Oleh : Apriyan D Rakhmat
[ArtikelKeren] OPINI - Musim hujan telah berlangsung dan diprakirakan akan berlanjut sampai awal tahun 2014. Hujan lebat yang mengguyur bumi nusantara beberapa minggu terakhir, termasuk di Riau telah menyebabkan banjir di beberapa daerah dan kota.
Permasalahan klasik yang telah berulangkali terjadi setiap tahun.
Tulisan ini akan fokus membahas fenomena banjir kota, yang berbeda dengan banjir musiman yang jamak terjadi di luar kota yang berada di daerah dataran rendah dan terdapat aliran sungai, khususnya ketika musim hujan.
Berbagai usaha yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemko) Kota Pekanbaru untuk mengatasi banjir kota, namum tampak kurang berhasil.
Kebanyakan usaha yang dilakukan lebih bersifat mengatasi keadaan darurat dan tambal sulam, hanya sekadar untuk menunda terjadinya banjir, bukan mengatasi akar persoalan sumber penyebab utamanya.
Ibarat sakit kepala kronis, hanya sekadar minum obat untuk menenangkan penyakit seketika, yang kemudian sakit kepala kambuh lagi, mungkin dengan kadar yang lebih tinggi.
Sebagai contoh perbaikan drainase dan saluran air yang ala kadarnya, tanpa memperhitungkan debit air dan curah hujan serta kepadatan kota.
Hal ini tampak dalam pengerjaan drainase di Jalan Kaharuddin Nasution, tepatnya di sekitar persimpangan dengan Jalan Pasir Putih (arah ke Pandau), di mana kedalaman drainasenya tidak lebih dari setengah meter.
Apakah ukuran sedemikian akan mampu untuk menampung dan mengalirkan air hujan lebat yang kini semakin ekstrim?
Tidak dapat tidak, banjir di Kota Pekanbaru sudah masuk kategori stadium II, dan sudah bersifat kronis, yang harus ditangani dan diobati secara serius dan intensif.
Oleh karena itu, usaha untuk mengatasinya juga harus komprehensif dan mencari tahu penyebab utamanya sehingga dapat diberikan resep yang tepat.
Jika ini dibiarkan terus, persoalan lingkungan akan semakin menumpuk dan kompleks di masa depan. Hal ini akan memberikan hadiah yang tidak menyenangkan bagi pemimpin berikutnya, serta semakin menyengsarakan masyarakat.
Bebas Banjir Kota
Solusi yang diterapkan juga harus terukur dengan skala prioritas dan langkah-langkah srategis yang jelas dan dipantau serta dievaluasi kinerjanya.
Misalnya, untuk Kota Pekanbaru harus didata terlebih dahulu berapa banyak titik rawan banjir, seperti di kawasan permukiman, komersial, dan tempat-tempat umum lainnya.
Setelah teridentifikasi, lalu dibuat skala prioritas dengan langkah-langkah srategis yang dirumuskan. Diakui, penanganannya tidak akan langsung berubah dalam sekejap, perlu proses waktu.
Sebagai gambaran, tahun pertama dapat diatasi 20 persen, tahun kedua 40 persen, demikian seterusnya sehingga akhirnya secara berangsur dan pasti dapat tercapai 100 persen.
Dengan kata lain, Kota Pekanbaru dapat terbebas dari kejadian banjir kota akibat guyuran hujan lebat, baik pada musim hujan ataupun pada musim kemarau dengan adanya anomali iklim yang semakin tidak menentu.
Untuk dapat mencapai prediket kota “bebas banjir”, tidak dapat tidak, persoalan banjir harus masuk terlebih dahulu dalam daftar kebijakan prioritas penanganan lingkungan dalam konteks pembangunan kota.
Seperti halnya penanganan masalah kebersihan kota yang masuk dalam dafar prioritas lingkungan Pemko Pekanbaru, yang diantara tujuan utamanya adalah mendapatkan trofi Adipura.
Setelah itu, baru dapat disusun stretegi dan program pengentasan banjir kota, beserta dengan anggaran dana dan jangka waktu. Sebagai pedoman umum, penanganan masalah lingkungan seperti banjir kota harus dilakukan secara komprehensif, meliputi pendekatan teknis dan non teknis.
Pendekatan teknis bermaksud mencari akar permasalahan banjir dan mencari solusinya berdasarkan perhitungan yang terukur secara matematis, dengan melibatkan para pakar (scientists) terkait dengan pembangunan kota dan khususnya dalam penanganan banjir seperti di bidang civil engineering, hidrologi, geologi, town planner, environmental engineering, arsitektur dan yang semisalnya.
Jika diperlukan, bisa dilibatkan pakar berpengalaman dari luar negeri. Sehingga dengan demikian, dapat dipetakan secara matang persoalan banjir kota secara technical dan matematis.
Setelah itu, dapat dicarikan teknologi tepat guna serta desain infrastruktur berbasis lokal untuk mengatasinya secara teknis.
Singapura, termasuk contoh negara-kota yang berhasil di dalam mengatasi banjir kota. Negara kecil, yang diapit Malaysia dan Indonesia, berpenduduk sekitar 6 juta jiwa dengan pembangunan kota yang sangat masif secara horizontal dan vertikal karena keterbatasan keluasan wilayah, dapat mewujudkan negara-kota bebas banjir.
Melalui perencanaan kota modern, mengintegrasikan antara sistem transportasi dan tata guna lahan, yang didukung keseriusan pemerintah, Singapura dapat mewujudkannya.
Cerdiknya lagi, Singapura justru berupaya untuk menangkap air hujan dan air limpasan. Jadi tidak dibuang percuma ke laut, karena negara ini tidak memiliki sumber air tanah memadai untuk keperluan negaranya.
Di beberapa kota di Belanda, seperti Rotterdam yang berada di bawah permukaan laut, justru menyikapi banjir kota dengan lebih canggih lagi.
Air hujan justru mereka tampung pada ruang terbuka publik yang telah dirancang sedemikian rupa sebagai taman terapung (watersquare) menarik ketika musim hujan, sehingga air hujan dan limpasan air tidak menggenang di kawasan permukiman, jalan dan tempat-tempat umum.
Ketika musim hujan berlalu, kembali berfungsi sebagai taman terbuka hijau atau plaza. Tentu ini teknologinya lebih hebat lagi. Dapat dikatakan bahwa usaha yang dilakukan Singapura dan Rotterdam di dalam tata kelola air sudah menuju penerapan konsep tata kelola air berkelanjutan.
Selain itu, pendekatan non-teknis berupa partisispasi dan dukungan aktif dari masyarakat adalah sangat diperlukan untuk keberhasilan penangannana masalah banjir kota.
Keputusan secara teknik dan penerapan teknologi tepat guna untuk mengatasi banjir juga dirasa kurang efektif jika tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Partisipasi masyarakat di dalam budaya kita sebenarnya sudah tertanam melalui kegiatan gotong-royang yang sudah dikenal sejak berzaman.
Tinggal kini bagaimana untuk memberdayakan dan mengelola kembali budaya luhur tersebut dalam situasi perubahan zaman dan arus materialisme serta gaya hidup kota yang sudah mulai mencampakkan budaya tersebut dalam kehiduapn keseharian.
Selain itu, juga perlu dukungan peraturan dan undang-undang serta penegakan sanksi bagi yang melanggarnya. Termasuk di sini peraturan zonasi ruang, seperti penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Sebagai contoh, kawasan yang berfungsi sebagai tadahan air tidak dibenarkan dilakukan pembangunan. Jadi, persoalan banjir kota merupakan perosalan multidimensi dan kompleks.
Di sinilah perlu kejelian dan kesungguhan manejer kota (wali kota) untuk menghadapinya. Banjir kota tidak hanya sekadar penanganan masalah drainase, normalisasi sungai, dan saluran air. Dirasa perlu paradigma baru di dalam menghadapinya.
Setiap kota memiliki karakteristik tersendiri, yang juga perlu cara tertentu untuk mengatasinya. Tidak bisa sekadar copy paste cara, metodelogi dan pendekatan yang dilakukan di kota lain.
Benar apa yang dikatakan oleh para ahli lingkungan seperti Hardoy et al (1992) bahwa persoalan lingkungan harus disikapi dan dicari solusinya di tingkat lokal.
Dana bisa dipinjam dari luar, termasuk kepakaran dan teknologi juga dapat diimpor dari luar, namun itu semua pada hakikatnya tidak bisa memecahkan akar permasalahan lingkungan di tingkat lokal.
Perlu kepakaran lokal, institusi lokal dan komitmen lokal untuk mengatasinya. Ini mungkin yang dikatakan kearifan lokal (local wisdom) di dalam mengatasi permasalahan lingkungan.
Teknologi, pendekatan dan manajemen modern yang masih berpijak kepada nilai-nilai, budaya dan identitas lokal. Mampukah ini diwujudkan di kota-kota yang ada di Bumi Lancang Kuning? Jika jawabannya iya, kapan dapat diwujudkan? ***(ak27)
Apriyan D Rakhmat
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik UIR
[ArtikelKeren] OPINI - Musim hujan telah berlangsung dan diprakirakan akan berlanjut sampai awal tahun 2014. Hujan lebat yang mengguyur bumi nusantara beberapa minggu terakhir, termasuk di Riau telah menyebabkan banjir di beberapa daerah dan kota.
Permasalahan klasik yang telah berulangkali terjadi setiap tahun.
Tulisan ini akan fokus membahas fenomena banjir kota, yang berbeda dengan banjir musiman yang jamak terjadi di luar kota yang berada di daerah dataran rendah dan terdapat aliran sungai, khususnya ketika musim hujan.
Berbagai usaha yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemko) Kota Pekanbaru untuk mengatasi banjir kota, namum tampak kurang berhasil.
Kebanyakan usaha yang dilakukan lebih bersifat mengatasi keadaan darurat dan tambal sulam, hanya sekadar untuk menunda terjadinya banjir, bukan mengatasi akar persoalan sumber penyebab utamanya.
Ibarat sakit kepala kronis, hanya sekadar minum obat untuk menenangkan penyakit seketika, yang kemudian sakit kepala kambuh lagi, mungkin dengan kadar yang lebih tinggi.
Sebagai contoh perbaikan drainase dan saluran air yang ala kadarnya, tanpa memperhitungkan debit air dan curah hujan serta kepadatan kota.
Hal ini tampak dalam pengerjaan drainase di Jalan Kaharuddin Nasution, tepatnya di sekitar persimpangan dengan Jalan Pasir Putih (arah ke Pandau), di mana kedalaman drainasenya tidak lebih dari setengah meter.
Apakah ukuran sedemikian akan mampu untuk menampung dan mengalirkan air hujan lebat yang kini semakin ekstrim?
Tidak dapat tidak, banjir di Kota Pekanbaru sudah masuk kategori stadium II, dan sudah bersifat kronis, yang harus ditangani dan diobati secara serius dan intensif.
Oleh karena itu, usaha untuk mengatasinya juga harus komprehensif dan mencari tahu penyebab utamanya sehingga dapat diberikan resep yang tepat.
Jika ini dibiarkan terus, persoalan lingkungan akan semakin menumpuk dan kompleks di masa depan. Hal ini akan memberikan hadiah yang tidak menyenangkan bagi pemimpin berikutnya, serta semakin menyengsarakan masyarakat.
Bebas Banjir Kota
Solusi yang diterapkan juga harus terukur dengan skala prioritas dan langkah-langkah srategis yang jelas dan dipantau serta dievaluasi kinerjanya.
Misalnya, untuk Kota Pekanbaru harus didata terlebih dahulu berapa banyak titik rawan banjir, seperti di kawasan permukiman, komersial, dan tempat-tempat umum lainnya.
Setelah teridentifikasi, lalu dibuat skala prioritas dengan langkah-langkah srategis yang dirumuskan. Diakui, penanganannya tidak akan langsung berubah dalam sekejap, perlu proses waktu.
Sebagai gambaran, tahun pertama dapat diatasi 20 persen, tahun kedua 40 persen, demikian seterusnya sehingga akhirnya secara berangsur dan pasti dapat tercapai 100 persen.
Dengan kata lain, Kota Pekanbaru dapat terbebas dari kejadian banjir kota akibat guyuran hujan lebat, baik pada musim hujan ataupun pada musim kemarau dengan adanya anomali iklim yang semakin tidak menentu.
Untuk dapat mencapai prediket kota “bebas banjir”, tidak dapat tidak, persoalan banjir harus masuk terlebih dahulu dalam daftar kebijakan prioritas penanganan lingkungan dalam konteks pembangunan kota.
Seperti halnya penanganan masalah kebersihan kota yang masuk dalam dafar prioritas lingkungan Pemko Pekanbaru, yang diantara tujuan utamanya adalah mendapatkan trofi Adipura.
Setelah itu, baru dapat disusun stretegi dan program pengentasan banjir kota, beserta dengan anggaran dana dan jangka waktu. Sebagai pedoman umum, penanganan masalah lingkungan seperti banjir kota harus dilakukan secara komprehensif, meliputi pendekatan teknis dan non teknis.
Pendekatan teknis bermaksud mencari akar permasalahan banjir dan mencari solusinya berdasarkan perhitungan yang terukur secara matematis, dengan melibatkan para pakar (scientists) terkait dengan pembangunan kota dan khususnya dalam penanganan banjir seperti di bidang civil engineering, hidrologi, geologi, town planner, environmental engineering, arsitektur dan yang semisalnya.
Jika diperlukan, bisa dilibatkan pakar berpengalaman dari luar negeri. Sehingga dengan demikian, dapat dipetakan secara matang persoalan banjir kota secara technical dan matematis.
Setelah itu, dapat dicarikan teknologi tepat guna serta desain infrastruktur berbasis lokal untuk mengatasinya secara teknis.
Singapura, termasuk contoh negara-kota yang berhasil di dalam mengatasi banjir kota. Negara kecil, yang diapit Malaysia dan Indonesia, berpenduduk sekitar 6 juta jiwa dengan pembangunan kota yang sangat masif secara horizontal dan vertikal karena keterbatasan keluasan wilayah, dapat mewujudkan negara-kota bebas banjir.
Melalui perencanaan kota modern, mengintegrasikan antara sistem transportasi dan tata guna lahan, yang didukung keseriusan pemerintah, Singapura dapat mewujudkannya.
Cerdiknya lagi, Singapura justru berupaya untuk menangkap air hujan dan air limpasan. Jadi tidak dibuang percuma ke laut, karena negara ini tidak memiliki sumber air tanah memadai untuk keperluan negaranya.
Di beberapa kota di Belanda, seperti Rotterdam yang berada di bawah permukaan laut, justru menyikapi banjir kota dengan lebih canggih lagi.
Air hujan justru mereka tampung pada ruang terbuka publik yang telah dirancang sedemikian rupa sebagai taman terapung (watersquare) menarik ketika musim hujan, sehingga air hujan dan limpasan air tidak menggenang di kawasan permukiman, jalan dan tempat-tempat umum.
Ketika musim hujan berlalu, kembali berfungsi sebagai taman terbuka hijau atau plaza. Tentu ini teknologinya lebih hebat lagi. Dapat dikatakan bahwa usaha yang dilakukan Singapura dan Rotterdam di dalam tata kelola air sudah menuju penerapan konsep tata kelola air berkelanjutan.
Selain itu, pendekatan non-teknis berupa partisispasi dan dukungan aktif dari masyarakat adalah sangat diperlukan untuk keberhasilan penangannana masalah banjir kota.
Keputusan secara teknik dan penerapan teknologi tepat guna untuk mengatasi banjir juga dirasa kurang efektif jika tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Partisipasi masyarakat di dalam budaya kita sebenarnya sudah tertanam melalui kegiatan gotong-royang yang sudah dikenal sejak berzaman.
Tinggal kini bagaimana untuk memberdayakan dan mengelola kembali budaya luhur tersebut dalam situasi perubahan zaman dan arus materialisme serta gaya hidup kota yang sudah mulai mencampakkan budaya tersebut dalam kehiduapn keseharian.
Selain itu, juga perlu dukungan peraturan dan undang-undang serta penegakan sanksi bagi yang melanggarnya. Termasuk di sini peraturan zonasi ruang, seperti penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Sebagai contoh, kawasan yang berfungsi sebagai tadahan air tidak dibenarkan dilakukan pembangunan. Jadi, persoalan banjir kota merupakan perosalan multidimensi dan kompleks.
Di sinilah perlu kejelian dan kesungguhan manejer kota (wali kota) untuk menghadapinya. Banjir kota tidak hanya sekadar penanganan masalah drainase, normalisasi sungai, dan saluran air. Dirasa perlu paradigma baru di dalam menghadapinya.
Setiap kota memiliki karakteristik tersendiri, yang juga perlu cara tertentu untuk mengatasinya. Tidak bisa sekadar copy paste cara, metodelogi dan pendekatan yang dilakukan di kota lain.
Benar apa yang dikatakan oleh para ahli lingkungan seperti Hardoy et al (1992) bahwa persoalan lingkungan harus disikapi dan dicari solusinya di tingkat lokal.
Dana bisa dipinjam dari luar, termasuk kepakaran dan teknologi juga dapat diimpor dari luar, namun itu semua pada hakikatnya tidak bisa memecahkan akar permasalahan lingkungan di tingkat lokal.
Perlu kepakaran lokal, institusi lokal dan komitmen lokal untuk mengatasinya. Ini mungkin yang dikatakan kearifan lokal (local wisdom) di dalam mengatasi permasalahan lingkungan.
Teknologi, pendekatan dan manajemen modern yang masih berpijak kepada nilai-nilai, budaya dan identitas lokal. Mampukah ini diwujudkan di kota-kota yang ada di Bumi Lancang Kuning? Jika jawabannya iya, kapan dapat diwujudkan? ***(ak27)
Apriyan D Rakhmat
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik UIR
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.