Oleh : Ashaluddin Jalil
[ArtikelKeren] OPINI - Kota adalah tempat tinggal dan berkumpulnya orang-orang hebat, karena semua ahli ada di kota.
Meski begitu, hingga saat ini, kota merupakan kawasan multi kompleksitas mulai dari masalah sampah, transportasi, lalu lintas, tatanan ruang hingga percepatan peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di kota.
Kompleksitas persoalan ini, tidak saja melanda Indonesia juga negara-negara yang setara Indonesia karena berpacu untuk mengejar berbagai ketertinggalan dengan negara-negara maju dan industri.
Merujuk kepada Kota Pekanbaru, sebenarnya sudah lama ketika penataan transportasi mulai dilakukan. Sekitar tahun 1992-an Wali Kota Madya Pekanbaru waktu itu H Oesman Efendi Apan tergelitik ketika di Jalan Nangka (sekarang Jalan Tuanku Tambusai) saya sebut dengan terminal terpanjang di dunia, karena hampir di sepanjang jalan tersebut bus, truk terutama angkutan kota parkir memakan jalan.
Hal yang membuat wali kota meradang ketika motto kota bertuah saya ubah menjadi kota berkuah. Mengapa? Masa itu, Kota Pekanbaru sudah mulai digenangi air terutama ketika curah hujan tinggi seperti, pada bulan-bulan di akhir tahun.
Jika ditilik ke belakang maka sudah lebih dari 20 tahun banjir melanda Kota Pekanbaru.
Puncak bencana banjir tersebut mencuat beberapa hari yang lalu dan memakan korban jiwa. Kota Pekanbaru menjadi lautan (bukan lautan api) dan hampir semua kawasan permukiman air masuk ke dalam rumah, masjid dan musala hingga sebatas lutut orang dewasa.
Dua dasawarsa berlalu bak angin malam, Koki-Koba (maaf) adalah ”kota kita kota bencana”. Drainase terutama real system tidak ada menyebabkan setiap tahun bencana banjir berulang.
Sampah menjadi penyebab penyumbatan karena saluran kecil seperti cacing tidak mampu menerima limpahan air. Bencana kota semakin menggila tidak saja banjir, truk tonase besar, angkutan antar provinsi serta laka lantas semakin mencuat.
Tanah angkut yang berserakan, parkir yang berantakan, kaki lima bermunculan membuat fasilitas publik semakin terhimpit.
Sungguh tidak menyenangkan ketika kota berkembang, permasalahan yang semakin kompleks pun terus bertambah.
Usaha yang dirancang melalui perencanaan yang sistemik tidak tampak sementara penduduk setiap tahun terus bertambah diikuti oleh perumahan yang semakin padat.
Pemahaman tentang tata kota pada dasarnya adalah hal yang mutlak. Sebuah kota yang benar adalah kota yang memiliki drainase yang terencana, bahkan peta dari sistem tersebut harus ada karena berdasarkan peta itulah akan diketahui kawasan serta titik-titik penyumbatan.
Selama ini yang diketahui adalah titik-titik banjir disebut rawan banjir dan diiringi dengan membuat box-culvert. Namun, air tetap hadir dan terjadi ketika curah hujan meningkat.
Penuntasan aliran air tidak jelas, sebaliknya pembangunan semakin meningkat terutama kawasan permukiman, bangunan bisnis dan jasa serta perdagangan.
Perkembangan kota seharusnya di iringi dengan perkembangan fasilitas penataan fisik kota dan ini tentu saja berkesinambungan.
Kota Metik
Di atas telah disebutkan bahwa tatanan kota terdiri atas permukiman, bisnis, perkantoran, jasa entertainment, pasar (termasuk pasar tradisional) serta berbagai fasilitas penunjang kehidupan kota.
Karena itu, kota tersusun serta terpolarisasi mengikut keruangan dan fungsi-fungsi dari sebuah tatanan fisik secara menyeluruh.
Keragaman dari penduduk tidak saja dari etnisitas, pekerjaan maupun budaya yang melatarbelakangi kultur masing-masing.
Kota terus berkembang dan hidup seirama dengan perkembangan berbagai hal yaitu; ekonomi, teknologi terutama komunikasi dan informasi serta transportasi.
Hal inilah yang menyebabkan institusi pemerintahan kota harus kuat dan harus serius yang diiringi oleh kemauan serta kepedulian yang kuat untuk mengatur serta mengurus kota.
Sebab jika tidak maka kota baik secara fisik maupun sosial akan bergerak secara alami walaupun tidak diurus karena masing-masing warga sudah memiliki pergerakan sendiri secara rutin mengikuti kepentingan masing-masing warga, di mana hidup dan berjalan sendiri-sendiri jadilah kota ini seperti kota metik yaitu berjalan otomatis.
Lengkaplah sebutan Koki-Koba yang (sekali lagi mohon maaf) saya ungkapkan di atas.
Kota Pekanbaru mengalami perkembangan yang pesat sejak 1988 karena terjadi reklasifikasi perkotaan (perluasan fisik) yaitu dari luas 62,8 Km persegi menjadi 662,8 Km.
Hasil Sensus Penduduk 2010 penduduk Pekanbaru meningkat menjadi lebih dari 800 ribu jiwa dan saat ini (tahun 2013) mendekati satu juta jiwa mungkin lebih. Ini sudah merambah kepada kota besar.
Sebuah kota akan terus hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan berbagai hal terutama teknologi, informasi dan komunikasi, ekonomi, sosial dan pendidikan.
Sebab itu, jika tidak di tata melalui mekanisme perencanaan yang berkesinambungan (khususnya drainase) maka Koki-Koba berlanjut. Harapan ”kota kita kota bencana” tidak lagi hadir pada tahun-tahun berikutnya.
Selain banjir pemutusan aliran listrik pun semakin menjadi-jadi karena melebihi orang mengindap penyakit akut sehingga terus di-in-push dan minum ubat lebih dari empat kali sehari.
Tidak heran ketika bencana kebakaran (akibat arus pendek, panjang ataupun panjang pendek) menghanguskan bangunan rumah penduduk, bangunan bisnis ataupun gedung lain.
Merujuk Kota Pekanbaru dewasa ini kesannya adalah pembiaran, tidak diurus. Dump truck dengan kapasitas seperti kontainer, serta mobil berukuran besar bebas masuk dan (cenderung) berkeliaran dalam kota.
Tanah timbun berserakan, trotoar ambruk karena dilalui oleh truk yang bertonasi tinggi melindas di atasnya. Hal lain adalah bebasnya becak bermotor berkeliaran di dalam kota sehingga tidak jelas lagi mana jalan protokol, jalan kampung dan jalan utama.
Becak bermotor inipun tidak jelas statusnya karena dikatakan mengangkut barang tetapi bermuatan orang, sementara di dalam peraturan daerah sudah tegas disebutkan bahwa angkutan perkotaan itu tidak ada disebut becak bermotor.
Keseriusan warga kota untuk ikut menjaga kota pun mutlak diperlukan, sebab saluran cacing yang mengelilingi kawasan mereka tidak mampu mengalirkan air.
Hal ini disebabkan warga tidak mau membuang sampah pada tempatnya. Penyumbatan terutama disebabkan oleh berbagai plastik yang berserak di mana-mana dan plastik tidak hancur justru semakin padat jika masuk dan terbenam baik di air maupun di tanah.
Serius Mengurus
Hal mutlak yang harus disiapkan adalah drainase. Jika ini di anggap sangat mahal seperti kota-kota di negara maju, maka secara bertahap tetapi kontiniu harus dirancang.
Perkembangan kota yang tidak mampu ditahan menyebabkan himpitan penduduk di kota semakin meningkat. Penetapan zoning biru dan resapan harus tegas jika tidak mau bencana bekelanjutan menerpa kota ini.
Diperlukan jalur yang komunikatif dari pemerintahan kota dan provinsi sebab permasalahan ini bukanlah kecil.
Diskusi terarah sehingga melahirkan konseptualisasi untuk penataan sistem drainase sangat mendesak. Dikatakan demikian, karena bencana banjir yang baru berlangsung beberapa hari yang lalu serentak dialami kabupaten/ kota yang ada di Riau.
Persoalan masa lalu tidak usah ditangisi seperti hutan yang habis, tebing sungai yang runtuh, sungai sebagai tempat pembuangan sampah terluas di dunia serta kawasan gundul.
Penataan melalui rencana yang sangat serius merupakan kata kunci ke depan. Interkoneksi rencana dengan daerah perbatasan harus ada karena jika tidak maka akan terjadi pemindahan dan ataupun pengalihan permasalahan yang berkepanjangan.
Sistem drainase merupakan tonggak utama tatanan dan keruangan kota. Jika ini tidak ada maka Koki-Koba tidak terhindarkan.
Bahkan, ke depan jumlah korban akan semakin meningkat. Mengapa? Karena seperti air bah yang memasuki kota karena tidak ada filter, resapan dan sistem yang menggiring laluan air tersebut.
Belajar dan pahami kota-kota maju yang ada dan disarankan ambil atau undang konsultan ahli dari luar negara khususnya negara yang sudah terkenal dengan sistem drainase yang unggul.
Ini diungkapkan karena di dalam negeri belum ada konsultan yang sudah merancang sistem drainase yang andal. Semua kota yang ada di Indonesia umumnya sistem drainase yang ada bekas peninggalan masa lalu (Belanda dan Inggris).
Serius untuk tidak serius itulah kenyataan yang tampak di mana-mana, sehingga semua yang dikerjakan terkesan tidak tuntas. Keseriusan merupakan hal mutlak mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Bagaimana bekerja jika tidak diawali dengan rencana dan bagaimana tahu hasilnya ketika tidak pernah ada peninjauan (evaluasi) dari semua pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Semoga dengan kejadian Kota Pekanbaru dilanda banjir ini menjadikan pihak pemegang kuasa lebih serius untuk menata. Ke depan tentu saja ”kota kita kota bencana” tidak terjadi lagi.***(ak27/rp)
Ashaluddin Jalil
Rektor Unri
[ArtikelKeren] OPINI - Kota adalah tempat tinggal dan berkumpulnya orang-orang hebat, karena semua ahli ada di kota.
Meski begitu, hingga saat ini, kota merupakan kawasan multi kompleksitas mulai dari masalah sampah, transportasi, lalu lintas, tatanan ruang hingga percepatan peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di kota.
Kompleksitas persoalan ini, tidak saja melanda Indonesia juga negara-negara yang setara Indonesia karena berpacu untuk mengejar berbagai ketertinggalan dengan negara-negara maju dan industri.
Merujuk kepada Kota Pekanbaru, sebenarnya sudah lama ketika penataan transportasi mulai dilakukan. Sekitar tahun 1992-an Wali Kota Madya Pekanbaru waktu itu H Oesman Efendi Apan tergelitik ketika di Jalan Nangka (sekarang Jalan Tuanku Tambusai) saya sebut dengan terminal terpanjang di dunia, karena hampir di sepanjang jalan tersebut bus, truk terutama angkutan kota parkir memakan jalan.
Hal yang membuat wali kota meradang ketika motto kota bertuah saya ubah menjadi kota berkuah. Mengapa? Masa itu, Kota Pekanbaru sudah mulai digenangi air terutama ketika curah hujan tinggi seperti, pada bulan-bulan di akhir tahun.
Jika ditilik ke belakang maka sudah lebih dari 20 tahun banjir melanda Kota Pekanbaru.
Puncak bencana banjir tersebut mencuat beberapa hari yang lalu dan memakan korban jiwa. Kota Pekanbaru menjadi lautan (bukan lautan api) dan hampir semua kawasan permukiman air masuk ke dalam rumah, masjid dan musala hingga sebatas lutut orang dewasa.
Dua dasawarsa berlalu bak angin malam, Koki-Koba (maaf) adalah ”kota kita kota bencana”. Drainase terutama real system tidak ada menyebabkan setiap tahun bencana banjir berulang.
Sampah menjadi penyebab penyumbatan karena saluran kecil seperti cacing tidak mampu menerima limpahan air. Bencana kota semakin menggila tidak saja banjir, truk tonase besar, angkutan antar provinsi serta laka lantas semakin mencuat.
Tanah angkut yang berserakan, parkir yang berantakan, kaki lima bermunculan membuat fasilitas publik semakin terhimpit.
Sungguh tidak menyenangkan ketika kota berkembang, permasalahan yang semakin kompleks pun terus bertambah.
Usaha yang dirancang melalui perencanaan yang sistemik tidak tampak sementara penduduk setiap tahun terus bertambah diikuti oleh perumahan yang semakin padat.
Pemahaman tentang tata kota pada dasarnya adalah hal yang mutlak. Sebuah kota yang benar adalah kota yang memiliki drainase yang terencana, bahkan peta dari sistem tersebut harus ada karena berdasarkan peta itulah akan diketahui kawasan serta titik-titik penyumbatan.
Selama ini yang diketahui adalah titik-titik banjir disebut rawan banjir dan diiringi dengan membuat box-culvert. Namun, air tetap hadir dan terjadi ketika curah hujan meningkat.
Penuntasan aliran air tidak jelas, sebaliknya pembangunan semakin meningkat terutama kawasan permukiman, bangunan bisnis dan jasa serta perdagangan.
Perkembangan kota seharusnya di iringi dengan perkembangan fasilitas penataan fisik kota dan ini tentu saja berkesinambungan.
Kota Metik
Di atas telah disebutkan bahwa tatanan kota terdiri atas permukiman, bisnis, perkantoran, jasa entertainment, pasar (termasuk pasar tradisional) serta berbagai fasilitas penunjang kehidupan kota.
Karena itu, kota tersusun serta terpolarisasi mengikut keruangan dan fungsi-fungsi dari sebuah tatanan fisik secara menyeluruh.
Keragaman dari penduduk tidak saja dari etnisitas, pekerjaan maupun budaya yang melatarbelakangi kultur masing-masing.
Kota terus berkembang dan hidup seirama dengan perkembangan berbagai hal yaitu; ekonomi, teknologi terutama komunikasi dan informasi serta transportasi.
Hal inilah yang menyebabkan institusi pemerintahan kota harus kuat dan harus serius yang diiringi oleh kemauan serta kepedulian yang kuat untuk mengatur serta mengurus kota.
Sebab jika tidak maka kota baik secara fisik maupun sosial akan bergerak secara alami walaupun tidak diurus karena masing-masing warga sudah memiliki pergerakan sendiri secara rutin mengikuti kepentingan masing-masing warga, di mana hidup dan berjalan sendiri-sendiri jadilah kota ini seperti kota metik yaitu berjalan otomatis.
Lengkaplah sebutan Koki-Koba yang (sekali lagi mohon maaf) saya ungkapkan di atas.
Kota Pekanbaru mengalami perkembangan yang pesat sejak 1988 karena terjadi reklasifikasi perkotaan (perluasan fisik) yaitu dari luas 62,8 Km persegi menjadi 662,8 Km.
Hasil Sensus Penduduk 2010 penduduk Pekanbaru meningkat menjadi lebih dari 800 ribu jiwa dan saat ini (tahun 2013) mendekati satu juta jiwa mungkin lebih. Ini sudah merambah kepada kota besar.
Sebuah kota akan terus hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan berbagai hal terutama teknologi, informasi dan komunikasi, ekonomi, sosial dan pendidikan.
Sebab itu, jika tidak di tata melalui mekanisme perencanaan yang berkesinambungan (khususnya drainase) maka Koki-Koba berlanjut. Harapan ”kota kita kota bencana” tidak lagi hadir pada tahun-tahun berikutnya.
Selain banjir pemutusan aliran listrik pun semakin menjadi-jadi karena melebihi orang mengindap penyakit akut sehingga terus di-in-push dan minum ubat lebih dari empat kali sehari.
Tidak heran ketika bencana kebakaran (akibat arus pendek, panjang ataupun panjang pendek) menghanguskan bangunan rumah penduduk, bangunan bisnis ataupun gedung lain.
Merujuk Kota Pekanbaru dewasa ini kesannya adalah pembiaran, tidak diurus. Dump truck dengan kapasitas seperti kontainer, serta mobil berukuran besar bebas masuk dan (cenderung) berkeliaran dalam kota.
Tanah timbun berserakan, trotoar ambruk karena dilalui oleh truk yang bertonasi tinggi melindas di atasnya. Hal lain adalah bebasnya becak bermotor berkeliaran di dalam kota sehingga tidak jelas lagi mana jalan protokol, jalan kampung dan jalan utama.
Becak bermotor inipun tidak jelas statusnya karena dikatakan mengangkut barang tetapi bermuatan orang, sementara di dalam peraturan daerah sudah tegas disebutkan bahwa angkutan perkotaan itu tidak ada disebut becak bermotor.
Keseriusan warga kota untuk ikut menjaga kota pun mutlak diperlukan, sebab saluran cacing yang mengelilingi kawasan mereka tidak mampu mengalirkan air.
Hal ini disebabkan warga tidak mau membuang sampah pada tempatnya. Penyumbatan terutama disebabkan oleh berbagai plastik yang berserak di mana-mana dan plastik tidak hancur justru semakin padat jika masuk dan terbenam baik di air maupun di tanah.
Serius Mengurus
Hal mutlak yang harus disiapkan adalah drainase. Jika ini di anggap sangat mahal seperti kota-kota di negara maju, maka secara bertahap tetapi kontiniu harus dirancang.
Perkembangan kota yang tidak mampu ditahan menyebabkan himpitan penduduk di kota semakin meningkat. Penetapan zoning biru dan resapan harus tegas jika tidak mau bencana bekelanjutan menerpa kota ini.
Diperlukan jalur yang komunikatif dari pemerintahan kota dan provinsi sebab permasalahan ini bukanlah kecil.
Diskusi terarah sehingga melahirkan konseptualisasi untuk penataan sistem drainase sangat mendesak. Dikatakan demikian, karena bencana banjir yang baru berlangsung beberapa hari yang lalu serentak dialami kabupaten/ kota yang ada di Riau.
Persoalan masa lalu tidak usah ditangisi seperti hutan yang habis, tebing sungai yang runtuh, sungai sebagai tempat pembuangan sampah terluas di dunia serta kawasan gundul.
Penataan melalui rencana yang sangat serius merupakan kata kunci ke depan. Interkoneksi rencana dengan daerah perbatasan harus ada karena jika tidak maka akan terjadi pemindahan dan ataupun pengalihan permasalahan yang berkepanjangan.
Sistem drainase merupakan tonggak utama tatanan dan keruangan kota. Jika ini tidak ada maka Koki-Koba tidak terhindarkan.
Bahkan, ke depan jumlah korban akan semakin meningkat. Mengapa? Karena seperti air bah yang memasuki kota karena tidak ada filter, resapan dan sistem yang menggiring laluan air tersebut.
Belajar dan pahami kota-kota maju yang ada dan disarankan ambil atau undang konsultan ahli dari luar negara khususnya negara yang sudah terkenal dengan sistem drainase yang unggul.
Ini diungkapkan karena di dalam negeri belum ada konsultan yang sudah merancang sistem drainase yang andal. Semua kota yang ada di Indonesia umumnya sistem drainase yang ada bekas peninggalan masa lalu (Belanda dan Inggris).
Serius untuk tidak serius itulah kenyataan yang tampak di mana-mana, sehingga semua yang dikerjakan terkesan tidak tuntas. Keseriusan merupakan hal mutlak mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Bagaimana bekerja jika tidak diawali dengan rencana dan bagaimana tahu hasilnya ketika tidak pernah ada peninjauan (evaluasi) dari semua pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Semoga dengan kejadian Kota Pekanbaru dilanda banjir ini menjadikan pihak pemegang kuasa lebih serius untuk menata. Ke depan tentu saja ”kota kita kota bencana” tidak terjadi lagi.***(ak27/rp)
Ashaluddin Jalil
Rektor Unri
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.