Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Kamis, 26 September 2013

Sisi Lain Kongres PWI

Kamis, September 26, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Mulyadi



[ArtikelKeren] OPINI - Kongres XXIII Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel) tanggal 19-20 September terbilang unik.

Sebagaimana galibnya pertemuan akbar para insan pers, diwarnai dengan kasak kusuk, bisik-bisik dan lobi. Maklum peristiwa ini merupakan kulminasi organisasi, guna memilih Ketua Umum (Ketum) beserta jajaran pengurus lainnya tahun kurun waktu 2013-2018.

Ketum PWI periode 2008-2013 H Margiono dengan segenap personel dan perangkatnya, mengakhiri masa pengabdiannya. Akan tetapi, dia masih punya peluang kembali memimpin organisasi wartawan terbesar di Indonesia tersebut. Margiono baru satu periode menjadi “presiden” PWI.

Para wartawan sering dijuluki “nyamuk pers”. Diibaratkan semacam serangga yang terbang ke mana-mana, dengan denging suara yang khas dan bisa menggigit mangsanya. Begitulah pengaruh kehidupan wartawan yang besar, dengan berbagai kegiatan dan eksistensinya. Kongres XXIII PWI, didahului dengan Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas), sebagai forum solidaritas, kongkow-kongkow seraya mengadakan pertandingan olahraga. Namanya saja wartawan, prestasi yang diciptakan di Porwanas, bukan untuk menyaingi PON. Apalagi sampai tingkat SEA Games dan Asian Games.

Berbeda dengan kongres, yang mencoba mengadakan reformasi organisasi dan personalia. Syahdan, Margiono yang mulus pertanggungjawabannya selama memimpin PWI 2008-2013, makin mudah melangkah sebagai kandidat Ketum periode selanjutnya.

Akhirnya bisik-bisik sebelum kongres menjadi kenyataan. Dia terpilih sebagai calon tunggal.Tidak ada calon alternatif. Dukungan bertubi-tubi dan tentunya juga puja-puji, merupakan final decision. Secara aklamasi para peserta serentak mengatakan “setuju”, ketika pimpinan sidang menawarkan pengesahan Margiono menjadi Ketum 2013-2018.

Meski tidak ada kata-kata “mendukung tanpa reserve”, namun suasana saat pemilihan lancar-lancar saja. Bahkan ada gelak tawa dan tepuk tangan, membuat keadaan “aman dan terkendali”. Tapi itulah sebuah proses. Mau tidak mau harus dipatuhi. Meski tentu saja, tak semua orang bisa mengatakan “setuju seratus persen”.

Tinggal lagi menyusun nama-nama orang yang akan mendampingi dalam kepengurusan mendatang.

Namun suasana aman dan terkendali, agak berbeda saat pemilihan Ketua Dewan Kehormatan PWI. Tarman Azzam selaku leader lembaga tersebut periode 2008-2013 awalnya merasa yakin akan dipilih kembali. Bisik-bisik juga ada yang mengarah ke situ. Tapi seperti ada upaya “kontra intelijen”, muncul keinginan mengganti Tarman.

Padahal dia tercatat sebagai mantan Ketum PWI 1998-2003 dan 2003-2008. Selain itu, pernah lama bertugas di Istana Presiden R.I. Sehingga di atas kertas, memang Tarman merupakan figur representatif untuk posisi Ketua Dewan Kehormatan PWI tahun 2013-2018. Apalagi rivalnya adalah H Ilham Bintang, mantan sekretaris lembaga itu. Artinya sudah diketahui peta kekuatannya. Namun politik tidak bisa dilihat secara matematik.

Ternyata benar, ada prediksi “pembelotan” dan pengalihan suara dari Tarman ke Ilham Bintang. Boleh jadi selama ini Tarman merasa yakin betul akan kekuatan dan dukungan dari orang-orang dekatnya.

Padahal diam-diam, dia digerogoti dari dalam. Akhirnya setelah melalui pemilihan dua putaran, Ilham berhasil menggeser Tarman.

Biasanya dalam proses pemilihan pimpinan sebuah organisasi dikenal apa yang disebut klimaks dan anti klimaks.Tetapi dalam Kongres XXIII PWI, keadaanya terbalik. Anti klimaks dulu, baru kemudian klimaks.

Karena suasana dan bentuk dukungan, ternyata berbeda. Jika Margiono maju dengan melenggang, karena tak ada saingan. Tarman harus fight dengan mantan “bawahannya”. Begitulah keadaan dapat berubah, tergantung dari dinamika yang berkembang.

Dalam persaingan di organisasi, jangan terpengaruh dulu dengan suasana di permukaan yang nampaknya tenang. Seolah-olah, tidak ada apa-apa.

Padahal pesaing yang akan bertarung, menciptakan keadaan demikian supaya taktik dan strateginya tidak terbaca. Bahkan kabar yang disebar merupakan fabrikasi, agar rival terpengaruh.

Sehingga begitu muncul keputusan akhir, keadaan sudah tak bisa menolong. Konsolidasi dan penggalangan gagal, sementara rival memang menunggu benar kondisi seperti ini dengan kalkulasi matang.

Naiknya kakek empat cucu ini, membuat suasana lebih dinamis daripada pemilihan Ketum yang berjalan lancar dan tenang-tenang saja.Tapi kedua figur ini, Tarman dan Ilham menutup persaingan di forum dengan kedewasaan. Mereka saling peluk. Sehingga bukan sekadar the show must go on, tetapi juga semua perbedaan dan persaingan sudah berakhir. The time is over.

Meski tidak lagi duduk sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI, Tarman Azzam perlu mendapat apresiasi sebagai pekerja keras. Dia mampu bekerja sama memajukan organisasi wartawan terbesar di Indonesia ini. Karir wartawan dapat dilakukan di mana saja.***



Mulyadi, Wartawan Senior


Sumber : riaupos.co

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN