Oleh : Masduri
[ArtikelKeren] OPINI - Ada tiga tingkatan haji dalam Islam, pertama haji maqbul, yakni ibadah haji yang diterima oleh Allah dan orangnya pasca haji tidak mengalami peningkatan ketakwaan, tetap sama dengan sebelumnya.
Kedua, haji mardud, yaitu ibadah haji yang tidak diterima oleh Allah karena kesalahan dan dosa yang dilakukannya, sehingga pasca ibadah haji orangnya semakin jelek perilakunya dari sebelum berhaji.
Yang ketiga adalah haji mabrur, haji yang diterima oleh Allah dan setelah pulang ke tanah air, mereka lebih baik dari sebelumnya, mengalami peningkatan ketakwaan.
Menjadi haji mabrur tentu merupakan impian setiap orang, tetapi realitasnya sulit sekali menemukan haji yang benar-benar mabrur, yang banyak hanya haji maqbul dan mardud.
Itu terlihat dari perilaku mereka selepas dari Makkah. Betapa sangat banyak haji yang masih sering melakukan maksiat.
Mereka suka mengorupsi uang negara, menelantarkan orang miskin dan melakukan tindakan kekerasan. Spirit filosofi haji hilang seiring pergeseran waktu, hingga membuat mereka lupa, bahwa haji bukan semata ritual vertikal, tetapi juga horizontal, dengan melatih mental sosial peduli kepada sesama.
Indikasi diterima atau tidaknya haji seseorang hanya dapat dillihat dari prilaku seseorang itu selepas berhaji. Karena hakikatnya, di antara mereka yang berhaji tidak ada yang tahu mana yang diterima dan ditolak.
Mereka hanya berkeyakinan bahwa dengan memenuhi syarat dan rukun haji, ibadahnya diterima oleh Allah. Keyakinan ini adalah patokan pribadi untuk meyakinkan dirinya telah selesai melepaskan kewajiban haji, bukan penilaian secara umum dari masyarakat.
Karena sejatinya mabrur bukan hanya terbatas pada terpenuhinya syarat dan rukun haji, tetapi lebih penting dari itu, bagaimana haji benar-benar bermakna bagi kepentingan sosial masyarakat. Mabrur berasal dari kata al-birr, yang berarti kebaikan.
Dalam salah satu firman Allah disebutkan, Kalian belum mencapai kebaikan (al-birr) hingga mampu mendermakan sebagian harta yang kalian cintai.” (QS Ali Imran [3]: 92).
Selain itu, dalam salah satu hadis Nabi Muhammad SAW pernah ditanya, “Apa makna mabrur?” Nabi menjawab, “Suka memberi makan (bantuan sosial) dan lemah lembut dalam bicara.” (HR Ahmad).
Kedua nash di atas telah cukup jelas menggambarkan makna mabrur. Kaitannya dengan haji, umat Islam mestinya dapat mengimplementasikan spirit nilai yang ada dalam haji.
Mengupayakan kesalehan sosial bagi masyarakat lingkungannya. Selepas berhaji, rangkaian riltual haji sedapat mungkin membekas bagi kemaslahatan bersama. Tidak hanya menjadi ritual kosong, yang kehilangan makna ketika dihadapkan pada realitas sosial.
Haji Mabrur
Haji mabrur bukan semata pemberian Tuhan, tanpa usaha umat Islam untuk memabrurkan hajinya. Karena sejatinya, ritual haji kembali kepada pribadi pelaksana masing-masing, atas usaha dan kesadaran diri.
Tidak hanya terbatas pada keyakinan bahwa hajinya diterima, karena memenuhi syarat dan rukun haji. Mabrur adalah upaya manusia haji untuk melakukan transformasi sosial dari setiap gerakan ritual haji yang dilakukan.
Haji mabrur adalah gerak menuju kesadaran tertinggi dari ibadah haji, menuju kemaslahatan manusia secara umum.
Maka, setelah kembali ke tanah air, perjuangan me-mabrur-kan haji tak pernah selesai. Perjuangan itu tidak hanya terbatas pada terpenuhinya syarat dan rukun haji. Ia akan ada sepanjang perjalanan kehidupan.
Predikat haji dengan simbolisasi songkok putih, harus benar-benar mengkristal dalam konsistensi mereka menebar benih-benih kesucian sebagai simbol dari songkok putih.
Persoalan bangsa yang tak kunjung usai, adalah pekerjaan bersama, yang mesti segera diselesaikan. Di sini semua umat Islam akan berfastabikul khiarat menjadi yang terbaik.
Baik itu haji atau tidak semuanya berkesempatan sama, menunjukkan bahwa dirinya benar-benar meliki kepekaan sosial tinggi.
Tentu tidak etis, jika yang berhaji kalah dengan yang belum, orang berhaji harus menunjukkan bahwa dirinya berjiwa haji. Karena haji bukan tour religi dan selebrasi. Ia adalah ritual menuju fitrah kemanusiaan.
Dari perjalanan individu, berpadu di Baitullah, menjadi manusia sosial yang satu, dengan predikat tamu Allah. Bersatunya semua umat Islam dari beragam perbedaan tanah air, adalah ekspresi umat Islam untuk memperkuat persaudaraan antarsesama muslim dan peduli kepada sesama. Termasuk juga dengan semua umat manusia, seteleh kembali ke tanah air masing-masing.
Dengan demikian, menggapai haji mabrur perlu usaha kongkret dan kesadaran diri manusia haji, untuk benar-benar mendapatkannya.
Dengan menghayati setiap ritual haji, mendalami makna yang tersurat dan tersirat dalam ibadah haji, sebagai uapaya peningkatan kualitas ketakwaan, baik secara vertikal dan horizontal.
Tanpa upaya dari insan haji untuk memabrurkan hajinya, tidak mungkin mereka akan mendapatkan predikat haji mabrur. Karena haji mabrur adalah kesinambungan antara usaha dan pemberian Tuhan.
Semoga saja, kedatangan jamaah haji Riau dari Makkah, dapat menjadi angin segar bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan mengimplementasikan nilai luhur sosial haji.
Selama ini banyak orang berhaji hanya sebatas melepas kewajiban, bahkan kadang tidak lebih dari sekedar tur religi, atau hanya gengsi sosial, sehingga makna subtansial ibadah haji tidak bisa kita temukan dalam realitas keseharian bangsa Indonesia.
Haji dalam masyarakat Indonesia menempati posisi terhormat, posisi ini merupakan bentuk penghargaan besar bagi perjuangannya melakukan ibadah haji dengan menghabiskan banyak biaya dan meninggalkan sanak famili di tanar air demi mendapatkan keridhaan Allah.
Penghargaan ini mestinya juga disambut dengan baik oleh manusia haji, dengan kesalehan sosial pribadinya. Niat berhaji ke Tanah Suci dan harusnya kembali ke tanah air dengan membawa kesucian. Menabur kedamaian, kesejahteraan dan persaudaraan.***
Masduri
Peminat kajian agama dan sosial
[ArtikelKeren] OPINI - Ada tiga tingkatan haji dalam Islam, pertama haji maqbul, yakni ibadah haji yang diterima oleh Allah dan orangnya pasca haji tidak mengalami peningkatan ketakwaan, tetap sama dengan sebelumnya.
Kedua, haji mardud, yaitu ibadah haji yang tidak diterima oleh Allah karena kesalahan dan dosa yang dilakukannya, sehingga pasca ibadah haji orangnya semakin jelek perilakunya dari sebelum berhaji.
Yang ketiga adalah haji mabrur, haji yang diterima oleh Allah dan setelah pulang ke tanah air, mereka lebih baik dari sebelumnya, mengalami peningkatan ketakwaan.
Menjadi haji mabrur tentu merupakan impian setiap orang, tetapi realitasnya sulit sekali menemukan haji yang benar-benar mabrur, yang banyak hanya haji maqbul dan mardud.
Itu terlihat dari perilaku mereka selepas dari Makkah. Betapa sangat banyak haji yang masih sering melakukan maksiat.
Mereka suka mengorupsi uang negara, menelantarkan orang miskin dan melakukan tindakan kekerasan. Spirit filosofi haji hilang seiring pergeseran waktu, hingga membuat mereka lupa, bahwa haji bukan semata ritual vertikal, tetapi juga horizontal, dengan melatih mental sosial peduli kepada sesama.
Indikasi diterima atau tidaknya haji seseorang hanya dapat dillihat dari prilaku seseorang itu selepas berhaji. Karena hakikatnya, di antara mereka yang berhaji tidak ada yang tahu mana yang diterima dan ditolak.
Mereka hanya berkeyakinan bahwa dengan memenuhi syarat dan rukun haji, ibadahnya diterima oleh Allah. Keyakinan ini adalah patokan pribadi untuk meyakinkan dirinya telah selesai melepaskan kewajiban haji, bukan penilaian secara umum dari masyarakat.
Karena sejatinya mabrur bukan hanya terbatas pada terpenuhinya syarat dan rukun haji, tetapi lebih penting dari itu, bagaimana haji benar-benar bermakna bagi kepentingan sosial masyarakat. Mabrur berasal dari kata al-birr, yang berarti kebaikan.
Dalam salah satu firman Allah disebutkan, Kalian belum mencapai kebaikan (al-birr) hingga mampu mendermakan sebagian harta yang kalian cintai.” (QS Ali Imran [3]: 92).
Selain itu, dalam salah satu hadis Nabi Muhammad SAW pernah ditanya, “Apa makna mabrur?” Nabi menjawab, “Suka memberi makan (bantuan sosial) dan lemah lembut dalam bicara.” (HR Ahmad).
Kedua nash di atas telah cukup jelas menggambarkan makna mabrur. Kaitannya dengan haji, umat Islam mestinya dapat mengimplementasikan spirit nilai yang ada dalam haji.
Mengupayakan kesalehan sosial bagi masyarakat lingkungannya. Selepas berhaji, rangkaian riltual haji sedapat mungkin membekas bagi kemaslahatan bersama. Tidak hanya menjadi ritual kosong, yang kehilangan makna ketika dihadapkan pada realitas sosial.
Haji Mabrur
Haji mabrur bukan semata pemberian Tuhan, tanpa usaha umat Islam untuk memabrurkan hajinya. Karena sejatinya, ritual haji kembali kepada pribadi pelaksana masing-masing, atas usaha dan kesadaran diri.
Tidak hanya terbatas pada keyakinan bahwa hajinya diterima, karena memenuhi syarat dan rukun haji. Mabrur adalah upaya manusia haji untuk melakukan transformasi sosial dari setiap gerakan ritual haji yang dilakukan.
Haji mabrur adalah gerak menuju kesadaran tertinggi dari ibadah haji, menuju kemaslahatan manusia secara umum.
Maka, setelah kembali ke tanah air, perjuangan me-mabrur-kan haji tak pernah selesai. Perjuangan itu tidak hanya terbatas pada terpenuhinya syarat dan rukun haji. Ia akan ada sepanjang perjalanan kehidupan.
Predikat haji dengan simbolisasi songkok putih, harus benar-benar mengkristal dalam konsistensi mereka menebar benih-benih kesucian sebagai simbol dari songkok putih.
Persoalan bangsa yang tak kunjung usai, adalah pekerjaan bersama, yang mesti segera diselesaikan. Di sini semua umat Islam akan berfastabikul khiarat menjadi yang terbaik.
Baik itu haji atau tidak semuanya berkesempatan sama, menunjukkan bahwa dirinya benar-benar meliki kepekaan sosial tinggi.
Tentu tidak etis, jika yang berhaji kalah dengan yang belum, orang berhaji harus menunjukkan bahwa dirinya berjiwa haji. Karena haji bukan tour religi dan selebrasi. Ia adalah ritual menuju fitrah kemanusiaan.
Dari perjalanan individu, berpadu di Baitullah, menjadi manusia sosial yang satu, dengan predikat tamu Allah. Bersatunya semua umat Islam dari beragam perbedaan tanah air, adalah ekspresi umat Islam untuk memperkuat persaudaraan antarsesama muslim dan peduli kepada sesama. Termasuk juga dengan semua umat manusia, seteleh kembali ke tanah air masing-masing.
Dengan demikian, menggapai haji mabrur perlu usaha kongkret dan kesadaran diri manusia haji, untuk benar-benar mendapatkannya.
Dengan menghayati setiap ritual haji, mendalami makna yang tersurat dan tersirat dalam ibadah haji, sebagai uapaya peningkatan kualitas ketakwaan, baik secara vertikal dan horizontal.
Tanpa upaya dari insan haji untuk memabrurkan hajinya, tidak mungkin mereka akan mendapatkan predikat haji mabrur. Karena haji mabrur adalah kesinambungan antara usaha dan pemberian Tuhan.
Semoga saja, kedatangan jamaah haji Riau dari Makkah, dapat menjadi angin segar bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan mengimplementasikan nilai luhur sosial haji.
Selama ini banyak orang berhaji hanya sebatas melepas kewajiban, bahkan kadang tidak lebih dari sekedar tur religi, atau hanya gengsi sosial, sehingga makna subtansial ibadah haji tidak bisa kita temukan dalam realitas keseharian bangsa Indonesia.
Haji dalam masyarakat Indonesia menempati posisi terhormat, posisi ini merupakan bentuk penghargaan besar bagi perjuangannya melakukan ibadah haji dengan menghabiskan banyak biaya dan meninggalkan sanak famili di tanar air demi mendapatkan keridhaan Allah.
Penghargaan ini mestinya juga disambut dengan baik oleh manusia haji, dengan kesalehan sosial pribadinya. Niat berhaji ke Tanah Suci dan harusnya kembali ke tanah air dengan membawa kesucian. Menabur kedamaian, kesejahteraan dan persaudaraan.***
Masduri
Peminat kajian agama dan sosial
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.