Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Jumat, 20 September 2013

Kiat Menggapai Haji Mabrur

Jumat, September 20, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Azwar Aziz



 
Kiat Menggapai Haji Mabrur
[ArtikelKeren] OPINI - Setiap orang yang melaksanakan ibadah haji tentu berharap agar hajinya mabrur. Bagaimana tidak? Karena haji yang mabrur pahalanya sangat besar yaitu surga. Rasulullah saw bersabda, “Haji mabrur itu tidak ada balasannya melainkan surga” (HR Bukhari dan Muslim).

Berbahagialah orang yang diberi kesempatan untuk mengerjakan ibadah haji dan memperoleh haji mabrur. Adakah yang lebih berharga daripada surga? Dunia beserta isinya tidak ada apa-apa dibandingkan dengan surga. Maka, tak heran bila umat Islam sangat berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji. Ongkos Naik Haji (ONH) yang tinggi tidak menyurut minatnya untuk menunaikan ibadah haji, karena mendambakan surga yang tak ternilai itu. Bahkan untuk berangkat haji, sebagian mereka rela menjual atau menggadaikan harta bendanya, meskipun harus menunggu selama bertahun-tahun karena waiting list (daftar tunggu).

Namun, sangat disayangkan, bila niat yang mulia tersebut tidak diimbangi dengan bekal yang memadai yaitu ilmu manasik haji seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Banyak orang yang berhaji tanpa mengetahui hukum-hukum haji, adab-adabnya, dan ajaran-ajaran Islam secara umum. Akibatnya, banyak amalan haji yang ternoda, tidak sempurna, bahkan mungkin batal karenanya. Oleh karena itu, haji yang dilaksanakan tidak berbekas pada pelakunya, walaupun telah melaksanakannya berkali-kali. Alih-alih ingin dapat haji mabrur, kesempurnaan pun tidak didapat.

Haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah Swt. Menurut sebahagian ulama, haji mabrur adalah ibadah haji yang pengaruhnya terlihat bagi pelakunya, sehingga perilakunya berubah menjadi lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Pendapat yang lain, haji mabrur adalah ibadah haji yang tidak dicemari dengan dosa. Untuk meraih haji mabrur, maka harus memenuhi persyaratan berikut: Pertama, harus dilakukan dengan ikhlas. Dalam menunaikan ibadah haji, seseorang tidak ada tujuan lain selain mendapatkan ridha Allah Swt. Tidak menghendaki riya (pamer) agar dipuji orang atau mencari popularitas. Bukan pula untuk mendapat gelar “haji”, akan tetapi hanya mengharapkan ridha Allah Swt. Mengenai kewajiban ikhlas, Allah Swt berfirman, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah Swt dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama...” (QS. Al-Bayyinah: 5).

Syeikh Taqiyuddin berkata, “Seorang yang hendak melaksanakan ibadah haji wajib berniat untuk mengharapkan ridha Allah Swt, mendekatkan diri kepada-Nya, tidak bertujuan karena harta duniawi, atau untuk berbangga-banggaan, atau untuk mendapatkan gelar haji, atau karena ingin mendapatkan nama baik. Karena yang demikian menyebabkan amal menjadi batal dan tidak dierima disisi Allah Swt.” (Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, 4/3)

Kedua, melakukan ibadah haji sesuai dengan petunjuk (sunnah) Rasulullah saw dalam ibadah haji. Suatu ibadah yang dikerjakan tanpa petunjuk Rasul saw tidak akan diterima oleh Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu urusan agama yang bukan berasal dari petunjuk kami maka amalannya tersebut ditolak” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat yang lain,”Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan berasal dari petunjuk kami maka amalannya tersebut ditolak” (HR Muslim).

Tatacara pelaksanaan ibadah haji telah dijelaskan dan dipraktikkan Rasulullah saw dalam manasik haji beliau, dan kita diperintahkan untuk mengikutinya. Rasulullah saw bersabda, “Ambillah dariku manasik (tata cara haji) kamu sekalian” (HR. Muslim dan Abu Daud).

Ketiga, ibadah haji dibiayai dengan harta yang halal, bukan haram. Biaya haji tidak boleh berasal dari harta riba, hasil penipuan, judi, pencurian, korupsi, atau lainnya yang merupakan perbuatan yang diharamkan. Akan tetapi harus dari harta halal. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima kecuali yang baik...” (HR. Muslim dan Tirmizi). Maka, harta yang baik (halal) merupakan syarat diterimanya ibadah.

Mengenai ini pula, Rasulullah saw bersabda, “Jika seseorang keluar bertujuan haji dengan nafkah yang baik (halal) dan ia pijakkan kakinya pada pijakan pelana kudanya lalu menyeru, “Kusambut panggilan-Mu ya Allah, kusambut panggilan-Mu”, maka diserulah ia oleh penyeru dari langit “Ku sambut pula kamu dan kukaruniakan kepadamu kebahagiaan demi kebahagiaan. Bekalmu adalah halal, kendaraan yang kamu tunggani pun halal. Dan hajimu adalah mabrur, tidak ternoda oleh dosa.” Jika seorang itu keluar dengan nafkah yang buruk (haram) lalu ia pijakkan kakinya pada pijakan pelana kudanya dan menyeru: “Kusambut panggilan-Mu ya Allah, kusambut panggilan-Mu”, maka diserulah ia oleh penyeru dari langit: “Aku tidak menyambutmu dan tidak pula aku karuniakan kebahagiaan demi kebahagiaan kepadamu. Bekalmu adalah haram, dan harta yang kamu nafkahkan pun haram kendaraan yang kamu tunggangi pun halal. Dan hajimu tidak lah mabrur.” (HR. At-Thabrani).

Keempat, meninggalkan maksiat dan hal-hal yang diharamkan pada waktu mengerjakan ibadah haji, berdasarkan firman Allah Swt, “..Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji pada (bulan-bulan) itu, maka janganlah ia rafats, berbuat fasik, dan jidal dalam (melakukan ibadah) haji..” (QS. Al-Baqarah: 197). Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa mengerjakan ibadah haji sedangkan dia tidak melakukan rafats dan berbuat fasik, maka dia kembali seperti hari dia dilahirkan ibunya.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Ibnu Majah).

Menurut para ulama, rafats adalah melakukan senggama dan hal-hal yang mengarahkan kepadanya. Sedangkan fasik adalah semua perbuatan maksiat. Adapun jidal, ulama menafsirkan dengan perdebatan yang dilarang adalah semua perdebatan yang meyebabkan kegaduhan, mudharat kepada orang lain atau mengurangi ketentraman. Atau yang dimaksudkan adalah perdebatan yang menyerukan kepada kebatilan dan mengaburkan kebenaran.

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata, “Adapun arti rafats adalah melakukan hubungan badan ketika sedang ihram dan hal-hal yang mengarah kepadanya, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Sedangkan fasik adalah semua perbuatan maksiat.
Maka siapa yang meninggalkan rafats dan perbuatan fasik dalam hajinya, maka diampuni semua dosanya, dan di antara perbuatan fasik adalah terus-menerus dalam kemaksiatan. Orang yang mengerjakan haji hendaklah menjauhi rafats yaitu jima’ dan semua sebab dan motif yang mendorongnya, menjauhi tindakan fasik baik dalam bentuk kata-kata yang diharamkan seperti ghibah.***


Azwar Aziz
Mahasiswa Program Doktor UIN Suska Riau 


Sumber : riaupos.co

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN