Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Sabtu, 12 Oktober 2013

Cerpen, Munro dan Nobel

Sabtu, Oktober 12, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Hary B Kori’un


 
[ArtikelKeren] OPINI - Inilah kekuatan sebuah cerita pendek (cerpen). Pendek tetapi memberi rangkaian kisah dan isi yang amat panjang, bahkan kadang tak terjamah akal dan pikiran.

Sebagai genre sastra yang dianggap paling baru, kekuatan prosa pendek ini berada pada kemampuan para penulisnya menerjemahkan realitas masyarakatnya, yang akan menimbulkan tafsir-tafsir yang berbeda dari para pembacanya.

Cerpen-cerpen Leo Tolstoy, Anton Chekov, Yasunari Kawabata, Victor Hugo, Charles Dickens, Maxim Gorxi, Jean-Paul Satre, Franz Kafka, Alexander Pushkin, Nikolai Gogol dan lainnya, sudah lama menyihir kita.

Persoalan-persoalan manusia yang diceritakan membawa kita pada pemahaman yang berbeda-beda, yang semakin menjelaskan bahwa manusia memiliki masalah masing-masing dan kita tidak tahu jalan keluar apa yang harus dipilih untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Kisah-kisah sederhana tetapi kadang pemahamannya tak sesederhana cerita itu.

Di Indonesia, cerpen mendapat tempat yang sangat tinggi, seiring sejalan dengan genre lain seperti novel dan puisi yang tumbuh subur.

Hampir setiap Ahad, media-media utama Indonesia menyediakan ruang untuk cerpen. Dan di setiap Ahad juga, seolah-olah masyarakat sastra kita (terutama penggemar cerpen, karena kadang ada media yang memuat cerpen tetapi tak memberi ruang untuk puisi) menganggapnya sebagai “hari cerpen”.

Kita banyak memiliki penulis cerpen yang bagus dan diakui secara universal. Sekadar menyebut nama, AA Navis, Budi Dharma, Kuntowijoyo, Satyagraha Hoerip, Putu Wijaya, Danarto, Seno Gumira Ajidarma, Triyanto Triwikromo, Raudal Tanjung Banua, Taufik Ikram Jamil dan lainnya, adalah penulis-penulis cerpen terkemuka kita.

Meski menjadi salah satu genre sastra yang banyak ditulis dan disukai orang, tetapi nasib cerpen masih berada di pinggiran ketika dihadapkan dengan novel atau puisi.

Puisi dianggap sebagai “engkong”-nya sastra, sedangkan novel –karena memiliki ruang yang luas— memungkinkan para penulisnya bisa menuangkan ide-ide besar yang membuat karya mereka nantinya juga sebagai karya “besar”.

“Kebesaran” inilah yang sejak lama menjadi perdebatan para kritikus ketika ketiganya dipersandingkan atau diperlombakan.

Hal itu juga yang terjadi ketika Nobel Sastra nyaris tak menyentuh para cerpenis. Ketika Kawabata meraih Nobel Sastra tahun 1968, ukuran yang ditarik darinya bukan karena cerpen-cerpennya, tetapi lebih para karya-karya novelnya.

Begitu juga dengan Ernest Hemingway (1954), dan beberapa nama lainnya yang lebih sering menulis novel dan hanya “sedikit” menulis cerpen.

Di Indonesia, keadaannya juga hampir serupa. Meski tak seekstrem Nobel Sastra, tetapi penghargaan terhadap karya puisi dan novel –meski batasnya agak sumir— dianggap lebih besar.

Banyak kalangan menganggap, membaca cerpen hanya untuk menemani minum kopi pagi sambil merokok, dan belum menjadi bacaan yang memang diinginkan secara intelektual.

***

Kamis, 10 Oktober lalu, ketika Alice Ann Munro dinobatkan sebagai peraih Nobel Sastra 2013 oleh Royal Swedish Academy of Sciences, banyak orang terkejut.

Namanya memang sempat disebut-sebut, namun banyak orang tak yakin, termasuk bursa taruhan di banyak tempat yang tidak menjagokan perempuan kelahiran Ontario, Kanada, 10 Juli 1931 ini. Sejarah Nobel Sastra tak pernah berpihak kepada para sastrawan yang “hanya” menulis cerpen.

Sekadar contoh terdekat, dalam sepuluh tahun terakhir, mereka yang meraih Nobel Sastra bukanlah penulis cerpen. John Maxwell Coetzee (Afrika Selatan, 2003), adalah novelis yang sapanjang hidupnya berkutat dengan masalah apartheid di negaranya.

Elfriede Jelinek (Austria, 2004) juga novelis yang karya-karyanya cendrung sangat pribadi dan absurd. Harold Pinter (Inggris, 2005) lebih dikenal sebagai dramawan. Tahun 2006, Orhan Pamuk (Turki) adalah novelis kontroversial yang bahkan tak disukai oleh pemerintahnya karena karya-karya dan komentarnya sering menyerang Pemerintah Turki. Doris Lessing (Inggris, 2007) adalah salah satu novelis perempuan terkuat Inggris saat ini.

Tahun 2008, Jean-Marie Gustave Le Clézio (Perancis) adalah seorang penulis yang telah merilis 30 judul lebih novelnya.

Herta Müller (Jerman, 2009) adalah novelis yang dalam novel-novelnya bercerita bagaimana beratnya hidup di Rumania pada masa pemerintahan diktaktor komunis Nicolae Ceausescu.

Lalu, tahun 2010, Mario Vargas Llosa (Peru) adalah novelis sekaligus politikus yang pernah mencalonkan diri sebagai presiden.

Tahun 2011, Tomas Tranströmer (Swedia) adalah seorang penyair dan penerjemah sastra, orang Swedia pertama yang meraih Nobel Sastra. Tahun 2012, Mo Yan (Cina) dengan realisme halusinasinya menggabungkan cerita rakyat, sejarah, dan kontemporer, adalah orang Cina pertama peraih penghargaan ini.

Lalu, di mana posisi para cerpenis? Mereka nyaris tak dianggap “ada”. Keberhasilan Munro seolah mematahkan anggapan bahwa cerpen tidak lebih unggul dari genre lainnya.

Tahun ini, baik masyarakat sastra, media maupun bandar judi –yang memang selalu menjadikan apapun sebagai industri judi— lebih menjagokan dua nama novelis yang memang lebih terkenal dibanding Munro: novelis Jepang, Haruki Murakami dan novelis yang juga jurnalis Belarusia, Svetlana Alexievich.

Sudah lama Murakami menyedot perhatian dunia lewat beberapa karyanya, di antaranya Norwegian Woods dan 1Q84. Hampir di semua karyanya, Murakami bercerita mengenai absurditas dan perasaan sepi dalam kehidupan modern. Dia memiliki jutaan pembaca fanatik.

Sementara Alexievich yang dalam karya-karyanya memakai sisi pandang orang pertama, “saya”, sangat populer di kawasan Eropa Utara. Dalam karya-karya “kesaksiannya” terlihat bagaimana komitmen politiknya, dan memang memiliki citarasa Eropa. Salah satu karyanya adalah Voices from Chernobyl: The Oral History of a Nuclear Disaster (2006), yang ditulisnya bersama Keith Gessen.

“Citarasa Eropa” inilah yang selama ini juga menjadi kritik tersendiri bagi penyelenggara Nobel. Sudah menjadi pembicaraan sangat luas, bahwa sastrawan besar asal Afrika atau Asia seperti Nawal el Saadawi (Mesir), Assia Djebar (Aljazair), Ko Un (Korea Utara), penyair dan penulis Suriah, Ali Ahmad Said Esber, Ngugi wa Thiong’o (Kenya), dan yang lainnya, seolah tak dilirik. Itu juga yang membuat sastrawan besar kita Pramudya Ananta Toer hingga akhir hayatnya tak pernah mendapatkan penghargaan ini meski beberapa kali namanya “disebut”.

Selain tak ber-”citarasa Eropa” persoalan pandangan politik juga berpengaruh.

Selain Murakami dan Alexievich, nama penulis Albania, Ismail Kadare, Jon Fosse (Norwegia) dan penulis Belanda, Cees Nooteboom, berada dalam daftar nama bandar taruhan pemenang Nobel Sastra.

***

Ketika Munro dimenangkan tahun ini, mestinya ini menjadi pesta para cerpenis di manapun berada, bahwa genre ini mulai “diakui” kekuatannya. Power of short.

Bahwa cerpen, mau tidak mau, harus disejajarkan dengan kedua “kakaknya”, puisi dan novel, yang selama ini menguasai penghargaan sastra paling bergengsi di dunia ini.

Munro, yang sejak usia 11 tahun sudah memilih jalan hidupnya sebagai penulis cerpen, dikenal sebagai pendongeng yang baik, dengan ciri kejelasan dan realisme psikologis.

Seperti ditulis Reuters, ia mulai menulis saat remaja namun baru menerbitkan buku pertamanya tahun 1968, kumpulan cerita berjudul Dance of the Happy Shades, yang cukup mendapat perhatian di Kanada.

Kejernihannya dalam bercerita dengan penekanan pada kelemahan-kelemahan manusia, membuat Munro dianggap sebagai Anton Chekhov-nya Kanada. Karya-karyanya yang lain adalah Who Do You Think You Are? (1978), The Moons of Jupiter (1982), Runaway (2004), The View from Castle Rock (2006), Too Much Happiness (2009), dan Dear Life (2012).***



Hary B Kori’un, Wartawan Riau Pos, Pegiat Sastra 

Sumber : riaupos.co

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN