Oleh : Fakhrunnas MA Jabbar
Begitu pula pada tamsil dan ungkapan, flora dan fauna pun pasti disebut. Seorang pemimpin dalam pandangan orang Melayu dilukiskan bak sebatang pokok (pohon): Kokoh batangnya tempat bersandar.
Teguh dahannya tempat bergantung. Akarnya yang kuat tempat duduk. Rindang daunnya tempat berlindung.
Kehebatan pemimpin di tengah-tengah rakyat dilukiskan dalam ungkapan lain: didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting.
Itulah sebabnya, seorang pemimpin yang kharismatis dan benar-benar dipercaya oleh rakyat biasanya akan memimpin dalan jangka waktu yang panjang.
Tapi bagi pemimpin yang mengkhianati rakyat, niscaya segera ditinggalkan dan biasanya diakhiri dengan amuk perlawanan. Seperti ungkapan: “raja alim, raja disembah, raja zalim raja disanggah.”
Perihal pemimpin yang sudah berada di ujung kekuasaan baik karena masa berdaulatnya secara alamiah atau aturan biasanya pelan-pelan mulai ditinggalkan orang dekat atau orang sekelilingnya.
Bahkan tak jarang di antara mereka mulai memperlihatkan perlawanan atau ketidakpatuhan. Situasi ini dilukiskan dalam pepatah: “bila pokok sudah condong, katak pun akan sampai ke pucuk.”
Begitu dahsyat pengaruh buruknya bila seorang pemimpin sudah kehilangan kharisma.
Pertelagahan dan perbelahan pendapat yang terjadi di antara para pemimpin negeri ini baik secara vertikal maupun horisontal memperlihatkan semakin pudarnya nilai-nilai kharismatis itu.
Situasinya makin diperburuk bila terkait kasus korupsi yang sedang digulirkan di KPK atau pun pengadilan Tipikor.
Hampir semua saksi, tersangka atau pun terdakwa berupaya keras mengait-kaitkan orang lain termasuk mantan atasannya yang dulu sangat dihormati semasa berkuasa.
”Nyanyian” anak buah atau orang dekat yang sudah terancam hukuman berat biasanya terdengar nyaring saat pemeriksaan atau dalam persidangan.
Dalam rentang waktu yang panjang dapat dirasakan dalam berbagai peristiwa politik praktis di negeri ini. Boleh jadi puncak-puncak pembangkangan yang tak jarang dibumbui pengkhianatan ketika jatuhnya rezim Presiden Soekarno mendai berakhirnya Orde Lama.
Hal senada terjadi pula pada peristiwa ”lengser keprabon”-nya Presiden Soeharto yang mengakhiri Orde Baru.
Di mancanegara, kecondongan para kepala negara sejumlah negara selalu berakhir dengan kejatuhan secara tak terhormat. Cermati kembali, revolusi rakyat (people power) Filipina yang menumbang rezim Marcos dan isterinya Imelda Marcos.
Tak tanggung-tanggung, revolusi ini menelan korban sebagai martir yakni Benigno Aquino. Kejatuhan Saddam Hussen di Irak atau Hosni Mobarak di Mesir jelas mengikuti pola yang sama.
Pada masa reformasi, sejumlah presiden yang pernah berkuasa mulai dari Habibie, Abdurrachman Wahid hingga Megawati, di saat-saat kekuasaannya harus berakhir, sejumlah orang dekat atau orang sekitar berperilaku sama.
Apalagi, suksesi dalam kepemimpinan politik selalu dibuat remang-remang. Tak banyak pemimpin mempersiapkan kadernya dengan tulus. Apalagi bila kekuasaan yang dijabatnya baru berjalan satu periode.
Pemunculan kader-kader yang berambisi untuk maju dalam peristiwa suksesi itu, biasa saja dianggap sebagai ”pembangkangan” atau ”pendurhakaan”.
Pembangkangan kader terhadap pimpinan dalam dunia politik bagaikan sebuah hukum kausalitas (sebab-akibat) atau lebih pas lagi sebagai hukum karma.
Sejarah perebutan kekuasaan yang berdarah-darah pernah tercatat dalam kisah Ken Arok. Saling bunuh dalam satu garis keturunan pun bak dihalalkan. Siapa yang pernah membunuh, kekarmaannya juga akan dibunuh.
Borok-borok yang terkandung di tubuh sejumlah parpol melalui kasus-kasus korupsi atau pidana lain yang mendera, semakin memperkeruh situasi kehidupan politik berbangsa dan bernegara.
Perseteruan di antara para elit masing-masing partai kadangkala sudah memasuki wilayah yang tak sehat lagi. Kritik dan protes sebagaimana ditayangkan lewat layar kaca secara terbuka menjadi tontonan rakyat yang sangat seru.
Kini pertelagahan seorang presiden dengan elite parpol dalam menjalankan roda pemerintahan sudah hal yang lumrah.
Kian terasa betapa kepentingan demi kepentingan masing-masing pihak terkait realitas dan syahwat kekuasaan tak mungkin dibendung. Simak saja sejumlah kasus politik terkait praktik korupsi yang menjadi perbincangan hangat di negeri ini.
Sebagian besar para pemimpin di muka bumi ini nyaris mengalami perlakuan bak pokok condong itu. Tak peduli, apakah masa-masa condong kekuasaannya itu dalam situasi alamiah atau pun berkasus.
Selalu ada, Brutus yang siap menikam sang pemimin dari belakang. Suksesi memang unik dan bersifat sangat situasional. Pengaderan yang dilakukan seorang pemimpin bisa disikapi secara keliru oleh para pendukung.
Dalam setiap proses pengaderan di kalangan para putra mahkota atau orang-orang pilihan selalu dicemburui oleh kader-kader lain yang pantas untuk tampil ke depan.
Kompetisi yang mengarah pada pertarungan hidup-mati di antara para kader sering berujung pada saling hadang bahkan saling bunuh yang merugikan diri masing-masing.
Fenomena pokok condong memang selalu terjadi di ujung masa kekuasaan seorang pemimpin. Pesan moral yang perlu dicermati tentulah berbaik-baiklah semasa berkuasa agar tidak berakhir dengan kejatuhan tidak terhormat yang sangat memilukan hati.
Sekaligus meninggalkan parut luka yang diabadikan dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa.***(ak27)
Fakhrunnas MA Jabbar
Budayawan
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.