Oleh : Yusuf Rahman
[ArtikelKeren] OPINI - Judul tulisan ini kontradiktif. Soalnya, sudah enam kali Kota Bertuah Pekanbaru ini meraih Piala WTN termasuk tahun ini, namun pelanggaran lalu lintas justru meningkat.
Seperti dimaklumi WTN adalah singkatan dari Wahana Tata Nugraha yang artinya anugerah sopan-santun berkendaraan.
Seharusnya warga semakin sopan (baca: patuh) menaati peraturan lalu lintas. Kenyataannya, pelanggaran malah meningkat.
Guna melihat kontradiksi itu penulis ingin mengungkapkan terlebih dahulu apa yang diutarakan Kasat Lantas Polresta Penbaru Kompol M Mustofa SIK MSi.
Dikatakannya, dibanding tahun 2012, tahun ini jumlah pelanggaran lalu lintas mengalami peningkatan yang drastis. Peningkatannya melebih seratus persen.
Tahun lalu jumlah tindak pelanggaran 1.200 kasus dan tahun ini sebanyak 2.478 kasus. Meski begitu ada juga yang turun yaitu korban yang meninggal dari 4 tinggal 3 orang, korban luka berat dari 4 tinggal 1 orang, luka ringan dari 7 tinggal 5 orang. Sedangkan kerugian materi turun dari Rp21 juta menjadi Rp5 juta, Riau Pos (14/11).
Sayang tidak dirinci apakah tindak pelanggaran itu berupa ketidaklengkapan surat-surat kendaraan, peralatan kendaraan, atau pelanggaran rambu-rambu lalu lintas termasuk salah parkir.
Juga tidak dijelaskan apakah pelanggaran itu dilakukan kendaraan roda dua, empat atau sepuluh.
Apa yang nyata tampak adalah pengendara sepeda motor yang bergerak melawan arus guna memperpendek jarak tempuh (seorang tamu dari Malaysia terheran-heran dan mengatakan di negerinya pelanggaran serupa ini tidak terjadi).
Penulis pikir pelanggaran ini akan terus terjadi bila tidak dilakukan penindakan (tilang) atau ketika semua orang, entah kapan, sudah mampu membeli kendaraan roda empat .
Adapun pejalan kaki kebanyakannya menyeberangi jalan seenaknya. Ada sedikit zebra cross tetapi tidak pula dimanfaatkan.
Ada pula jembatan penyeberangan orang (JPO) akan tetapi jarang tampak orang menyeberang lewat JPO itu, pada hal biaya membangun sebuah JPO konon mencapai Rp1,2 miliar.
Mengenai kemubaziran ini penulis teringat pernyataan Mantan Menteri Perhubungan Prof Emil Salim.
Ditegaskan beliau, pimpinan proyek harus bertanggung jawab atas dua hal yaitu tanggung jawab finansial dan tanggung jawab fungsional.
Tanggung jawab finansial pembangunan JPO itu mungkin sudah sesuai ketentuan, tetapi tanggung jawab fungsional bagaimana.
Ataukah ketentuan itu tidak perlu lagi dan biarkan saja kemubaziran jalan terus. Boleh jadi pembangunan JPO itu dulunya tidak dilakukan melalui feasibility study.
Kenyamanan Berlalu Lintas
Dilihat dari aspek transportasi sebuah kota nyaman dihuni bila jalan raya juga nyaman dilalui, tidak macet. Sebuah kota digolongkan tidak macet, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bila kendaraan bisa melaju di atas 25 kilometer per jam. Bila di bawah itu, kota disebut macet.
Berdasarkan standar PBB itu pada jam-jam tertentu dan pada titik-titik tertentu Kota Pekanbaru sudah dapat disebut macet.
Penulis pernah tinggal di kota yang tidak macet sama sekali yaitu di London pada 1975 dan Sydney Australia pada 1995.
Tidak terjadinya kemacetan di kedua kota itu bukan oleh karena jalan rayanya lebar-lebar (boulevard) atau karena banyak terdapat jembatan layang (fly over).
Jembatan itu hanya terdapat di luar kota guna melancarkan kendaraan besar yang mengangkut komoditas yang akan diekspor.
Kelancaran lalu lintas di dalam kota lebih disebabkan oleh disiplin pengguna jalan baik supir kendaraan atau pejalan kaki. Mereka sangat patuh mematuhi rambu-rambu lalu lintas.
Ketika traffic light menyala dan di sisi lain tidak ada kenderaan yang lewat, mereka tidak akan menerobos tetapi menunggu lampu hijau sebagaimana lazimnya.
Begitu pula dengan pejalan kaki. Mereka hanya menyeberangi jalan pada rambu-rambu zebra cross ( hanya kami mahasiswa dari Asia Afrika yang sering menyeberang tidak pada tampatnya).
Perlu diketahui ketika supir kendaraan, pribadi atau bus, melihat pejalan kaki menyeberang, mereka menghentikan kendaraan (pada tempat tertentu penyeberang harus menekan sebuah tombol dan lampu merah muncul bagi si sopir).
Namun kelancaran lalu lintas di London didukung pula oleh adanya kereta api yang dibangun di bawah tanah yang disebut tube.
Waktu itu ada 96 stasiun. Hal yang mendukung pula adalah tidak semula pemilik mobil menggunakan kendaraannya. Bila kantor atau tempat ia bekerja tidak jauh dari stasiun mereka lebih memilih menggunakan tube atau bus kota. Kedua jenis kendaraan itu nyaman dinaiki.
Di Sydney keberangkatan dan kedatangan bus malah dapat diketahui melalui papan pengumuman yang terdapat di setiap halte (bus stop).
Kita tidak akan menunggu lama di halte bila jadwal kedatangan bus sudah pernah kita ketahui.
Berbeda dengan London di Sydney kereta apinya memang dibangun di atas tanah tetapi terdapat lagi kendaraan umum berupa monorail yang dibangun sekitar sepuluh meter tingginya dan bejalan meliuk-liuk di sela-sela gedung jangkung
Pekanbaru ke Depan
Setiap warga kota sudah tentu mendambakan lalu lintas yang tertib dan lancar. Sebagai seorang awam dalam ilmu menejemen lalu lintas penulis ingin menyumbangkan sedikit pemikiran tentang beberapa hal.
Pertama, Trans Metro Pekanbaru (TMP) yang bakal menjadi primadona angkutan publik masa depan hendaknya secara bertahap terus ditingkatkan jumlah dan koridornya sehingga mencakup lebih banyak titik di dalam kota.
Agar diminati penumpang TMP harus dibuat nyaman dengan cara mengurangi jumlah penumpang yang berdiri serta memakai alat pendingin (AC).
Kedua, rambu-rambu berupa zebra cross perlu dibangun terutama pada jalan-jalan yang pejalan kaki banyak menyeberang. Ketiga, jembatan layang perlu dibangun lagi terutama pada titik-titik yang sering macet seperti persimpangan Jalan Soekarno-Hatta, Adisucipto dan Subrantas serta persimpangan lainnya.
Keempat, agar dibangun tempat parkir permanen yang kalau perlu dibangun bertingkat bila luas lahan tidak memadai. Kelima, hendaknya dibangun trotoar di setiap jalan agar pejalan kaki merasa aman serta warga terdorong melakukan olahraga lari-lari kecil.
Keenam, perlu dibangun terminal kargo di luar kota sehingga truk dan trailer yang mengangkut logistik keperluan warga tidak lagi lalu-lalang di dalam kota.
Ketujuh, perlu terus-menerus disosialisasikan kepada seluruh pengguna jalan agar mereka mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Mereka yang masih melanggar agar ditindak.
Membangun kepatuhan itu memang tidak mudah karena ini menyangkut sikap mental manusia.
Perlu dilibatkan rumah tangga, sekolah dan lembaga-lembaga keagamaan. Tema khutbah dan ceramah agama hendaknya mencakup pula mengenai ketertiban berlalu lintas.
Akhirnya penulis menyarankan agar pejabat eksekutif/ legislatif melakukan studi banding ke kota-kota yang disebut “pelanggan” piala WTN seperti Bogor dan Surakarta (ingat Jokowi). Kalau hasilnya positif kenapa tidak?***(ak27/rp)
Yusuf Rahman
Mantan Rektor IAIN Suska Riau (kini UIN Suska Riau)
[ArtikelKeren] OPINI - Judul tulisan ini kontradiktif. Soalnya, sudah enam kali Kota Bertuah Pekanbaru ini meraih Piala WTN termasuk tahun ini, namun pelanggaran lalu lintas justru meningkat.
Seperti dimaklumi WTN adalah singkatan dari Wahana Tata Nugraha yang artinya anugerah sopan-santun berkendaraan.
Seharusnya warga semakin sopan (baca: patuh) menaati peraturan lalu lintas. Kenyataannya, pelanggaran malah meningkat.
Guna melihat kontradiksi itu penulis ingin mengungkapkan terlebih dahulu apa yang diutarakan Kasat Lantas Polresta Penbaru Kompol M Mustofa SIK MSi.
Dikatakannya, dibanding tahun 2012, tahun ini jumlah pelanggaran lalu lintas mengalami peningkatan yang drastis. Peningkatannya melebih seratus persen.
Tahun lalu jumlah tindak pelanggaran 1.200 kasus dan tahun ini sebanyak 2.478 kasus. Meski begitu ada juga yang turun yaitu korban yang meninggal dari 4 tinggal 3 orang, korban luka berat dari 4 tinggal 1 orang, luka ringan dari 7 tinggal 5 orang. Sedangkan kerugian materi turun dari Rp21 juta menjadi Rp5 juta, Riau Pos (14/11).
Sayang tidak dirinci apakah tindak pelanggaran itu berupa ketidaklengkapan surat-surat kendaraan, peralatan kendaraan, atau pelanggaran rambu-rambu lalu lintas termasuk salah parkir.
Juga tidak dijelaskan apakah pelanggaran itu dilakukan kendaraan roda dua, empat atau sepuluh.
Apa yang nyata tampak adalah pengendara sepeda motor yang bergerak melawan arus guna memperpendek jarak tempuh (seorang tamu dari Malaysia terheran-heran dan mengatakan di negerinya pelanggaran serupa ini tidak terjadi).
Penulis pikir pelanggaran ini akan terus terjadi bila tidak dilakukan penindakan (tilang) atau ketika semua orang, entah kapan, sudah mampu membeli kendaraan roda empat .
Adapun pejalan kaki kebanyakannya menyeberangi jalan seenaknya. Ada sedikit zebra cross tetapi tidak pula dimanfaatkan.
Ada pula jembatan penyeberangan orang (JPO) akan tetapi jarang tampak orang menyeberang lewat JPO itu, pada hal biaya membangun sebuah JPO konon mencapai Rp1,2 miliar.
Mengenai kemubaziran ini penulis teringat pernyataan Mantan Menteri Perhubungan Prof Emil Salim.
Ditegaskan beliau, pimpinan proyek harus bertanggung jawab atas dua hal yaitu tanggung jawab finansial dan tanggung jawab fungsional.
Tanggung jawab finansial pembangunan JPO itu mungkin sudah sesuai ketentuan, tetapi tanggung jawab fungsional bagaimana.
Ataukah ketentuan itu tidak perlu lagi dan biarkan saja kemubaziran jalan terus. Boleh jadi pembangunan JPO itu dulunya tidak dilakukan melalui feasibility study.
Kenyamanan Berlalu Lintas
Dilihat dari aspek transportasi sebuah kota nyaman dihuni bila jalan raya juga nyaman dilalui, tidak macet. Sebuah kota digolongkan tidak macet, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bila kendaraan bisa melaju di atas 25 kilometer per jam. Bila di bawah itu, kota disebut macet.
Berdasarkan standar PBB itu pada jam-jam tertentu dan pada titik-titik tertentu Kota Pekanbaru sudah dapat disebut macet.
Penulis pernah tinggal di kota yang tidak macet sama sekali yaitu di London pada 1975 dan Sydney Australia pada 1995.
Tidak terjadinya kemacetan di kedua kota itu bukan oleh karena jalan rayanya lebar-lebar (boulevard) atau karena banyak terdapat jembatan layang (fly over).
Jembatan itu hanya terdapat di luar kota guna melancarkan kendaraan besar yang mengangkut komoditas yang akan diekspor.
Kelancaran lalu lintas di dalam kota lebih disebabkan oleh disiplin pengguna jalan baik supir kendaraan atau pejalan kaki. Mereka sangat patuh mematuhi rambu-rambu lalu lintas.
Ketika traffic light menyala dan di sisi lain tidak ada kenderaan yang lewat, mereka tidak akan menerobos tetapi menunggu lampu hijau sebagaimana lazimnya.
Begitu pula dengan pejalan kaki. Mereka hanya menyeberangi jalan pada rambu-rambu zebra cross ( hanya kami mahasiswa dari Asia Afrika yang sering menyeberang tidak pada tampatnya).
Perlu diketahui ketika supir kendaraan, pribadi atau bus, melihat pejalan kaki menyeberang, mereka menghentikan kendaraan (pada tempat tertentu penyeberang harus menekan sebuah tombol dan lampu merah muncul bagi si sopir).
Namun kelancaran lalu lintas di London didukung pula oleh adanya kereta api yang dibangun di bawah tanah yang disebut tube.
Waktu itu ada 96 stasiun. Hal yang mendukung pula adalah tidak semula pemilik mobil menggunakan kendaraannya. Bila kantor atau tempat ia bekerja tidak jauh dari stasiun mereka lebih memilih menggunakan tube atau bus kota. Kedua jenis kendaraan itu nyaman dinaiki.
Di Sydney keberangkatan dan kedatangan bus malah dapat diketahui melalui papan pengumuman yang terdapat di setiap halte (bus stop).
Kita tidak akan menunggu lama di halte bila jadwal kedatangan bus sudah pernah kita ketahui.
Berbeda dengan London di Sydney kereta apinya memang dibangun di atas tanah tetapi terdapat lagi kendaraan umum berupa monorail yang dibangun sekitar sepuluh meter tingginya dan bejalan meliuk-liuk di sela-sela gedung jangkung
Pekanbaru ke Depan
Setiap warga kota sudah tentu mendambakan lalu lintas yang tertib dan lancar. Sebagai seorang awam dalam ilmu menejemen lalu lintas penulis ingin menyumbangkan sedikit pemikiran tentang beberapa hal.
Pertama, Trans Metro Pekanbaru (TMP) yang bakal menjadi primadona angkutan publik masa depan hendaknya secara bertahap terus ditingkatkan jumlah dan koridornya sehingga mencakup lebih banyak titik di dalam kota.
Agar diminati penumpang TMP harus dibuat nyaman dengan cara mengurangi jumlah penumpang yang berdiri serta memakai alat pendingin (AC).
Kedua, rambu-rambu berupa zebra cross perlu dibangun terutama pada jalan-jalan yang pejalan kaki banyak menyeberang. Ketiga, jembatan layang perlu dibangun lagi terutama pada titik-titik yang sering macet seperti persimpangan Jalan Soekarno-Hatta, Adisucipto dan Subrantas serta persimpangan lainnya.
Keempat, agar dibangun tempat parkir permanen yang kalau perlu dibangun bertingkat bila luas lahan tidak memadai. Kelima, hendaknya dibangun trotoar di setiap jalan agar pejalan kaki merasa aman serta warga terdorong melakukan olahraga lari-lari kecil.
Keenam, perlu dibangun terminal kargo di luar kota sehingga truk dan trailer yang mengangkut logistik keperluan warga tidak lagi lalu-lalang di dalam kota.
Ketujuh, perlu terus-menerus disosialisasikan kepada seluruh pengguna jalan agar mereka mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Mereka yang masih melanggar agar ditindak.
Membangun kepatuhan itu memang tidak mudah karena ini menyangkut sikap mental manusia.
Perlu dilibatkan rumah tangga, sekolah dan lembaga-lembaga keagamaan. Tema khutbah dan ceramah agama hendaknya mencakup pula mengenai ketertiban berlalu lintas.
Akhirnya penulis menyarankan agar pejabat eksekutif/ legislatif melakukan studi banding ke kota-kota yang disebut “pelanggan” piala WTN seperti Bogor dan Surakarta (ingat Jokowi). Kalau hasilnya positif kenapa tidak?***(ak27/rp)
Yusuf Rahman
Mantan Rektor IAIN Suska Riau (kini UIN Suska Riau)
















0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.