Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Minggu, 15 Desember 2013

Kompang Emak

Minggu, Desember 15, 2013 By Unknown No comments

[ArtikelKeren] CERPEN - "Apakah kau sudah memberitahu emakmu perihal keinginanku melamarmu, Hindun?" Taufik meraih jemari Hindun, lembut, lalu menggenggamnya erat.

“Belum, Bang,” sahut Hindun pelan, agak ragu, tetapi mengandung kecemasan.

“Kenapa?”

“Emak sedang berkabung.”

“Berkabung?”

“Kompang1 kesayangannya hilang. Sudah dua hari ini Emak tak mau makan karenanya.”

“Lalu kapan kau akan mengatakannya pada emakmu?”

“Jika kompang itu telah diketemukan, aku pasti akan memberitahu Emak segera.”
***

Mata Emak tampak mengerjap-ngerjap saat menemukan kompang itu. Wajahnya yang semula muram, kini tampak berbinar-binar. Senyum di bibirnya merekah kembali. Emak menyusut air mata yang menggenang di pipi. Diciumnya kompang itu berkali-kali, dengan penuh rasa cinta, lalu memeluknya erat.

Hindun tak habis mengerti. Kenapa Emak teramat mencintai kompang itu? Kemarin saja, saat kehilangan kompang itu, Emak menangis tersedu-sedu. Ah, tidak. Bukan hanya tersedu-sedu, Emak bahkan menangis sampai menjerit-jerit, seperti orang kerasukan bunian2. Suaranya sampai kering. Habis. Hindun sungguh ngeri, melihat Emak seperti telah kehilangan jiwanya.

Padahal kompang itu hanya kompang biasa. Sama saja seperti kompang-kompang kebanyakan, terbuat dari kayu mahoni dan kulit kambing yang telah dikeringkan. Diameternya sekitar 50 cm. Seluruh permukaannya berwarna cokelat muda, dengan sedikit ukiran berbentuk setengah lingkaran di bagian bawahnya. Hanya itu. Tak ada yang istimewa.

Hindun tahu, kompang itu adalah barang peninggalan Abah. Bukan satu-satunya. Karena masih banyak barang-barang unik yang memiliki nilai sejarah yang sempat Abah koleksi semasa hidupnya. Seperti tombak, keris, parang, tempat sirih, sumpit, panah, dan masih banyak lagi. Tetapi yang disukai Emak hanya kompang itu.

“Dulu, ketika kau masih balita, Emak sering sekali ditinggal Abah dalam waktu yang cukup lama. Terutama saat Abah harus berlayar ke seberang pulau untuk menjual dagangannya. Emak sungguh merasa sangat kesepian. Hanya kompang ini yang mampu mengusir rasa sunyi di hati Emak. Kau tahu? Bau kompang ini persis sekali dengan bau kulit abahmu! Dan bunyinya yang ketipung itu, persis sekali dengan suara serak abahmu!” Mata Emak tampak bersinar-sinar ketika mengutarakan hal itu.

“Benarkah?” tanya Hindun terkesima.

“Kau tak percaya? Coba kau baui sendiri.” Emak mendekatkan kompang itu ke hidung Hindun.

Hindun menarik napas dalam-dalam. Mencoba membaui aroma yang memancar dari kompang itu. Tetapi yang ia rasakan hanya bau kayu mahoni tua bercampur dengan aroma kulit kambing yang mengental di pangkal hidungnya. Apakah bau kulit Abah sama persis dengan bau kayu mahoni dan kulit kambing? Hindun menggumam dalam hati, tak percaya.

“Bagaimana? Kau bisa mencium bau Abah, bukan?” Mata Emak kian membulat. Emak lantas memukul kompang itu beberapa kali.

Pung… pung…! Bunyi kompang terdengar nyaring di gendang telinga Hindun. “Kau dengar bunyinya itu? Benar-benar mirip suara Abah, bukan?”

Sejenak Hindun terdiam. Memandang wajah Emak dengan sedih. Suara Abah, suara kompang. Ah, dari mana kemiripannya? Apakah pendengaran Emak memiliki daya sensitivitas yang berbeda dengan pendengaranku? Atau, jangan-jangan, pendengaranku yang mengalami masalah, sehingga tak mampu merasakan apa yang dirasakan Emak? Hindun menggumam lagi.

Tetapi, ketika Emak memukul kompang itu lagi, bunyi yang menyerusup di gendang telinga Hindun tetap sama. Hindun merundukkan wajah. Matanya kini memanas. Di rongga dadanya terasa seperti ditusuk-tusuk ribuan duri. Perih sekali. Hindun tak kuasa membendung air matanya untuk tidak jatuh.

“Kau menangis, Sayang?” Emak terbelalak. Hindun mulai sesengukkan.

“Aku… aku rindu Abah!” Hindun tergugu. Emak segera menghambur memeluknya. Mereka menangis dalam pelukan yang semakin basah. “Aku rindu melihat Abah memukul kompang lagi…”

Emak kian merapatkan pelukannya. Hindun semakin tergugu.

Semasa hidupnya, Abah memang mahir memainkan kompang. Dengan kedua telapak tangannya yang kokoh, Abah memukul kompang dengan gerakan yang sangat rapat. Hindun yang sering menyaksikan pertunjukan itu pada upacara pengobatan belian3 hanya bisa melempar decak kekaguman. Apalagi saat Abah mengiringinya dengan lantunan lagu tanjung katung dan serampang 12. Semua yang mendengar akan merasa seperti disihir. Seolah-olah ada kekuatan magis yang memancar dari alunan musik dan lagu-lagu yang didendangkan Abah.

“Mak, aku ingin bicara sesuatu…” Hindun berkata pelan, seraya melepaskan pelukan Emak.

“Ya, katakan saja.” Emak merapikan poni Hindun yang menutupi mata.

“Bulan depan, Taufik berniat ingin melamarku.”

Mata Emak membulat. “Benarkah?”

“Ya. Aku harap Emak mau merestui kami.”

“Duh, putriku, Sayang. Tentu saja Emak merestui kalian!” Mata Emak tampak berbinar-binar. “Siang dan malam Emak selalu berdoa supaya kalian berjodoh hingga sampai ke pelaminan. Dan semua itu kini benar-benar menjadi kenyataan!”
***

Senja telah mengelupas menjadi malam yang kian sempurna. Di luar, langit tampak cerah. Bintang-bintang bekerlipan ramai. Tetapi Hindun tak tertarik untuk mengayunkan langkahnya ke luar peraduan, sekadar menikmati angin malam. Matanya kini tertuju pada Emak yang tengah duduk bersimpuh di ruang tengah sambil memangku kompang kesayangannya. Angin berembus tipis dari jendela yang sengaja dibuka lebar. Lampu dian4 telah menyala di setiap sudut ruangan. Banyak benda-benda koleksi Ayah yang tergantung di dindingnya.

Malam ini malam jum’at. Hindun sudah paham, pada malam ini, Emak akan melakukan sebuah ritual magis untuk mendoakan almarhum Abah. Seperti biasa, Emak telah menyiapkan kuning telur ayam kampung, serta semangkuk air dengan irisan daun pandan, jeruk nipis dan bunga kenanga. Dengan penuh kehati-hatian, Emak mengolesi setiap permukaan kompang itu dengan kuning telur. Selanjutnya, ia membaca sejumlah doa dan mantera-mantera magis sambil memercikkan air pandan ke sekeliling ruangan.

Tiba-tiba terdengar suara mengguruh di luar rumah, disertai kilatan petir yang menyambar. Angin berembus kencang, memadamkan lampu dian seketika. Emak terperanjat. Matanya membelalak. Tak lama berselang, terdengar sayup-sayup bunyi kompang yang ditabuh ramai dari kejauhan.

“Ada yang terkena taluih5!” pekik Emak bergidik. Emak memungut kompang di hadapannya, lalu dengan setengah berlari meninggalkan rumah.

“Emak hendak kemana?” seru Hindun dari muka pintu.

“Ke balai induk6 untuk mengikuti upacara belian. Ada orang yang terkena guna-guna sedang diobati di sana.”
***

Hindun baru saja sadarkan diri. Cekung matanya terlihat semakin dalam. Sejenak ia memandang nanar, menyapu ke sekeliling ruangan, namun kosong. Seperti orang hilang ingatan. Tiba-tiba tangisnya kembali pecah.

“Hindun, tenanglah, Nak.” Pak Usu Hasan yang sedari subuh berusaha menyadarkannya dari pingsan hanya bisa memandangnya lirih. Hindun menggelengkan kepalanya. Ia masih tak percaya, Taufik telah pergi?

“Semalam kami telah berusaha sekuat tenaga. Mengadakan upacara belian dengan khidmat untuk kesembuhkan Taufik. Tetapi Tuhan berkehendak lain.”

Hindun bergeming. Wajahnya kian memucat, seperti mayat.

“Aku juga bingung kenapa Taufik tak bisa disembuhkan.” Pak Usu Hasan yang malam itu bertindak sebagai kemantan7 saat mengobati Taufik, menghela napas berat, lalu melemparkan pandangan ke sudut ruangan, seperti menerawang sesuatu. “Sepertinya dia mati bukan karena guna-guna, tetapi…”

“Tetapi apa?” Suara Hindun parau.

Hening. Emak bergeming. Pak Usu Hasan bungkam.
***

“Kematian Taufik terasa begitu ganjil. Sepertinya bukan guna-guna yang membuat ia meninggal dunia.” Pak Usu Hasan berkata seperi berbisik, pelan sekali. Pak Mahmud, Abah Taufik yang duduk persis di sebelahnya dan masih sangat berkabung itu hanya mengangguk, sembari menatap nanar tanah makam putera semata wayangnya yang masih basah itu dari kejauhan.

“Kau benar.”

“Lantas?”

“Ada yang memukul kepalanya malam itu. Malam seusai dia mengantarkan Hindun pulang dari pengajian. Sepertinya, kepalanya dipukul bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Mulut dan hidungnya sampai mengucurkan darah.”

“Benarkah? Kau tahu siapa pelakunya?”

Pak Mahmud bergeming.

Sementara di tempat lain, Hindun masih menangis. Cekung di pelupuk matanya semakin hitam dan basah. Perlahan ia melangkah ke ruang tengah, meraih kompang kesayangan Emak lalu memerhatikannya dengan seksama. Keningnya seketika mengernyit, seperti ada bercak darah kering yang menempel di permukaan kompang itu.

Bulu kuduk Hindun seketika meremang. Mata kemudian ia katup rapat-rapat, lalu menghela napas seraya membaui aroma kompang itu dalam-dalam. Ia rasakan sebuah aroma yang yang begitu khas berembus menusuk hidungnya. Bukan aroma kulit kambing, bukan pula aroma tubuh Abah, tetapi aroma yang berembus dari kompang itu adalah bau tubuh Taufik, kekasihnya! Hindun lantas tersedu sembari memeluk kompang itu dengan kerinduan yang teramat sangat.

“Taufik meninggal bukan karena guna-guna, tetapi kompang di pelukanmu itulah yang telah membunuhnya.” Emak berkata dingin, seperti petir, pelan tetapi menggelegar.

“Apa?!” Hindun terpekik. Kompang di pelukannya terempas. Matanya bergerak-gerak nanar, membayangkan Emak yang sedang dirasuki bunian, lalu memukul-mukulkan kompang kesayangannya itu ke kepala Taufik, kekasihnya, hingga tewas?! Oh...

Emak beranjak meraih kompang yang terguling di lantai itu. Ia lantas memeluknya erat-erat dengan penuh rasa sayang dan cinta.***(ak27)

(Cerpen ini pemenang 3 Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau 2013)

Ahmad Ijazi H
Kelahiran Tj. Sari-Rengat, Indragiri Hulu Riau, 25 Agustus 1988. Pernah meraih beberapa penghargaan di bidang menulis, di antanya: Pemenang III Lomba Cerpen Nasional Business Inspiring Moment IMABI 2013, Pemenang I Lomba Cerpen Nasional Festival Sastra Universitas Gajah Mada 2013, Pemenang III Lomba Cerpen Nasional Writing Revolution 2013. Pemenang II Lomba Cerpen Nasional Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2011. Pemenang II sayembara menulis cerpen nasional Forum Sastra Bumi Pertiwi Jakarta 2011, Pemenang III Lomba Cerpen Nasional (Lip Ice Selsun Golden Award) PT. Rohto Laboratories Jakarta 2010, Pemenang II Lomba Cerpen Nasional (Lip Ice Selsun Golden Award) PT. Rohto Laboratories Jakarta 2009, Nominasi Sayembara Novel Ganti Award ke IV se-Riau dengan novel “Metafora dan Alegori” 2008 dll. Saat ini mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru. Hp. 085664414801.

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN