruas-ruas jalan ini dalam jangka panjang akan mengalami dekonstruksi (penghancuran). Sebab, tak ada aspal jalan yang tak hancur bila terendam air terus-menerus.
Lihatlah ruas-ruas jalan yang biasanya jadi ‘jalan genangan’ itu di hampir semua kota dan desa, tak beranjak dari titik yang sama. Anehnya, bertahun-tahun, pihak pemerintah yang mengurus otorita jalan tersebut bagaikan tak peduli.
Setali tiga uang, kepala daerah dan kepala pemerintahan yang bertanggung jawab penuh atas wilayah yang dipimpinnya juga tak memberikan teguran atau instruksi pada dinas atau institusi yang mestinya bertanggung jawab.
Semua orang boleh curiga di negeri, jangan-jangan selain dikampanyekan selama ini motto ‘pembangunan terencana’ juga diam-diam berlangsung pula ‘penghancuran terencana’.
Sebab, dana pembangunan yang bersumber dari uang rakyat yang dikelola oleh negara dan pemerintah begitu mudah mengalir.
Secara manusiawi, siapa pun yang menjadi penguasa akan tergiur untuk menggunakan uang rakyat tersebut suka-sukanya.
Selain tindakan itu secara tak langsung bisa mendongkrak popularitas dan elektabilitas di mata rakyat juga tak tertutup kemungkinan dapat pula untuk menambah ‘proyek’ yang menguntungkan pribadi atau kelompok. Soal ini sudah jadi rahasia umum di negeri ini.
Di masa lalu, pada zaman Orde Baru, pernah dicanangkan apa yang dinamakan ‘Waskat’ alias pengawasan melekat. Pola ini sebenarnya cukup bagus untuk saling melakukan pengawasan secara struktural di jajaran pemerintah. Meskipun kebocoran dana pembangunan terus saja terjadi di luar kendali.
Pada masa itu, Prof Sumitro Djojohadikusumo yang menjabat salah satu menteri yang mengurus bidang perekonomian sudah memprediksi kebocoran dana proyek mencapai 30 persen.
Hal inilah yang menjadi salah satu biangkeladi buruknya kualitas bangunan proyek yang dikerjakan. Banyak pihak ikut ‘bermain’ dalam manajemen proyek semacam itu.
Ternyata pada masa pemerintahan reformasi, perilaku permainan dalam urusan proyek ini bukannya berkurang. Semakin banyak modus yang muncul.
Apalagi pola persetujuan proyek atau rencana pembangunan tak hanya berada di tangan pihak biorokrat melainkan juga harus atas persetujuan lembaga legislatif.
Fakta menunjukkan, dari waktu ke waktu semakin banyak para pejabat publik baik dari eksekutif maupun legislatif bahkan yudikatif yang tersandung kasus-kasus korupsi.
Tragedi rubuhnya bangunan-bangunan vital atau infrastruktur berupa bangunan gedung, jalan, jembatan atau obyek fasilitas publik lainnya semakin jadi berita biasa.
Masih ingat ketika salah satu jembatan terpanjang di Indonesia yakni Jembatan Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) tiba-tiba ambruk padahal jembatan tersebut baru berusia beberapa tahun.
Begitu pula, Jembatan Siak III di Pekanbaru yang dalam usia dini sudah melengkung yang sangat membahayakan pengguna.
Saatnya para pejabat publik mulai dari jajaran tertinggi hingga terendah lebih-lebih lagi dinas yang mengurus konstruksi jalan itu lebih membuka mata lebar-lebar.
Meningkatkan sensitivitas saat hujan deras baik siang atau malam untuk melakukan blusukan (on the spot) di lapangan untuk menyaksikan langsung bagaimana drama ‘jalan genangan’ bahkan ‘jalan kubangan’ itu dipentaskan di tengah-tengah rakyat.
Kadangkala, buruknya situasi ruas jalan itu pada musim hujan tersebut dapat diatasi dengan cukup membuat parit kecil yang mengalirkan genangan air di jalan ke parit besar (drainase) di kiri-kanan jalan.
Bila kapasitas atau daya tampung parit drainase itu tak mencukupi, bukankah saatnya untuk melakukan perbaikan atau perluasan parit drainase agar kasus ‘jalan genangan’ tidak jadi nyanyian rutin sepanjang tahun.
Jangan-jangan ada di antara oknum pejabat publik itu ingin membenarkan apa yang ditulis dalam puisi berjudul ‘Banjir’ karya penyair Ediruslan Pe Amanriza: “...di Riau, banjir jadi pantun sepanjang tahun...”.
Atau bila hendak berburuk sangka, jangan-jangan ada oknum pejabat publik yang terobsesi dengan ‘Kota Air’ Venice (Venisia) di Itali yang ruas-ruas jalan memang dihubungkan oleh bentangan air sepanjang waktu. Namun, kota itu hingga kini benar-benar jadi tujuan wisata dunia yang unik dan mendatangkan banyak devisa.***(ak27/rp)
Fakhrunnas MA Jabbar
Pensyarah Universitas Islam Riau
















0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.