Oleh : Zulher
[ArtikelKeren] OPINI - Pengakuan pekebun kelapa sawit swadaya di Desa Bencahkelubi, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, membuat penulis terhenyak. Penulis sangat terharu.
Perasaan sedih dan gundah gulana menyatu dan berkecamuk dalam satu rasa. Penuturan perwakilan petani dalam pertemuan di kantor desa itu membuat penulis bersedih hati. Hasil produksi perkebunan kelapa sawit milik petani rata-rata hanya 300 kg per dua hektare per bulan.
Konkretnya, hanya 150 kg per hektare per bulannya. Pendapatan demikian, tentu sangat jauh di bawah visi kelapa sawit Indonesia, yakni 35:26 (dengan cara baca: 35 ton per hektare pertahun dengan rendemen 26 persen).
Mengacu kepada visi tersebut, idealnya penghasilan petani kelapa sawit per bulannya adalah 2,9 kg per hektare per bulan. Tapi, ironinya, jangankan 2,9 ton, untuk setengah ton per bulan saja, pendapatan produksi kelapa sawit petani swadaya, tak sampai.
Hari itu, Rabu, 28 Agustus 2013, selaku Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, penulis berkunjung ke Bencahkelubi dalam rangka prosesi penyerahan 8.160 bibit kelapa sawit bersertifikat untuk kelompok tani di desa itu.
Bibit yang diserahkan adalah pengganti tanaman petani swadaya yang sudah berusia antara 7 tahun hingga 13 tahun. Dalam program penggantian bibit palsu tersebut, pekebun harus berela hati untuk menebang tanaman kelapa sawit yang sudah ada, dan memulainya lagi dari awal. Sebab, lokasi kebun memang mesti tetap sama.
Alhamdulillah, dengan maksud untuk produksi yang lebih baik, para petani berkenan untuk mengganti tanamannya —walaupun sudah berproduksi, tetapi minim— dengan tanaman yang baru.
Sungguh, realita yang dialami oleh masyarakat petani kelapa sawit di Bencahkelubi hanyalah satu di antara gambaran yang sama dengan nasib mayoritas pekebun kelapa sawit swadaya lainnya di Provinsi Riau.
Bila dirata-ratakan, tetap saja hasil produksi perkebunan kelapa sawit petani swadaya tetaplah tak sampai satu ton per hektare per bulan.
Beda dengan pendapatan perusahaan yang mencapai penghasilan produksi di atas 2 ton. Minimnya penghasilan pekebun swadaya disebutkan banyak faktor.
Utamanya berawal dari kesalahan dalam pemilihan dan penanam bibit. Faktor lainnya adalah kurangnya pemupukan dan minimnya perawatan.
Semua kendala itu, terbungkus dalam rangkai kata; bahwa pekebun kita memang masih sangat lemah di bidang manajemen perkebunan, terutama kelapa sawit.
Untuk hasil produksi yang lebih baik —secara kuantitas dan kualitas— bagi petani, capaian konkret program penggantian bibit palsu dan peremajaan tanaman tua dan rusak, tentu tidak langsung dirasakan saat ini.
Semuanya perlu proses. Tapi, Insya Allah, dengan tekad dan semangat yang sama antara pemerintah dan pekebun, di masa mendatang kita akan dapat melihat hasil produksi perkebunan petani swadaya yang jauh baik dan sangat berbeda dibanding hari ini.
Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, memang memerlukan usaha dan kerja keras disertai iringan doa kepada Yang Maha Kuasa.
Menyadari itu pula, membuat pemerintah melalui Disbun Riau dan didukung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau untuk menelorkan program penggantian bibit palsu dan peremajaan tanaman tua dan rusak.
Program sejenis juga terprogram di tingkat pusat melalui Kementerian Pertanian. Bukankah, buah dari bibit yang ditanam hari ini merupakan investasi kesejahteraan di masa depan.
Minimnya pendapatan produksi pekebun di Riau, tidak hanya disebabkan kesalahan penggunaan bibit. Dalam konteks kekinian, permasalahan lainnya adalah tanaman tua dan rusak (TTR) yang luasnya mencapai 237.173 hektare yang terdiri dari komoditas karet, kelapa dalam, kelapa hibrida, kelapa sawit, kakao, kopi dan lain-lain.
Tanaman tua dan rusak, tentu perlu diremajakan. Setakat ini, peremajaan tanaman melalui program revitalisasi perkebunan untuk tiga komoditas yaitu kelapa sawit, karet dan kakao, baru terwujud untuk kelapa sawit dan karet. Di Kabupaten Rokan Hulu, misalnya, dari target realisasi 2.460 hektare yang terealisasi baru 1.754 hektare.
Target realisasi lainnya dilakukan di Kabupaten Siak seluas 3.616 hektare dan di Kabupaten Pelalawan 5.190 hektare.
Persoalan pupuk, juga menjadi penyebab rendahnya produksi perkebunan pekebun swadaya di Provinsi Riau. Dengan penghasilan yang minim, manalah pula pekebun swadaya akan sanggup membeli pupuk.
Makanya, penulis selalu “berteriak” di Kementerian Pertanian, bahwa kebijakan pupuk bersubsidi jangan di-generalisir —atau menyamaratakan seluruh wilayah di Indonesia— dengan memayoritaskan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian (tanaman pangan dan holtikultura) dan meminimkan sektor perkebunan.
Setidaknya, bedakan untuk Provinsi Riau. Pasalnya, mayoritas pertanian di Riau adalah sektor perkebunan. Hal itu yang membedakan Provinsi Riau dengan Sumatera Barat dan Pulau Jawa yang pertaniannya memang mayoritas sektor tanaman pangan dan holtikultura.
Di Riau, garapan petaninya adalah tanaman karet, kelapa, kelapa sawit, sagu, gambir dan komoditas perkebunan lainnya. Hal itu pun dibuktikan dengan luasan kawasan perkebunan di Riau —dibuktikan dengan RTRW Provinsi Riau— yang mencapai 40,67 persen dari seluruh kawasan, dibanding pertanian dengan persentase 7,90 persen.
Intinya, seharusnya dan semestinyalah, kuota pupuk bersubsidi untuk Riau dibedakan dengan Provinsi lainnya di Indonesia.
Nasib petani swadaya kita, terutama komoditas kelapa sawit, memang lumayan “menyedihkan”. Itu pula, yang membuat Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Perkebunan Provinsi Riau, terus berupaya untuk “memaksa” Kementerian Pertanian memasukkan variable tandan kosong, fiber, cangkang dan limbah cair sebagai barometer dalam penetapan harga tandan buah segar (TBS).
Hal tersebut dimaksudkan agar terdongkraknya penghasilan petani secara ekonomis ketika hasil produksi kebunnya memang pada angka minimal.
Tuntutan itu cukup beralasan, bahwa variabel-variabel yang penulis maksud, sebenarnya bernilai ekonomis bagi perusahaan penerima TBS. Tuntutan yang sama dilakukan untuk penetapan harga kelapa hibrida dan kelapa dalam.
Makanya, menjaga agar petani tidak dirugikan pula, bersama dinas/badan dan instansi terkait yang tergabung dalam Tim Monitoring Evaluasi dan Pembinaan Usaha Perkebunan (TMPUP) Provinsi Riau, kami melakukan kunjungan ke berbagai perusahaan perkebunan —terutama penerima TBS pekebun swadaya.
Di antara misinya, selain pengecekan perizinan dan pengolahan limbah, adalah penekanan agar perusahaan perkebunan tidak “menganak-tirikan” TBS petani swadaya.
Kami tekankan, agar perusahaan perkebunan yang menerima TBS dari petani, tetap berpedoman pada harga yang telah ditetapkan oleh tim penetapan harga TBS.
Bahwa, kesejahteraan memang hak setiap warga negara Indonesia. Di antara perwujudannya adalah melalui perkebunan rakyat.
Dengan rasa kebersamaan dan semangat perubahan untuk kehidupan yang lebih baik, beriring ridho Ilahi, mari kita wujudkan bahwa kebun adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Berbagai regulasi yang ditelorkan oleh pemerintah pusat, seharusnya memang harus berpihak kepada kepentingan petani-pekebun.
Bagi petani-pekebun di daerah, mari sama-sama membenahi perkebunan dengan berikhtiar berpola cara berkebun yang baik.
Tentunya, itu dimulai dari penggunaan bibit berkualitas, pemupukan yang tepat dan perawatan yang baik. Insya Allah, kesungguhan itu akan membawa kepada kebaikan.***
Zulher, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau
[ArtikelKeren] OPINI - Pengakuan pekebun kelapa sawit swadaya di Desa Bencahkelubi, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, membuat penulis terhenyak. Penulis sangat terharu.
Perasaan sedih dan gundah gulana menyatu dan berkecamuk dalam satu rasa. Penuturan perwakilan petani dalam pertemuan di kantor desa itu membuat penulis bersedih hati. Hasil produksi perkebunan kelapa sawit milik petani rata-rata hanya 300 kg per dua hektare per bulan.
Konkretnya, hanya 150 kg per hektare per bulannya. Pendapatan demikian, tentu sangat jauh di bawah visi kelapa sawit Indonesia, yakni 35:26 (dengan cara baca: 35 ton per hektare pertahun dengan rendemen 26 persen).
Mengacu kepada visi tersebut, idealnya penghasilan petani kelapa sawit per bulannya adalah 2,9 kg per hektare per bulan. Tapi, ironinya, jangankan 2,9 ton, untuk setengah ton per bulan saja, pendapatan produksi kelapa sawit petani swadaya, tak sampai.
Hari itu, Rabu, 28 Agustus 2013, selaku Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, penulis berkunjung ke Bencahkelubi dalam rangka prosesi penyerahan 8.160 bibit kelapa sawit bersertifikat untuk kelompok tani di desa itu.
Bibit yang diserahkan adalah pengganti tanaman petani swadaya yang sudah berusia antara 7 tahun hingga 13 tahun. Dalam program penggantian bibit palsu tersebut, pekebun harus berela hati untuk menebang tanaman kelapa sawit yang sudah ada, dan memulainya lagi dari awal. Sebab, lokasi kebun memang mesti tetap sama.
Alhamdulillah, dengan maksud untuk produksi yang lebih baik, para petani berkenan untuk mengganti tanamannya —walaupun sudah berproduksi, tetapi minim— dengan tanaman yang baru.
Sungguh, realita yang dialami oleh masyarakat petani kelapa sawit di Bencahkelubi hanyalah satu di antara gambaran yang sama dengan nasib mayoritas pekebun kelapa sawit swadaya lainnya di Provinsi Riau.
Bila dirata-ratakan, tetap saja hasil produksi perkebunan kelapa sawit petani swadaya tetaplah tak sampai satu ton per hektare per bulan.
Beda dengan pendapatan perusahaan yang mencapai penghasilan produksi di atas 2 ton. Minimnya penghasilan pekebun swadaya disebutkan banyak faktor.
Utamanya berawal dari kesalahan dalam pemilihan dan penanam bibit. Faktor lainnya adalah kurangnya pemupukan dan minimnya perawatan.
Semua kendala itu, terbungkus dalam rangkai kata; bahwa pekebun kita memang masih sangat lemah di bidang manajemen perkebunan, terutama kelapa sawit.
Untuk hasil produksi yang lebih baik —secara kuantitas dan kualitas— bagi petani, capaian konkret program penggantian bibit palsu dan peremajaan tanaman tua dan rusak, tentu tidak langsung dirasakan saat ini.
Semuanya perlu proses. Tapi, Insya Allah, dengan tekad dan semangat yang sama antara pemerintah dan pekebun, di masa mendatang kita akan dapat melihat hasil produksi perkebunan petani swadaya yang jauh baik dan sangat berbeda dibanding hari ini.
Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, memang memerlukan usaha dan kerja keras disertai iringan doa kepada Yang Maha Kuasa.
Menyadari itu pula, membuat pemerintah melalui Disbun Riau dan didukung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau untuk menelorkan program penggantian bibit palsu dan peremajaan tanaman tua dan rusak.
Program sejenis juga terprogram di tingkat pusat melalui Kementerian Pertanian. Bukankah, buah dari bibit yang ditanam hari ini merupakan investasi kesejahteraan di masa depan.
Minimnya pendapatan produksi pekebun di Riau, tidak hanya disebabkan kesalahan penggunaan bibit. Dalam konteks kekinian, permasalahan lainnya adalah tanaman tua dan rusak (TTR) yang luasnya mencapai 237.173 hektare yang terdiri dari komoditas karet, kelapa dalam, kelapa hibrida, kelapa sawit, kakao, kopi dan lain-lain.
Tanaman tua dan rusak, tentu perlu diremajakan. Setakat ini, peremajaan tanaman melalui program revitalisasi perkebunan untuk tiga komoditas yaitu kelapa sawit, karet dan kakao, baru terwujud untuk kelapa sawit dan karet. Di Kabupaten Rokan Hulu, misalnya, dari target realisasi 2.460 hektare yang terealisasi baru 1.754 hektare.
Target realisasi lainnya dilakukan di Kabupaten Siak seluas 3.616 hektare dan di Kabupaten Pelalawan 5.190 hektare.
Persoalan pupuk, juga menjadi penyebab rendahnya produksi perkebunan pekebun swadaya di Provinsi Riau. Dengan penghasilan yang minim, manalah pula pekebun swadaya akan sanggup membeli pupuk.
Makanya, penulis selalu “berteriak” di Kementerian Pertanian, bahwa kebijakan pupuk bersubsidi jangan di-generalisir —atau menyamaratakan seluruh wilayah di Indonesia— dengan memayoritaskan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian (tanaman pangan dan holtikultura) dan meminimkan sektor perkebunan.
Setidaknya, bedakan untuk Provinsi Riau. Pasalnya, mayoritas pertanian di Riau adalah sektor perkebunan. Hal itu yang membedakan Provinsi Riau dengan Sumatera Barat dan Pulau Jawa yang pertaniannya memang mayoritas sektor tanaman pangan dan holtikultura.
Di Riau, garapan petaninya adalah tanaman karet, kelapa, kelapa sawit, sagu, gambir dan komoditas perkebunan lainnya. Hal itu pun dibuktikan dengan luasan kawasan perkebunan di Riau —dibuktikan dengan RTRW Provinsi Riau— yang mencapai 40,67 persen dari seluruh kawasan, dibanding pertanian dengan persentase 7,90 persen.
Intinya, seharusnya dan semestinyalah, kuota pupuk bersubsidi untuk Riau dibedakan dengan Provinsi lainnya di Indonesia.
Nasib petani swadaya kita, terutama komoditas kelapa sawit, memang lumayan “menyedihkan”. Itu pula, yang membuat Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Perkebunan Provinsi Riau, terus berupaya untuk “memaksa” Kementerian Pertanian memasukkan variable tandan kosong, fiber, cangkang dan limbah cair sebagai barometer dalam penetapan harga tandan buah segar (TBS).
Hal tersebut dimaksudkan agar terdongkraknya penghasilan petani secara ekonomis ketika hasil produksi kebunnya memang pada angka minimal.
Tuntutan itu cukup beralasan, bahwa variabel-variabel yang penulis maksud, sebenarnya bernilai ekonomis bagi perusahaan penerima TBS. Tuntutan yang sama dilakukan untuk penetapan harga kelapa hibrida dan kelapa dalam.
Makanya, menjaga agar petani tidak dirugikan pula, bersama dinas/badan dan instansi terkait yang tergabung dalam Tim Monitoring Evaluasi dan Pembinaan Usaha Perkebunan (TMPUP) Provinsi Riau, kami melakukan kunjungan ke berbagai perusahaan perkebunan —terutama penerima TBS pekebun swadaya.
Di antara misinya, selain pengecekan perizinan dan pengolahan limbah, adalah penekanan agar perusahaan perkebunan tidak “menganak-tirikan” TBS petani swadaya.
Kami tekankan, agar perusahaan perkebunan yang menerima TBS dari petani, tetap berpedoman pada harga yang telah ditetapkan oleh tim penetapan harga TBS.
Bahwa, kesejahteraan memang hak setiap warga negara Indonesia. Di antara perwujudannya adalah melalui perkebunan rakyat.
Dengan rasa kebersamaan dan semangat perubahan untuk kehidupan yang lebih baik, beriring ridho Ilahi, mari kita wujudkan bahwa kebun adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Berbagai regulasi yang ditelorkan oleh pemerintah pusat, seharusnya memang harus berpihak kepada kepentingan petani-pekebun.
Bagi petani-pekebun di daerah, mari sama-sama membenahi perkebunan dengan berikhtiar berpola cara berkebun yang baik.
Tentunya, itu dimulai dari penggunaan bibit berkualitas, pemupukan yang tepat dan perawatan yang baik. Insya Allah, kesungguhan itu akan membawa kepada kebaikan.***
Zulher, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.