Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Sabtu, 23 November 2013

Feminisme dan Sastra

Sabtu, November 23, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Dessy Wahyuni


[ArtikelKeren] OPINI - Feminisme bukanlah istilah yang asing di telinga masyarakat awam. Gerakan ini diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dalam kehidupan.

Gerakan yang meningkatkan harga diri wanita ini ingin agar kaum wanita tersebut dinilai sesuai dengan potensinya sebagai manusia tanpa harus memandang gender.

Selama ini, kaum Hawa merasa tertindas oleh perlakuan pria, sehingga merasa terkungkung oleh sebuah budaya yang seakan tidak bisa dihindari.

Gerakan perempuan ingin mempertegas kedudukan perempuan dan menghilangkan marginalisasi gender dalam berbagai wilayah kultural maupun sosial.

Berbagai persepsi tentang perbedaan gender ini pun bermunculan. Akan tetapi, secara umum, teori feminis berusaha menganalisis berbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan menyelidiki beragam pemahaman kultural mengenai apa artinya menjadi perempuan.

Kaum feminis menolak pandangan bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat alamiah dan tidak terelakkan. Mereka bersikeras bahwa ketidaksetaraan tersebut harus dipertanyakan.

Dalam wacana dan praktik ilmu sosial, berbagai macam formulasi kritik telah dihasilkan para feminis. Namun, menurut Stanley dan Wise (1990) terdapat tiga hal penting.

Pertama, pendekatan feminis dalam penelitian ilmu sosial yang berfokus pada kelompok perempuan harus dilakukan oleh kaum perempuan itu sendiri, sehingga akan terungkap apa yang sesungguhnya telah dialaminya.

Kedua, peneliti melihat bahwa ada perbedaan pandangan antara metode yang cenderung bersifat maskulin dan metode yang dipakai feminis. Sedangkan yang ketiga, penelitian feminis memiliki tujuan mengubah kehiduan kaum perempuan.

Alasan penelitian yang dilakukan kaum feminis ini adalah kecenderungan yang selama ini kerap terjadi, yakni para peneliti pria cenderung memarginalkan peran perempuan.

Maka penelitian kaum feminis muncul untuk memperlihatkan kepada dunia tentang keberadaan perempuan.

Menurut St Sunardi dalam pengantarnya untuk buku Sastra, Perempuan, Seks karya Katrin Bandel, gerakan perempuan atau feminisme jangan berbangga diri dulu sebelum memasuki wilayah sastra.

St Sunardi berpendapat bahwa masalah diskriminasi bukan hanya masalah sosial dan hukum, melainkan juga masalah kesadaran dan imajinasi.

Kalau sudah memasuki wilayah sastra, horizon gerakan perempuan akan menjadi lebih kaya. Tanpa memasuki wilayah sastra, isu-isu gerakan perempuan hanya akan berkubang pada isu-isu standar yang diimpor dari tempat lain yang mengakibatkan kemalasan menemukan isu-isu yang dialami sendiri.

Analisis dalam kajian feminisme harus mampu mengungkap aspek-aspek ketertindasan wanita dari pria. Kajian feminisme bertujuan mengungkapkan berbagai alasan wanita terkena dampak patriarki, yang hanya berkedudukan sebagai pendamping laki-laki.

Melalui perspektif feminisme akan terlihat apakah wanita menerima secara sadar atau justru marah menghadapi ketidakadilan gender.

Bila dikaitkan dengan sastra, maka kajian sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra.

Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis.

Hal yang sejalan dengan kritik sastra feminis ini adalah konsep reading as a woman (Culler, 1983). Konsep ini dipakai untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patriarkal, yang sampai sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan sastra.

Dalam hal ini, pengarang memandang sastra dengan kesadaran khusus bahwa ada jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan.

Dengan demikian, Nyoman Kutha Ratna (2007) berpendapat bahwa kondisi perempuan tersubordinasikan atas kebudayaan. Artinya, kebudayaan menyebabkan perempuan dianggap memiliki kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki.

Padahal pada kenyataannya perempuan juga mampu melakukan pekerjaan sebagaimana dilakukan laki-laki.

Dasar pemikiran dalam kajian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti dalam karya sastra.

Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan kajian sastra. Menurut Suwardi Endraswara dalam Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi (2008) terdapat lima sasaran penting dalam analisis feminisme sastra.

Kelima sasaran tersebut adalah (1) mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini agar jelas citra wanita yang merasa ditekan oleh tradisi; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya yang ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis; dan (5) mengungkap aspek psikoanalisis feminis, yaitu mengapa wanita, baik tokoh maupun pengarang, lebih suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya.

Belakangan ini, munculnya para pengarang perempuan menjadi fenomena tersendiri. Kalau selama ini perempuan menjadi objek representasi penulis laki-laki dengan berbagai biasnya, kini para penulis perempuan menulis tentang dirinya, tentang laki-laki, tentang hubungan perempuan-lelaki, dan tentang dunia dari perspektifnya sendiri.

Dengan demikian, mereka dengan sendirinya akan membongkar represi atau penindasan sosial yang selama ini diderita oleh perempuan.

Katrin Bandel berpendapat, berbagai pernyataan muncul seputar para pengarang perempuan baru, yaitu: tulisan mereka hebat, mereka menciptakan gaya penulisan baru, dan mereka mendobrak tabu (terutama seputar seks —dan hal itu sering dipahami sebagai semacam “pembebasan perempuan”, bahkan sebagai “feminisme”).

Terkadang hal-hal tersebut terlihat berlebihan. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu misalnya, adalah dua orang pengarang perempuan yang berusaha mendobrak tabu seputar seks.

Novel Saman (Ayu Utami, 1998) menjadi titik awal bermunculannya sensasi pengarang perempuan dalam mendobrak berbagai tatanan dalam kehidupan dan membuka diri dalam hal seksualitas.

Djenar pun kemudian seakan mengikuti jejak Ayu Utami, seperti beberapa cerpennya yang terangkum dalam Jangan Main-main (dengan Kelaminmu).

Padahal sebenarnya, berbicara tentang perempuan, tidak melulu berbicara soal seksualitas. Daya tarik perempuan banyak menghiasi berbagai ruang dalam kehidupan.

Seharusnya, hal-hal mengenai perempuan tidak kunjung surut untuk dikupas. Nasib kaum perempuan Indonesia di tengah dominasi budaya patriarki dapat ditelusuri sejak roman Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1920) yang terbit pada masa pra-Pujangga Baru.

Menjadi representasi dari keadaan zamannya, dalam novel itu perempuan digambarkan pada posisi yang lemah dan menjadi “korban” kepentingan orangtua, adat, dan nafsu lelaki.

Untuk melunasi hutang ayahnya, Siti Nurbaya harus menikah dengan Datuk Maringgih, lelaki tua yang sudah bau tanah.

Meskipun ditulis oleh pengarang lelaki, dan tidak secara jelas membela kaum perempuan, novel tersebut sebenarnya dapat dimaknai sebagai suatu “kesaksian zaman” tentang nasib kaum perempuan. Karena itu, dalam jangka panjang kesaksian itu dapat mengundang empati terhadap nasib kaum perempuan, dan pada akhirnya akan mengundang pembelaan.

Kenyataannya, pada pasca-kolonialisme, Siti Nurbaya cukup memberi inspirasi untuk mendorong kebangkitan kaum perempuan agar tidak bernasib seperti Siti Nurbaya.

Pengarang perempuan lain adalah Yetti A KA. Sebagai pengarang perempuan kontenporer —yang seringkali berupaya mendobrak budaya patriarki— Yetti hadir dengan beberapa kumpulan cerpennya yang tidak terjebak dalam kehidupan kosmopolitan dan berpesta merayakan tubuh serta seksualitas perempuan.

Misalnya empat belas cerpennya yang terkumpul dalam Satu Hari Bukan di Hari Minggu (Gress Publishing, Jogjakarta , 2011) berkisah tentang realitas perempuan.

Menurut Romi Zarman, cerpen-cerpen Yetti dalam kumpulan cerpen ketiganya ini berkisah tentang kehidupan yang sangat alami.

Keberadaan karya Yetti yang sangat alami ini menjadi sebuah arus perlawanan terhadap kehadiran para penulis perempuan yang berbincang seputar kehidupan kosmopolitan.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh gerakan feminisme untuk melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai pada penciptaan pembebasan perempuan secara sejati.

Dalam kesastraan, berbagai karya sastra pun bermunculan, baik itu oleh kaum laki-laki, maupun kaum feminis itu sendiri, dengan mengusung persoalan seputar perempuan.

Peran kaum perempuan yang cenderung dimarginalkan dalam masyarakat patriarki, saat ini telah melepaskan diri dari keterkungkungan. Lantas, apakah kebebasan ini bisa dipertanggungjawabkan para kaum feminis?***(ak27/rp)



Dessy Wahyuni
Peneliti Bahasa dan Sastra di Balai Bahasa Provinsi Riau


0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN