Oleh :
[ArtikelKeren] TAJUK RENCANA - Masyarakat Riau nyaris kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan kekecewaan terhadap krisis kelistrikan yang kembali terjadi.
Semua sepertinya sudah diluahkan, didemo, dibicarakan, dibawa berunding. Namun tetap saja terjadi pemadaman listrik, baik bergilir atau mendadak, di sembarang waktu.
Melalui berbagai kesempatan, pada pertemuan formal maupun saat didemo, manajemen Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjanjikan, pertengahan Oktober mendatang, tak ada lagi pemadaman bergilir.
Termasuk janji kompensasi 10 persen terhadap tagihan listrik untuk daerah yang padam (jumlah dan durasi) melebihi yang dijanjikan PLN.
Seperti dijelaskan GM PT PLN Wilayah Riau-Kepri Doddy Benjamin Pangaribuan di koran ini kemarin, langkah yang diambil untuk menyudahi pemadaman bergilir, antara lain mempercepat perbaikan PLTU Ombilin, mempercepat pengoperasian PLTU Teluk Sirrih 100 MW di Sumbar dan PLTMG Balai Pungut di Duri 2x16 MW, serta melakukan Teknik Modifikasi Cuaca (TMC atau hujan buatan), dan teknis lainnya.
Jelas, jalan tengah yang diberikan PLN ini belum sepenuhnya memberi ketentraman hati masyarakat yang sudah sangat merasakan dampak dari krisis listrik ini.
Mulai dari kerusakan peralatan listrik sampai terganggunya roda perekonomian masyarakat, terutama yang mengandalkan listrik untuk menjalankan usahanya.
Untuk segala dampak ini, seberapalah arti korting 10 persen tadi. Lalu, bila PLN tak mampu memenuhi janjinya mengakhiri pemadaman sekitar dua pekan ke depan, lantas apa dan siapa yang berhak menjatuhkan sanksi kepada PLN?
Padahal, sebagai konsumen berdasar Pasal 4 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, masyarakat berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan mengonsumsi barang dan/atau jasa.
Lalu, berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa diterima tidak sesuai perjanjian sebagaimana mestinya.
Ketentuan pasal ini secara tegas menyebutkan tentang hak konsumen. Sebagai perusahaan penyedia jasa kelistrikan, harusnya PLN bisa mengimplementasikannya kepada masyarakat.
Tidak perlu tarik ulur, apalagi berlepas tangan. Kalau toh “terpaksa “ PLN memadamkan listrik, harus dipikirkan juga kompensasi yang diterima masyarakat. Bila tidak, tentu PLN sudah “mengangkangi” undang-undang.***
[ArtikelKeren] TAJUK RENCANA - Masyarakat Riau nyaris kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan kekecewaan terhadap krisis kelistrikan yang kembali terjadi.
Semua sepertinya sudah diluahkan, didemo, dibicarakan, dibawa berunding. Namun tetap saja terjadi pemadaman listrik, baik bergilir atau mendadak, di sembarang waktu.
Melalui berbagai kesempatan, pada pertemuan formal maupun saat didemo, manajemen Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjanjikan, pertengahan Oktober mendatang, tak ada lagi pemadaman bergilir.
Termasuk janji kompensasi 10 persen terhadap tagihan listrik untuk daerah yang padam (jumlah dan durasi) melebihi yang dijanjikan PLN.
Seperti dijelaskan GM PT PLN Wilayah Riau-Kepri Doddy Benjamin Pangaribuan di koran ini kemarin, langkah yang diambil untuk menyudahi pemadaman bergilir, antara lain mempercepat perbaikan PLTU Ombilin, mempercepat pengoperasian PLTU Teluk Sirrih 100 MW di Sumbar dan PLTMG Balai Pungut di Duri 2x16 MW, serta melakukan Teknik Modifikasi Cuaca (TMC atau hujan buatan), dan teknis lainnya.
Jelas, jalan tengah yang diberikan PLN ini belum sepenuhnya memberi ketentraman hati masyarakat yang sudah sangat merasakan dampak dari krisis listrik ini.
Mulai dari kerusakan peralatan listrik sampai terganggunya roda perekonomian masyarakat, terutama yang mengandalkan listrik untuk menjalankan usahanya.
Untuk segala dampak ini, seberapalah arti korting 10 persen tadi. Lalu, bila PLN tak mampu memenuhi janjinya mengakhiri pemadaman sekitar dua pekan ke depan, lantas apa dan siapa yang berhak menjatuhkan sanksi kepada PLN?
Padahal, sebagai konsumen berdasar Pasal 4 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, masyarakat berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan mengonsumsi barang dan/atau jasa.
Lalu, berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa diterima tidak sesuai perjanjian sebagaimana mestinya.
Ketentuan pasal ini secara tegas menyebutkan tentang hak konsumen. Sebagai perusahaan penyedia jasa kelistrikan, harusnya PLN bisa mengimplementasikannya kepada masyarakat.
Tidak perlu tarik ulur, apalagi berlepas tangan. Kalau toh “terpaksa “ PLN memadamkan listrik, harus dipikirkan juga kompensasi yang diterima masyarakat. Bila tidak, tentu PLN sudah “mengangkangi” undang-undang.***
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.