Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Jumat, 11 Oktober 2013

Skandal Suap 'Menjemput Ajal'

Jumat, Oktober 11, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Syamsuddin Muir


[ArtikelKeren] OPINI - Skandal suap yang menerpa Ketua MK, Akil Mochtar merupakan skandal terbesar yang mengguncang sistem peradilan di Tanah Air.

Sebab, jabatan hakim (qadhi) merupakan kedudukan tinggi yang dijadikan teladan bagi masyarakat umum. Makanya, Imam Syafi’i tidak suka dengan seorang hakim yang bebas berbelanja di tempat keramaian.

Karena hal itu bisa mengurangi kewibawaan dirinya. Bahkan, para ulama tidak membolehkan seorang hakim berkecimpung dalam usaha bisnis.

Tapi, lain halnya dengan Akil Mochtar, alih-alih menjaga semua adab sebagai seorang hakim, malah menceburkan diri dalam skandal suap yang menggemparkan dunia.

Skandal Risywah
Imam Ali al-Jurjani menyebutkan dalam bukunya Mu’jam al-Ta’rifat, bahwa risywah atau rusywah ialah memberikan sogokan untuk membatalkan yang hak (benar), atau membenarkan yang salah.

Begitu juga yang disebut Imam Ahmad Ali al-Fayyumi dalam al-Mishbah al-Munir.

Memang, skandal risywah yang melibatkan hakim itu sudah terjadi pada masa pemerintah Islam dahulu. Penulis buku Qadhi al-Qudhat Fi al-Islam, Dr Isham Muhammad Syubari menyatakan, pada masa pemerintahan Islam di Irak, tahun 333-352H/944-953M, sudah ada hakim terlibat skandal risywah.

Seperti, dua orang qadhi (hakim) pada masa itu, Abu al-Hasan al-Umawi dan Abu al-Abbas al-Umawi tertuduh dalam skandal risywah. Atas dasar tuduhan itu, Khalifah al-Mustakfi al-Abbasi menangkap Abu al-Hasan pada tahun 334H/945M.

Pada tahun 352H/963M, Khalifah al-Muthi’ Billah memecat Hakim Abu al-Abbas al-Umawi. Pada masa itu juga dipecat hakim yang kedapatan menenggak miras, yaitu Yahya bin Aktsam.

Dalam Islam, Allah melaknat pemberi risywah dan penerimanya (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Tarmizi). Ulama sepakat mengatakan, haram meminta risywah, berusaha untuk itu, menerimanya dan terlarang juga menjadi broker transaksi risywah.

Dan tertulis dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, harta hasil risywah yang diterima hakim itu wajib dikembalikan kepada pemberinya. Jika pemberinya tidak ada lagi, maka dana hasil risywah itu dijadikan untuk kemaslahatan umat.

Bahkan, Imam Abu Muhammad al-Baghawi menyebutkan dalam kitab tafsirnya, Ma’alim al-Tanzil, bahwa ayat 42 dalam surah al-Ma’idah itu menceritakan kasus para hakim Yahudi yang suka menerima risywah, di antaranya Ka’ab bin al-Asyraf .

Lalu para hakim Yahudi itu memenangkan tuntutan pemberi risywah. Dan mayoritas ulama mengatakan, makna kata al-suht dalam ayat itu adalah risywah.

Memang, ulama Islam masih memberikan rincian hukum terkait dengan risywah. Di antaranya tersebut dalam kitab Syarh Adab al-Qadhi Li al-Khashshaf, karya Imam Hisamuddin al-Bukhari, boleh memberikan risywah demi menjaga keamanan diri dan penerimanya yang mendapat dosa.

Karena menjadikan harta sebagai benteng menjaga diri itu dibolehkan dalam Islam.

Boleh juga memberikan risywah, agar haknya mendapat persamaan di mata penguasa. Maka penguasa penerima risywah itu saja yang mendapat dosa.

Karena membantu seorang muslim wajib, tanpa imbalan harta. Tapi, tidak boleh memberikan risywah kepada penguasa untuk mendapatkan jabatan hakim.

Makanya, pemberi dan penerima sama-sama berdosa. Hal itu juga sama dengan memberikan risywah kepada hakim agar memenangkan tuntutannnya.

Namun begitu, Imam Wahab bin Munabbih menegaskan, dibolehkan memberikan risywah dalam rangka mempertahankan agama, jiwa dan harta.

Abdullah bin Ma’ud pernah memberikan risywah 2 dinar kepada penguasa negeri Habsyah, agar dibebaskan perjalanannya, lalu beliau mengatakan bahwa yang berdosa itu penerimanya, bukan pemberinya.

Begitu yang diceritakan Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an.

Adapun pemberian hadiah kepada seseorang dengan tujuan mengeratkan persahabatan, maka hal itu dianjurkan. Dan seseorang memberikan hadiah kepada orang yang ditakutinya, dengan tujuan mendapatkan keamanan.

Pemberi hadiah mendapat pahala, dan penerima yang ditakutinya itu mendapat dosa. Tapi, hadiah yang diberikan seseorang kepada penguasa untuk memuluskan keinginannya, maka pemberi dan pernerima sama-sama mendapat dosa.

Bahkan, mayoritas ulama secara mutlak melarang hakim menerima hadiah. Sebab, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menolak pemberian hadiah, dan menganggapnya sebagai risywah.

Begitu penjelasan Dr Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Nizham al-Qadha’ Fi al-Syariah al-Islamiyyah.

Hukuman Mati
Memang, tidak ada jenis hukuman pasti atas pelaku pidana risywah. Tapi, hukuman atas pelaku risywah itu masuk dalam katagori hukuman ta’zir (hukuman yang ditetapkan pemerintah).

Jika ditelusuri kitab fiqh dari berbagai mazhab, akan ditemukan kesepakatan pendapat ulama atas kebolehan hukuman mati dalam hukuman ta’zir.

Seperti Mazhab Hanafi membolehkan hukuman mati atas pencuri yang berulang kali melakukan pencurian.

Mazhab Maliki pula menetapkan hukuman mati atas orang yang menghina para Nabi atau malaikat. Mazhab Syafi’i pula membolehkan hukuman mati atas orang yang mengajak kepada aktivitas pengamalan yang bertentangan dengan Alquran dan hadits Nabi.

Mazhab Hanbali pula membolehkan hukuman mati atas spionase (mata-mata). Bahkan, dalam fiqh Syiah, seseorang yang berulang kali melakukan hubungan seksual dengan hewan ternak juga dikenakan hukuman mati.

Faktor dijatuhinya hukuman ta’zir berat berupa hukuman mati itu, apabila pelakunya itu merupakan orang panutan.

Makanya, Khalifah Umar bin Khattab pernah menjatuhi hukuman cambuk seratus kali atas Ma’an bin Za’idah, kemudian memasukkannya dalam penjara, dan mengusirnya ke luar daerah.

Khalifah Umar juga menetapkan 40 kali cambuk atas pembuat saksi palsu, mencukur kepalanya dan dipenjara. Lebih jelasnya bisa dilihat dalam buku Dr Nashir Ali al-Khulaifi, al-Zhuruf al-Musyaddadah Wa al-Mukhaffafah Fi Uqubah al-Ta’zir.

Kalau begitu, bisa dikatakan, skandal suap Ketua MK itu merupakan skandal menjemput ajal kematian. Wallahu a’lam. ***


Syamsuddin Muir, Anggota Komisi Fatwa MUI Riau 


Sumber : riaupos.co

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN